Sepotong Pengalaman Pribadi Dengan Filantropi Kristen (Barat)

Oleh S.P. Tumanggor

Tahun 2004, dua tahun sebelum buku perdana saya terbit, sepasang suami istri Kristen asal Amerika Serikat mengajak saya bersantap siang di restoran. Mereka baru saya kenal kira-kira setahun, namun tanpa terduga—sembari menikmati hidangan—mereka membuka obrolan soal bakat menulis saya.

Waktu itu saya sedang terlibat dalam suatu projek pemutakhiran naskah dan belum mengerjakan tulisan-tulisan yang kelak menyusun buku perdana saya. Tetapi “radar” mereka rupanya sudah menangkap kemampuan saya. Mereka menawari bantuan cari dana untuk saya menulis apa pun.

Saya terharu. Mereka orang bangsa lain tetapi bisa begitu menaruh perhatian pada bakat dan kemampuan saya. Saya berterima kasih kepada mereka, meski tidak menerima tawaran mereka. Mengapa? Kala itu saya berpikir soal kemandirian. Sudah saatnya orang Kristen Indonesia mandiri menyokong pekerjaan sesama orang Indonesia.

Meskipun begitu, saya mengenang peristiwa tersebut hingga kini dan memetik darinya pelajaran tentang filantropi atau kedermawanan Kristen. Kedua teman saya, dengan latar Baratnya yang khas, mencontohkan baik-baik hal itu.

Pertama, mereka punya wawasan soal pentingnya filantropi di dunia. Tawaran mereka menyiratkan pemahaman bahwa ada orang yang punya duit tapi tak punya bakat untuk berkarya bagus dan ada orang yang punya bakat tapi tak punya duit untuk berkarya bagus. Filantropi menjadi jembatan penting yang menghubungkan keduanya.

Kedua, mereka mau dan mampu melacak potensi atau kebutuhan yang layak dikembangkan atau ditunjang oleh filantropi. Itulah sebabnya mereka menawari bantuan “besar” bahkan sebelum saya menunjukkan naskah apa-apa kepada mereka. Dan mereka bukan sedang “berjudi.” Mereka telah melihat kecakapan saya di pemutakhiran naskah, dan mereka menghargainya.

Ketiga, mereka tahu membangun dan mempertahankan sistem atau jejaring untuk menyalurkan semangat berfilantropi. Mereka tak akan gegabah menawari saya pencarian dana jika tidak ada sistem atau jejaring yang mereka tahu mampu mengucurkan dana filantropi.

Latar Barat mereka yang “khas” saya singgung-singgung karena filantropi memang menonjol— secara kreatif!—pada bangsa Barat. Tengoklah barisan yayasan amal Barat yang mencurahkan dana untuk beragam hal: dari penanggulangan hemofilia sampai pembagian komputer ke negara berkembang sampai perwujudan harapan anak-anak berpenyakit berat.1 Tengoklah pula rombongan mahasiswa sedunia yang bisa mengecap pendidikan bermutu serta deretan penelitian atau buku ilmiah yang bisa mewujud akibat beasiswa dan sokongan biaya Barat.

Kekristenan, agama nominal orang Barat, tentu berpengaruh besar pada semangat filantropi mereka. Kata Inggris charity, misalnya, yang kini dimaknai sebagai “amal,” menjadi populer lewat Alkitab Versi King James. Kata tersebut merupakan padanan untuk kata Yunani agape (“kasih”).2

Sementara itu, ayat-ayat Alkitab seperti “kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Im. 19:18) dan “lebih berbahagia memberi daripada menerima” (Kis. 20:35) tentunya tertanam dalam kesadaran kolektif mereka. Inilah warisan dari masa ketika leluhur mereka masih menjunjung tinggi Alkitab.

Di Indonesia, orang Kristen juga punya Alkitab yang sama. Selain itu, sifat dasar orang Indonesia—apa pun agamanya—adalah pemurah. Ini dibuktikan oleh bermacam dompet amal yang target penerimaan dananya begitu cepat terpenuhi, bahkan terlampaui.

Tetapi ajaran agama dan sifat dasar saja tidak akan efektif tanpa penanaman wawasan, keaktifan bergerak, pembangunan sistem, dan kekreatifan dalam berderma. Di sinilah kita perlu belajar dari dunia Barat lalu mengembangkan filantropi yang cocok dengan budaya kita.

Hari ini saya sudah “melahirkan” lima buku. Meski tidak meletup sebagai bacaan laris, saya bersyukur karena ada banyak pembaca yang berterima kasih atas pencerahan istimewa dari kelimanya. Buku-buku itu juga berwira-wiri di berbagai perpustakaan terhormat di dalam dan luar negeri, termasuk Library of Congress yang terbesar sejagat itu.

Pertanyaan yang mungkin menarik minat Anda: Apakah saya ternafkahi oleh buku-buku itu? Tidak, sampai kini tidak. Saya harus mengerjakan hal lain untuk menunjang hidup sambil terus berikhtiar menelurkan karya bagus.

Pertanyaan selanjutnya yang juga mungkin menarik minat Anda: Adakah orang Kristen Indonesia yang sudah mengajak saya santap siang sambil menawari pencarian dana untuk menulis apa pun? Tidak, sampai kini tidak.

. 

S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.

.

Catatan

1 Contohnya adalah Canadian Hemophilia Society, Geeks Without Borders, Make-A-Wish Foundation.

2 Entri “Charity” dalam Encyclopedia Americana, Volume 6: Cathedrals to Civil War. Connecticut: Grolier Incorporated, 1981, hal. 296. “Charity (Practice)” dalam Wikipedia. <http://en.wikipedia.org/wiki/Charity_(practice).>

2 thoughts on “Sepotong Pengalaman Pribadi Dengan Filantropi Kristen (Barat)

  1. Victor

    aku dapat kabar dari kawanku orang Belanda. katanya, orang Belanda termasuk yang tertinggi di dunia dalam hal menyisihkan uangnya untuk diamalkan. terlepas dari lepasnya nilai-nilai Kekristenan yang nyata kita lihat, ternyata kita masih bisa banyak belajar dari mereka dalam hal memberi.

    Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *