Gereja: Lain Padang, Lain Belalangnya—Lain Pengalamannya (1)

Oleh S.P. Tumanggor

“Lain padang, lain belalangnya.” Penggalan peribahasa mashur itu tepat menggambarkan fakta bahwa di negeri-negeri (“padang”) yang berbeda terdapat adat/kebiasaan (“belalang”) yang berbeda juga.1 Dan makna ini tepat pula jika diluaskan melampaui adat/kebiasaan dan diterapkan kepada Gereja, khususnya Gereja Indonesia.

Melampaui adat/kebiasaan, “padang-padang” alias negeri-negeri yang berbeda juga mempunyai “belalang-belalang” yang berbeda berupa sejarah, kondisi alam, kepercayaan, pranata sosial, dsb. Sebab itu orang di negeri-negeri yang berbeda mendapatkan pengalaman khas yang berbeda satu sama lain. Kesamaan pengalaman antar negeri tentu selalu ada, tetapi tidak kesamaan mutlak.

Inilah yang harus senantiasa dimengerti dan dihayati oleh Gereja Indonesia. “Padang” Indonesia memiliki “belalang” yang berbeda dengan “padang” negeri-negeri lain, termasuk Eropa Barat atau Amerika Utara (yang menyiarkan kekristenan ke Indonesia). Jangankan itu, “padang” daerah-daerah di Indonesia pun mempunyai “belalang” yang berbeda satu sama lain!

Dengan demikian, kala kekristenan hadir di derah-daerah yang berbeda di Indonesia, gereja-gereja pasti mendapatkan pengalaman khas yang berbeda satu sama lain. Kenyataan ini harus membuat gereja-gereja celik akan “belalang” di “padang” tempatnya berada dan, sedapat mungkin, memikirkan cara berjemaat dan cara berinteraksi yang tanggap lingkungan.

Alkitab sendiri meneguhkan kesimpulan itu. Setiap orang Kristen yang melek Alkitab tentu tahu tentang tujuh “padang” (dalam hal ini, kota) yang kemudian tenar sebagai nama surat-surat kiriman Rasul Paulus: Roma, Korintus, Galatia, Efesus, Filipi, Kolose, Tesalonika. Namun, karena sering diajari untuk memandang Alkitab sebagai satu kesatuan, orang Kristen jarang menyadari bahwa ketujuh “padang” ini memiliki “belalang” yang berbeda.

Di “padang” Korintus, misalnya, ada “belalang” adat pemujaan kepada Dewi Afrodit yang melibatkan ritus pelacuran,2 sedangkan di “padang” Kolose ada “belalang” kepercayaan kepada roh-roh alam yang dianggap menentukan nasib manusia.3 Jadi, sewaktu Gereja hadir di kedua “padang” itu, Gereja mendapatkan pengalaman berbeda yang harus disikapi sesuai dengan “belalang” yang dihadapi.

Itulah sebabnya Paulus membahas hakikat percabulan sebagai dosa terhadap diri sendiri dalam Surat Korintus (1 Kor. 6:18) dan hakikat mati-bersama-Kristus sebagai pembebasan dari roh-roh alam dalam Surat Kolose (2:20). Hal-hal ini tidak dibahasnya dalam surat-surat lain sehingga membuktikan bahwa “ladang” yang berbeda memang memberi Gereja pengalaman yang berbeda.

Di Indonesia, sebagai perbandingan, di “padang” Sawi, Papua, Gereja menemukan “belalang” adat yang mengagungkan pengkhianatan. Ini tidak ditemukan di “padang-padang” daerah lain. Akibatnya, ketika Injil diberitakan, warga setempat malah menyanjung Yudas Iskariot, si murid khianat, sebagai pahlawan!

Syukurlah di sana ada pula “belalang” adat “anak perdamaian”—anak yang diberikan satu suku kepada suku lain untuk mendamaikan peperangan di antara kedua suku itu. Orang yang mengkhianati anak ini adalah orang yang sejahat-jahatnya. Maka Yudas tidak lagi dilihat sebagai pahlawan, karena ia telah mengkhianati Yesus, Anak Perdamaian dari Allah, yang menjadi pahlawan besar di hati orang Sawi.4

Di “padang” Korintus, Gereja mendapatkan pengalaman risau akibat, antara lain, penonjolan karunia-karunia Roh yang berbeda di tengah jemaat. Di “padang” Galatia, Gereja mendapatkan pengalaman risau akibat penyebaran ajaran yang mendesak orang Kristen untuk menjalankan Hukum Taurat seperti orang Yahudi. Itulah sebabnya Paulus mengupas luas soal karunia Roh dan soal hubungan Injil-Taurat masing-masing di Surat Korintus dan Surat Galatia—tidak di surat-suratnya yang lain.

Di Indonesia, sebagai perbandingan lagi, curahan Roh Kudus secara besar-besaran melanda “padang” Timor di abad ke-20.5 Dampaknya masih nyata sampai kini dalam wujud persekutuan rumahan yang menjamur di sana. Gereja pun mendapatkan pengalaman risau karena beberapa persekutuan kemudian melepaskan diri dari gereja Timor6 dan membentuk gereja tersendiri. Akhirnya, untuk menyikapi risau tersebut, gereja Timor mewadahi persekutuan-persekutuan dalam satu komisi khusus. Ini jelas pengalaman yang berbeda dengan pengalaman Gereja di daerah lain ataupun belahan dunia lain.

Segala fakta di atas seharusnya cukup membukakan mata semua warga Gereja, khususnya Gereja Indonesia, untuk tanggap terhadap lingkungan sekitar. Ini akan sangat berpengaruh kepada efektif tidaknya kehadiran dan kesaksian Gereja di negeri atau daerah tempatnya berpijak.

. 

S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.

.

Catatan

1 Kutipan lengkap peribahasa itu adalah “lain padang, lain belalangnya; lain lubuk, lain ikannya.”

2 The Encyclopedia Americana, Volume 7, Civilization to Coronium. Connecticut: Grolier Incorporated, 1981, hal. 794.

3 The Encyclopedia Americana, Volume 7, hal. 335.

4 Cerita lengkapnya bisa ditemukan dalam buku Don Richardson, Peace Child. Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Kalam Hidup dengan judul Anak Perdamaian.

5Tepatnya tahun 1965-1969. Berbagai tanda ajaib dan mukjizat terjadi di sana. Lihat Dr. Th. van den End & Dr. J. Weitjens, S.J. Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia 1860-an~Sekarang. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2000, hal. 115-116.

6 Gereja Timor yang dimaksud adalah Gereja Masehi Injili Timor (GMIT).

 

Lanjut ke Gereja: Lain Padang, Lain Belalangnya—Lain Pengalamannya (2)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *