Oleh S.P. Tumanggor
DI TANAH TIMOR TEMPO DULU, kalau seorang anak bangsawan lahir, warga biasa menyanyikan bonet1 untuknya. Salah satu bonet itu berbunyi: Bonken monit noi sonfan enon/Kumamet monit noi sonfan enon/… Fomene pahe oke.2
Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, bunyinya adalah: Pandan wangi tumbuh di depan pintu istana/Tumbuh subur di depan pintu istana/… Wanginya tersebar ke seluruh kampung.
Tak salah lagi, bonet itu secara indah mengibaratkan sang anak bangsawan dengan pandan wangi. Kelahirannya menyebarkan keharuman (kewangian) ke seluruh kampung. Tersirat pula dalam bonet itu harapan agar hidup dan karya sang anak semerbak di dunia.
Bonet yang sama kemudian dilanjutkan dengan undangan gembira: He, hai, luan-luan nenat lo aima/Aimmit bonak li kateb/Mitbol aimat lo boenta teb. Dalam bahasa Indonesia, terjemahannya adalah: Hai, penghuni kampung, datanglah/Lihatlah pandan wangi yang memang pandan wangi/Datanglah, mari bertutur bonet sungguh-sungguh.
LEBIH DARI DUA RIBU TAHUN LALU, seorang Anak yang melebihi semua anak raja dan bangsawan telah membawa keharuman di dunia. Ketika Ia lahir, bentara surgawi memanggil para penjaga domba untuk melihat “Pandan Wangi yang memang Pandan Wangi” ini. Bahkan bintang cemerlang mengundang para pengamat langit dari negeri jauh untuk mempersembahkan mas, kemenyan, mur kepada-Nya. Dan sejak saat itu, orang dari berbagai bangsa dan masa telah datang menemui Sang Pandan Wangi yang “tumbuh di depan pintu istana.”
Kita sedang berbicara tentang Yesus Kristus di sini. Tokoh istimewa ini sungguh layak digelari Sang Pandan Wangi karena keharuman hidup, ajaran, dan karya-Nya menyebar ke seluruh bumi, melintasi ruang dan waktu. Bagi umat manusia, Ia membawa “keselamatan yang berdasarkan pengampunan dosa-dosa mereka” (Luk. 1:77). Bagi seluruh dunia, Ia “akan menjadi raja” dan “Kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan” (Luk. 1:33).
Ketika pertama kali hadir di bumi, Ia menyatakan bahwa Allah telah memilih dan mengutus-Nya “untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; … untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang” (Luk. 4:18).
Itulah “wangi” yang meliputi sosok “pandan” Kristus. Itulah pula sekilas pratinjau tentang kemuliaan masa pemerintahan-Nya kelak: kala kemiskinan, ketidakadilan, sakit-penyakit, penindasan, dan dosa disirnakan dari bumi. Namun, sebelum saat penyirnaan tiba, sebelum Kristus hadir kembali di bumi untuk menegakkan Kerajaan-Nya, dunia akan tetap bergelut dengan semua keburukan itu. Tugas para pengikut Kristuslah untuk menyebarkan keharuman-Nya di hadapan semua itu sebagai kesaksian bahwa Kristus sudah, sedang, dan akan membereskan permasalahan dunia.
SIALNYA, DI SINILAH umat Sang Pandan Wangi sering terpecah secara aneh. Sebagian, entah sadar atau tidak, lebih suka menekankan wanginya daripada pandannya. Mereka gemar dan giat menyiarkan nilai-nilai Kristiani (dengan menanggulangi kemiskinan, ketidakadilan, atau sakit-penyakit), tetapi tak terlalu peduli soal sosok Kristus: apakah orang akan mengenal Dia—atau apakah mereka sendiri mengenal Dia. Mereka memegang nilai-nilai tetapi kehilangan atau menghilangkan sang pembuat nilai.
Di lain pihak, sebagian orang Kristen lebih suka menekankan pandannya daripada wanginya. Mereka gemar dan giat mengejar pengenalan pribadi akan Kristus (dengan menggalakkan pemuridan, pekabaran Injil, atau ibadat ini-itu) tetapi tak terlalu peduli soal nilai-nilai Kristiani yang harus disiarkan di dunia: menanggulangi kemiskinan, ketidakadilan, atau sakit-penyakit—sebagaimana digambarkan Kristus sendiri. Mereka memegang sang pembuat nilai tetapi kehilangan atau menghilangkan nilai-nilai-Nya.
Dua-duanya bukanlah cara yang benar untuk menghormati hidup dan karya Kristus Sang Pandan Wangi. Sebagai pengikut Yesus, orang Kristen tak boleh menjunjung sisi “pandan”-Nya dengan mengabaikan sisi “wangi”-Nya, atau sebaliknya. Kristus selamanya purna sebagai Sang Pandan Wangi, dan semua orang atau kelompok Kristen patut menjunjung kepurnaan itu dalam kesalehan pribadi, pembinaan jemaat, dan pelayanan di dunia.
Kiranya pada masa raya Natal ini umat Kristen sadar lagi bahwa dunia membutuhkan sosok sekaligus nilai-nilai hidup Kristus. Jadi, hai umat Kristen, dalam sukacita peringatan kelahiran dan kedatangan-Nya, mari kita bertutur bonet sungguh-sungguh tentang Kristus Sang Pandan Wangi.
.
S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.
.
Catatan
1 Bonet adalah jenis sastra lisan orang Dawan (Timor) yang biasa dituturkan atau dinyanyikan dalam upacara adat seperti kelahiran, kematian, pernikahan, dsb.
2 Sastra Lisan Dawan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993, hal. 39,65-66.
Kita memang perlu seimbang ya dalam menghayati kekristenan kita karena kita hidup di dunia yang ingin melihat integritas Kristiani.