Oleh Monalisa Malelak
Sebuah iklan bercerita tentang seorang pemuda yang kesal dengan keadaan negerinya. Suatu hari ia pergi ke sebuah kantor untuk mengurus keperluannya. Di tempat itu, ia berurusan dengan petugas berpenampilan mirip oknum mafia pajak yang sedang terkenal saat ini.
Ketika akhirnya ia keluar dengan wajah kesal, tanpa sengaja ia tersandung sebuah kendi. Tiba-tiba, wuussh.., sesosok jin keluar dari kendi itu. Seperti pada kisah-kisah dongeng 1001 malam, dengan sopan dan lembut jin itu pun menawarkan untuk mengabulkan permintaannya.
Dengan semangat pemuda itu menjawab, “Aku mau supaya KKN, pungli, dan sebagainya, hilang dari negeri ini! Bisa, Jin?” Jin itu pun mengangguk dan menjawab, “Bisa diatur, wani piro [berani berapa]?” (sambil tersenyum licik dan melakukan gerakan menghitung uang dengan jemarinya).
Sontak aku tertawa lepas melihat tayangan iklan itu. Ternyata jin pun tak kalah mata duitannya. Untuk apa jin meminta uang? Bukankah, menurut dongeng, ia bisa memperoleh segalanya dengan mudah? Atau, karena jin ini jin Indonesia, sehingga menggunakan uang pelicin dan sebagainya adalah hal biasa?
Tak dapat dipungkiri bahwa citra seperti itu telah tertanam dalam pusat saraf hampir seluruh masyarakat Indonesia, khususnya terhadap pemerintah mulai dari daerah sampai pusat. Mereka adalah orang-orang yang memegang peranan penting dalam siklus kenegaraan sekaligus yang dengan mudah mendapat keuntungan dari jabatan mereka. Memberi banyak pada negara pun hanya akan memperkaya mereka. Itu pikirku.
Namun, aku teringat suatu cerita lain. Suatu ketika, beberapa orang disuruh bertanya kepada Yesus: “Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?” Yesus menjawab dengan meminta mereka menunjukkan mata uang untuk membayar pajak itu.
“Gambar dan tulisan siapakah yang ada pada mata uang itu?” tanya Yesus kepada mereka.
“Gambar dan tulisan Kaisar,” jawab mereka.
“Berikanlah kepada Kaisar,” kata Yesus, “apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah.”
Mendengar itu heranlah mereka dan pergi meninggalkan Yesus (lihat Matius 22:15-22).
Cerita ini membuat aku berkhayal. Kalau saja Yesus hidup di Indonesia sekarang ini, dan kita pun bertanya tentang hal membayar pajak, mungkin Ia akan menjawab dengan meminta kita menunjukkan gambar yang ada pada rupiah kita.
Ia mungkin bertanya, “Gambar siapa dan apakah yang ada di situ?”
Kita pun menjawab, “Ada gambar Sukarno-Hatta dan gedung DPR-MPR, I Gusti Ngurah Rai dan Danau Beratan-Bedugul, Otto Iskandar Dinata dan Pemetik Teh, Sultan Mahmud Badaruddin II dan Rumah Limas, Tuanku Imam Bonjol dan Pengrajin Tenun, Pangeran Antasari dan Tarian Adat Dayak, Kapitan Patimura dan Pulau Maitara dan Tidore.”
Lalu mungkin Yesus akan berkata seperti ini: “Pahlawan-pahlawan itu adalah orang Indonesia. Pulau-pulau, kebun, danau, segala tarian, kesenian, dan adat budaya itu adalah kekayaan Indonesia. Semuanya adalah milik Indonesia. Maka berikanlah kepada Indonesia apa yang wajib kamu berikan kepada Indonesia!”
Ungkapan “berikanlah kepada Indonesia apa yang wajib kamu berikan kepada Indonesia” seharusnya mendorong kita untuk memberi tanpa rasa ragu dan kuatir. Kita tidak memberikan segala sesuatu kepada para pejabat yang duduk dalam pemerintahan, tetapi kepada Indonesia, negara kita.
Mari kita berkaca pada para pahlawan yang ada dalam lembar rupiah. Mereka memberikan apa yang ada pada mereka. Inilah yang membuat mereka tetap dikenang abadi. Maka, berikanlah apa yang ada pada kita: uang, tenaga, pemikiran, idealisme, dan segalanya untuk membangun dan memajukan Indonesia. Bukan tidak mungkin beberapa puluh tahun mendatang wajah kitalah yang ada dalam Rupiah Indonesia.
Sebagai kaum Nasrani kita adalah umat Allah, milik Allah. Sebagai orang Indonesia kita adalah warga Indonesia, milik Indonesia. Maka berikanlah kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah dan berikanlah kepada Indonesia apa yang wajib kamu berikan kepada Indonesia!
.
Monalisa adalah seorang alumnus jurusan teknik elektro yang tinggal di Kupang, Nusa Tenggara Timur.
.