Oleh S.P. Tumanggor
“Pengajaran dan hidupnya Kristus itu lain dirasa kalau lain negerinya. Ini dibuktikan riwayat Masehi di beberapa benua.”1Ujaran Johanes Leimena di tahun 1928 itu mengungkap pemahaman mendalam yang, sayangnya, langka dipahami orang Kristen Indonesia masa kini: lain padang, lain belalangnya, lain pula pengalamannya. Hebatnya lagi, Leimena melontarkan ujarannya di usia 23 tahun!
Faktor “belalang” yang berlainan pastilah berperan besar dalam membedakan rasa “pengajaran dan hidupnya Kristus” di “padang” negeri, daerah, atau benua yang berlainan. Adat, budaya, pola pikir, kepercayaan, dan dinamika masyarakat setempat selalu berpotensi kuat membubuh cita rasa khas, bahkan dimensi khas, bagi kekristenan.
Fakta ini semestinya melecut Gereja Indonesia untuk menggubah bentuk dan pola kekristenan yang paling cocok bagi orang Indonesia Kristen—bukan sekadar meniru model dari “padang” lain. Gagasan untuk gubahan itu tentu saja harus ditimba dari pengalaman menghadapi “belalang” yang khas di suatu daerah. Dengan demikian, dan hanya dengan demikian, Gereja Indonesia dapat mengomunikasikan “pengajaran dan hidupnya Kristus” secara tepat sasaran kepada bangsa Indonesia sendiri.
Komunikasi tepat sasaran itu sudah diperagakan Kristus dalam Alkitab. Dalam Kitab Wahyu, sabda Kristus kepada tujuh gereja di tujuh “padang” (dalam hal ini, kota) yang berbeda—Efesus, Smirna, Pergamus, Tiatira, Sardis, Filadelfia, Laodikia—menunjukkan bagaimana Ia sangat kenal “belalang” kondisi tiap-tiap “padang.”
Di “padang” Efesus, misalnya, ada “belalang” kondisi setempat berupa banyaknya penjahat,2 sedangkan di “padang” Smirna ada “belalang” kondisi kemiskinan jemaat. Jadi, Gereja mendapatkan pengalaman/tantangan yang berbeda di kedua “padang” tadi, dan Kristus tanggap terhadap perbedaan itu saat Ia bersabda kepada Gereja Efesus, “Aku tahu, bahwa engkau tidak dapat sabar terhadap orang-orang jahat” (Why. 2:2), dan kepada Gereja Smirna, “Aku tahu kesusahanmu dan kemiskinanmu” (Why. 2:9).
Cara Kristus membahas dengan sengaja “belalang” kondisi-kondisi di Efesus dan Smirna seharusnya mengilhami Gereja Indonesia untuk membahas secara serius kondisi di “padang-padang” yang dimasukinya.
Sebagai contoh, ada “belalang” kondisi alam berupa kepulauan yang diantarai laut luas di “padang” Sangir-Talaud, Sulawesi Utara, yang sampai kini menyulitkan pembinaan rohani umat.3 Ada pula “belalang” kondisi pendidikan tinggi umat yang belum memadai di “padang” Mentawai, Sumatera Barat, yang “memaksa” lulusan sekolah Alkitab banting setir menduduki jabatan pemerintahan di sana. Semua itu jelas tidak menjadi pengalaman/tantangan bagi Gereja di “padang” lain seperti Tapanuli atau Minahasa, dan jelas harus disikapi Gereja sebaik-baiknya.
Di “padang” Laodikia ada “belalang” potensi setempat berupa kemakmuran, perdagangan kain wol, penemuan obat mata (yang menjadikan kota itu beken), dan mata air suam-suam kuku.4 Kristus terbukti tanggap terhadap semua ini saat Ia bersabda kepada Gereja Laodikia, “Karena engkau suam-suam kuku, dan tidak dingin atau panas, Aku akan memuntahkan engkau dari mulut-Ku” dan, secara menyindir, “Engkau tidak tahu, bahwa engkau melarat, dan malang, miskin, buta dan telanjang” (Why. 3:7).5
Cara Kristus mengangkat dengan sengaja “belalang” potensi setempat seharusnya mengilhami Gereja Indonesia untuk mengangkat secara serius potensi di “padang-padang” yang dimasukinya.
Syukurlah beberapa gereja di Indonesia telah melakukannya, baik dalam kadar rendah maupun tinggi. Sebagai contoh, di “padang” Sumba, NTT, gereja setempat memiliki lambang berupa gambar Kristus menunggang kuda putih. Dari segala gambaran tentang Kristus, mengapa pula gereja Sumba memilih gambaran itu? Tak lain dan tak bukan karena kuda merupakan “belalang” potensi khas Sumba.5
Contoh lain—mungkin contoh terbaik—adalah gereja di “padang” Bali yang berhasil mengangkat “belalang” potensi seni budaya Bali dalam peribadatan umat: arsitektur, motif hias, musik, tarian. Mereka mempersembahkan keunikan ke-Bali-an kepada Allah karena sejak semula mereka sudah bertekad untuk “memaklumkan dan menghidupi Injil Yesus Kristus dengan cara-cara yang relevan dengan orang Bali.”6 Itu tekad yang sungguh agung!
Seluruh bahasan di atas seharusnya memacu Gereja Indonesia untuk mengembangkan kekristenan yang khas Indonesia, baik ungkapan-ungkapan agamawinya maupun kajian-kajian teologisnya. Tak perlu (lagi) membebek kekristenan Barat atau kekristenan Timur karena, bagaimanapun, lain padang, lain belalangnya—lain pula pengalamannya.
.
S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.
.
Catatan
1 Johanes Leimena, seperti dikutip Dr. A.G. Hoekema. Berpikir dalam Keseimbangan yang Dinamis: Sejarah Lahirnya Teologi Protestan Nasional di Indonesia (Sekitar 1860-1960). Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1997, hal. 142. (Ejaan “tempo doeloe” Leimena telah dimutakhirkan.) Istilah “Masehi” menunjuk kepada (agama) Kristen, khususnya Kristen Protestan.
2 Ini terjadi karena area antara kuil Dewi Diana di Efesus sampai sepenembakan anak panah merupakan area suaka bagi para pelanggar hukum, jika mereka bisa sampai ke situ sebelum diringkus aparat. Lihat, misalnya, J. Wesley Brill. Surat-surat kepada Ketujuh Jemaat. Bandung: Penerbit Kalam Hidup, tanpa tahun, hal. 20, 25.
3 Salah satunya karena jemaat sangat bergantung kepada datang-tidaknya pendeta dari pulau lain. Lihat juga tulisan Bayu Supiom dalam terbitan blog Kombi bulan ini.
4 F.D. Wellem. Injil dan Marapu: Suatu Studi Historis-Teologis tentang Perjumpaan Injil dengan Masyarakat Sumba pada Periode 1876-1900. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2004, hal. 271. Gambaran Kristus yang demikian diambil dari Wahyu 6:2. Gereja Sumba yang dimaksud adalah Gereja Kristen Sumba (GKS).
5 Mudah ditilik bahwa “melarat, malang, miskin” adalah kontras untuk kemakmuran, “buta” adalah kontras untuk penemuan obat mata, dan “telanjang” adalah kontras untuk perdagangan kain wol.
6 Douglas G. McKenzie & I Wayan Mastra. The Mango Tree Church. Boolarong Press, 1997, hal. 31. Gereja Bali yang dimaksud adalah Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB).