Oleh S.P. Tumanggor
Saya menyebut mereka generasi cukup-dengar-lihat. Mereka tumbuh menjamur di zaman informasi dan digital hari ini. Mereka turut berperan, sadar atau tidak, dalam menumbangkan angka minat baca Indonesia ke titik terendah di Asia Tenggara.1
Liliek Sulistyowati dari Perpustakaan Nasional RI mengangguk di depan gambaran itu. Ia menyebut “pengaruh budaya dengar, tonton, dan media elektronik yang berkembang pesat” sebagai salah satu penyebab rendahnya budaya baca orang Indonesia. Penyebab lainnya adalah cara ajar di sekolah dan cara didik di rumah.2
Banjir informasi digital memang menghanyutkan banyak orang, istimewanya kawula muda. Pesatnya perkembangan segala sesuatu memacu jantung dengan kerinduan ingin buru-buru terus. Akibatnya, cara-cara yang cepat dan seru untuk memperoleh informasi lebih diminati daripada cara-cara yang lambat dan sunyi seperti baca buku.
Maka generasi cukup-dengar-lihat tahan duduk seharian menyimak tontonan di televisi atau internet tetapi sulit menyediakan waktu dalam sehari untuk membaca satu buku bagus—yang nyata ataupun yang maya (buku elektronik). Apalagi kalau tontonan itu amat menghibur mata, telinga, angan, dan hati.
Untuk asupan pengetahuan, generasi cukup-dengar-lihat betah duduk berjam-jam menyimak ceramah di berbagai seminar dan pelatihan tetapi sukar duduk barang setengah jam untuk menekuni satu buku penting. Apalagi kalau seminar dan pelatihan itu ditunjang oleh penyajian (presentasi) multimedia yang rancak.
Tak ada salahnya seminar, pelatihan, penyajian, dan hiburan. Semua punya tempat tersendiri dalam pembangunan diri dan bangsa. Namun, sebuah buku selalu menyimpan lebih banyak ide daripada yang bisa disampaikan oleh sebuah ceramah. Dan seratus buku selalu memuat jauh lebih limpah ide daripada seratus ceramah.
Inilah yang kerap tak disadari: sebanyak-banyaknya yang bisa kita dengar dan lihat dari seminar atau pelatihan, ide yang bisa kita keruk dari proses membaca buku tetaplah tak tertandingi. Buku bisa memperkaya kita secara besar-besaran. Tetapi malas baca, alias cukup-dengar-lihat saja, menahan kita dari kekayaan besar itu sekaligus merintangi kemajuan bangsa.
Oleh cukup-dengar-lihat saja matilah perkembangan ide—padahal banyak ide segar dibutuhkan untuk membereskan berbagai masalah di Indonesia. Memang ide apa pun dapat diajarkan dan disiarkan lewat ceramah atau penyajian. Tetapi untuk mengembangkannya, atau bahkan memahaminya lebih dalam, kita perlu membaca buku-buku mengenainya—buku-buku yang berbobot.
Oleh cukup-dengar-lihat saja mati pulalah gerak penerbit dan penulis buku dalam negeri—padahal merekalah dua pemasok utama ide segar bagi negeri. Jika banyak orang mengidap malas baca, atau berminat baca terbatas (pada topik-topik populer tertentu saja), maka penerbit harus menimbang seribu kali untuk menerbitkan buku-buku beragam topik (guna membereskan beragam masalah bangsa). Penerbit harus ambil pusing tentang larisnya buku di pasaran dan, tentu saja, laba. Ujung-ujungnya mereka terpaksa banting setir menerbitkan buku-buku yang kurang/tidak berbobot tetapi laku.
Ketika itu terjadi, para penulis pun terpaksa mengejar topik-topik populer saja. Mungkin mereka punya ide segar yang menjadi kritik bagus atau penyempurna bagi ide yang sudah dikenal. Tetapi jika penerbit enggan menerbitkan tulisan mereka karena terbatasnya minat baca orang, tersumbatlah pipa ide segar itu. Maka bakat menulis hanya mereka baktikan bagi apa-apa yang kurang/tidak berbobot tetapi laku.
Semua ini tentu saja mencorong balik kepada matinya perkembangan ide. Bisakah Anda lihat betapa dahsyatnya dampak “sekadar” malas baca dan cukup-dengar-lihat saja?
Tiada jalan lain, secara pribadi kita harus melecut diri untuk membaca pustaka berbobot. Tergugahlah untuk mengangkat angka minat baca dan martabat Indonesia di mata bangsa-bangsa. Sekolah-sekolah kita harus menggiring para pelajar ke ranah baca. Latihlah mereka menyelam dalam studi-studi pustaka yang serius. Rumah-rumah tangga kita harus memantik minat baca anak-anak. Dan luncurkanlah mereka di jalur gemar membaca.
Ya, cukup-dengar-lihat tidak pernah cukup. Indonesia butuh kebangkitan generasi dengar-lihat-baca.
.
S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.
.
Catatan
1 Benny N. Joewono. “Indonesia Terendah Minat Bacanya” dalam Kompas terbitan 26.01.2011.
2 “Minat Baca Indonesia Terendah” dalam Harian Equator terbitan 15.12.2009.