Salam sejahtera di bulan satu 2013, Sidang Pembaca!
Hari-hari 2012 sudah berlalu dan masuk laci sejarah. Hari-hari 2013 sudah mulai kita telusuri. Kepada Tuhan kita bersyukur atas tahun yang berganti dan atas Indonesia kita yang masih tegak di arus zaman. Kita pun berharap bahwa Indonesia tetap kokoh, tidak menjadi goyah, di perguliran dua belas bulan yang baharu.
Demi tegak-kokohnya, dari waktu ke waktu kita perlu mengecek cara pandang kita terhadap Indonesia. Kita melakukannya lantaran sadar bahwa maju-mundurnya suatu bangsa senantiasa dipengaruhi oleh cara pandang warganya terhadapnya. Cara-cara pandang lama yang tak menguntungkan patut kita ganti dengan cara-cara pandang baru yang berfaedah.
Komunitas Ubi (Kombi) merasa bahwa latar awal tahun ini cocok sekali untuk membahas beberapa cara pandang baru yang baik bagi bangsa—dalam kontras dengan cara-cara pandang lama yang merugikan bangsa. Empat peladang menguntai bahasannya dalam empat tulisan apik.
Cara lama telah mengajari kita untuk memandang Nusantara tercinta sebagai wilayah yang terkotak-kotak dalam dikotomi pusat-daerah. Paul Sagajinpoula melihat pengkotak-kotakan ini berdampak kepada ketertinggalan pembangunan banyak daerah non-pusat di Indonesia. Ia menganjurkan cara baru yang serius memandang Nusantara sebagai satu kesatuan yang harus sama-sama maju.
Cara lama telah mengajari kita untuk memandang rendah rupa Nusantara, rupa kita sendiri. Ericko Sinuhaji menilai perendahan ini melumpuhkan kepercayaan diri orang Indonesia untuk berkiprah di tengah bangsa-bangsa. Ia mengimbaukan cara baru yang memandang rupa khas Nusantara dengan rasa syukur dan bangga sehingga terpaculah kepercayaan diri sebagai modal kemajuan.
Cara lama telah mengajari kita untuk memandang Indonesia dengan “mata duitan.” S.P. Tumanggor mengamati bagaimana “mata duitan” ini mendorong banyak orang Indonesia untuk pintar memanfaatkan segala sesuatu demi memperkaya diri dan, karenanya, merusak banyak hal di Indonesia. Ia menyerukan cara baru yang memandang uang sebagai hamba—bukan sebagai tuan!—yang bisa diperalat untuk memajukan kesejahteraan bersama.
Cara lama telah mengajari kita untuk memandang kekristenan terpisah dari keindonesiaan. Julianto Chin menilai keterpisahan itu mencacati hakikat orang Kristen sendiri sebagai garam dan terang bagi dunianya atau lingkungannya. Ia menegaskan cara baru yang memandang kekristenan berpadu selaras dengan keindonesiaan sehingga kita menjadi 100% Kristen dan 100% Indonesia.
Sudah barang tentu masih ada cara-cara pandang lama lainnya yang patut kita tukar dengan cara-cara pandang baru. Namun, empat yang disoroti Kombi di hulu tahun ini kiranya dapat merangsang pembaca untuk mengecek cara-cara pandangnya sendiri terhadap Indonesia dan memastikan seluruhnya baik dan berfaedah. Semuanya demi kejayaan Indonesia di lintasan segala masa.
Selamat tahun baru dan selamat ber-Ubi.
Penjenang Kombi