Berita palsu (atau “hoaks”) yang dikemas dalam bentuk tulisan/bacaan adalah seperti bom berdaya ledak tinggi. Ketika meledak—tersebar luas—lewat media cetak atau media internet, ia bisa mengacaukan pikiran pembaca dan menimbulkan keresahan, permusuhan, dan kerusuhan. Ini tentulah berbahaya bagi bangsa dan perlu ditangkal dengan serius.
Bacaan yang memuat berita palsu harus dianggap sebagai bacaan tidak serius, karena tidak benar dan tidak bermanfaat. Bacaan semacam itu acap kali bersifat sensasional dan mengaduk-aduk emosi. Celakanya, lantaran tidak memiliki etos baca yang baik, orang Indonesia mudah termakan olehnya. Menurut laporan UNESCO di tahun 2012, indeks baca orang Indonesia hanya 0,001. Jadi, dari seribu orang Indonesia hanya satu yang benar-benar membaca.1
Parahnya lagi, di era internet ini orang Indonesia biasa membaca sambil lalu sebagian besar tulisan daring sehingga tidak mencernanya baik-baik. Nukman Lutfhie, pakar media sosial, mengatakan bahwa orang Indonesia cenderung membaca judul tulisan daring saja lalu menganggapnya sebagai kesimpulan tulisan. Kalaupun isi tulisan dibaca, paling-paling di bawah satu menit.2 Wajarlah jika kita jadi mudah tersulut oleh berita-berita palsu.
Dampak tersulut itu bukan main-main. Sebagai contoh, berita palsu seputar isu kesehatan—berita palsu yang paling banyak disebarkan—dapat mencelakakan nyawa orang.3 Berita palsu seputar isu politik dan SARA dapat mencemarkan nama baik orang atau menghasut orang untuk berbuat angkara. Semua itu jelas berbahaya bagi ketenteraman dan keutuhan bangsa.
Karena potensi buruknya, berita palsu diperangi di seluruh dunia. Google, misalnya, merilis label Fact Check (Cek Fakta) untuk menandai berita yang sudah diperiksa kebenarannya4 dan Twitter membombardir media sosial dengan konten-konten positif untuk menangkal berita palsu.5 Pemerintah Indonesia pun turut berperang dengan bersenjatakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan berfokus pada literasi masyarakat.6
Kita perlu mendukung upaya pemerintah. Secara pribadi, kita dapat menangkal bacaan berisi berita palsu dengan keseriusan membaca dan bacaan serius. (Ini bersangkut paut dengan soal literasi masyarakat itu!) Kita harus membiasakan diri membaca cermat suatu tulisan secara utuh, dari awal hingga akhir, bukan menyimpulkan isinya dari judulnya semata. Kita juga mesti mengerahkan nalar dan wawasan luas dalam membaca, bukan main emosi semata.
Selain itu, kita perlu belajar menyukai bacaan serius, yakni bacaan berbobot yang bertanggung jawab dalam penalarannya, mendalam pembahasannya, akurat datanya, dan bermanfaat bagi orang banyak. Bacaan serius bisa membantu kita berlatih berpikir cerdas dan bijaksana. Biasakanlah membaca tulisan-tulisan bagus—topiknya terserah kepada minat masing-masing—dari pengarang dan media terpercaya.
Keseriusan membaca dan bacaan serius akan sangat melatih kita dalam beranalisis dan berlogika. Sebagai akibatnya, kita akan mampu mencerna dan menyikapi bacaan secara bijak sehingga tidak mudah termakan oleh berita palsu pengaduk-aduk emosi.
Di era internet ini, kita pun lebih baik menjadi agen bacaan serius daripada tergoda untuk menjadi tenar/eksis di dunia maya dengan membagikan berita sensasional yang belum tentu benar. Baiklah kita gemar membagikan lewat internet berbagai tulisan atau kutipan yang berbobot dan bermanfaat bagi orang banyak.
Sebelum berita palsu membuat lebih banyak kerusakan—terutama terhadap ketentraman dan keutuhan bangsa—mari kita serius menangkalnya dengan keseriusan membaca dan bacaan serius. Inilah penjinak yang tepat untuk bom berdaya ledak tinggi itu.
Stefani Krista adalah seorang karyawati perusahaan ritel yang bermukim di DKI Jakarta.
Catatan
1 “Literasi Rendah Ladang ‘Hoax’” dalam Kompas terbitan 06.02.2017.
2 “Literasi Rendah Ladang ‘Hoax’”, Kompas.
3 Wahyu Aji. “Lebih Bahaya, Berita Hoax Kesehatan Harus Dicegah” dalam situs Tribun News. http://www.tribunnews.com/nasional/2017/05/24/lebih-bahaya-berita-hoax-kesehatan-harus-dicegah>, “Hoax Terbanyak Soal Info Kesehatan” dalam situs Media Indonesia. <http://mediaindonesia.com/news/read/102937/hoax-terbanyak-soal-info-kesehatan/2017-05-02>.
4 Yoga Hastyadi Widiartanto. “Google Bisa Bedakan Berita Fakta atau Bohongan” dalam situs Kompas. http://tekno.kompas.com/read/2016/10/15/15110077/google.bisa.bedakan.berita.fakta.atau.bohongan.>.
5 Agustin Setyo Wardani. “Ini Upaya Twitter Atasi Konten Hoax di Linimasa” dalam situs Liputan 6. <http://tekno.liputan6.com/read/2924670/ini-upaya-twitter-atasi-konten-hoax-di-linimasa>.
6 Nabilla Tashandra. “Media Sosial Penyebaran ‘Hoax’, dan Budaya Berbagi” dalam situs Kompas. <http://nasional.kompas.com/read/2017/02/14/09055481/media.sosial.penyebaran.hoax.dan.budaya.berbagi.>.