Kesalehan yang Overdosis

Oleh Yulius Tandyanto

Dalam suatu acara diskusi yang diselenggarakan oleh salah satu lembaga pelayanan Kristen bulan Oktober 2011, saya mengamati ada perdebatan yang baik sekaligus memilukan mengenai kesalehan orang Kristen saat ini. Narasumber A menyatakan bahwa ada kecenderungan kaum cendekia Kristen saat ini mendalami agamanya hingga overdosis. Di kesempatan yang berbeda, narasumber B menanggapi pernyataan narasumber A dengan menegaskan, “Tidak ada istilah overdosis dalam menekuni iman Kristen!”

Diskusi tersebut saya pandang baik karena ada upaya untuk melihat kaitan antara kesalehan pribadi umat Kristen dengan konteks zamannya. Barangkali upaya ini dapat dilihat sebagai autokritik mengenai peran kekristenan dalam hidup bermasyarakat. Di sisi lain, hati saya pilu karena kebanyakan orang Kristen menganggap kritik tersebut sebagai hal yang perlu diperdebatkan atau malah menyesatkan.

Saya pribadi berpendapat, autokritik di atas dan hal menekuni iman Kristen tidaklah bertentangan, malah dapat membuat cakrawala pandang kita lebih luas dan utuh. Dan salah satu hal yang menyebabkan cara pandang kita sempit adalah konsep lahir baru yang tidak utuh: penekanan pada aspek spiritual yang berlebihan (overdosis), tapi gagap menautkannya dalam kehidupan material kita.

Memang pada tahap awal, kita perlu belajar lebih dalam mengenai pribadi Allah—Bapa, Anak, dan Roh Kudus—dan segala rencana-Nya atas manusia dan dunia agar iman kita dibangun di atas dasar yang kokoh. Kita juga perlu belajar menggali mutiara-mutiara yang terkandung dalam Alkitab sehingga asupan gizi rohani kita terpenuhi. Tidak hanya itu, bersekutu dengan saudara seiman dan mewartakan Yesus Kristus pada dunia juga adalah keniscayaan.

Upaya-upaya tersebut perlu dilakukan sehingga kita mampu menala zaman seperti yang dinyatakan Paulus, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna” (Rm. 12:2).

Di tahap selanjutnya, kita perlu mendaratkan iman Kristen dalam semua bidang kehidupan yang pada kenyataannya lintas iman, suku, bahasa, budaya, kepentingan, dan sebagainya. Nah, sayangnya, frasa “janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini” seringkali dimaknai sebagai keterpisahan dengan kehidupan nyata dan hanya berpusat pada kehidupan agama kita. Padahal, jauh sebelum pernyataan Paulus dikumandangkan, Yesus sudah melihat dan memperingatkan kita untuk tidak menjadi serupa dengan ekstrim lainnya: praktik keagamaan yang munafik.

Dalam khotbah-Nya di atas bukit, Yesus berulang kali mengecam rohaniwan-rohaniwan yang munafik (Mat. 6:2,5,16). Mereka melakukan kewajiban agamanya agar dilihat orang bahwa mereka adalah orang-orang saleh. Berdasarkan pemahaman tersebut, tidaklah berlebihan jika dalam konteks kini saya menafsirkan orang-orang yang hanya menekankan kesalehan pribadi tanpa bertindak untuk memperbaiki situasi bangsa yang lacur adalah orang-orang yang munafik. Mengapa demikian? Karena kesalehan pribadi seharusnya berkaitan dengan kesalehan sosial dan berupaya memperbaiki mental yang korup.

Jadi, sudah sepatutnya kita tidak abai dengan permasalahan bangsa dan mulai ambil bagian dalam upaya perbaikannya sesuai dengan rencana Tuhan dan kapasitas yang dimiliki. Namun, pernyataan tersebut bukan berarti meniadakan atau bertentangan dengan kesalehan pribadi yang telah dibangun berdasarkan disiplin rohani yang baik, malahan saling melengkapi. Sebagai langkah praktis, barangkali kita dapat memikirkan ulang kecenderungan pembinaan umat (pemuridan) yang ada saat ini: apakah serupa dengan praktik keagamaan yang munafik atau serupa dengan dunia?

.

Yulius adalah seorang mahasiswa pascasarjana jurusan filsafat yang tinggal di DKI Jakarta.

.

10 thoughts on “Kesalehan yang Overdosis

  1. Altur Lubis

    Wah ini serupa dengan kejadian di acara ‘pesta rohani’ akhir Oktber lalu (atau mungkin acara yang sama, tapi kayaknya bukan bulan November, kecuali perdebatan itu berlanjut sampai bulan November,,hehehehe)
    Saya setuju dengan pendapat ditulisan ini, waktu ‘kejadian’ perdebatan itu saya berpikir bahwa kritikan ‘overdosis’ itu tidak perlu ditangapi reaktif karena sarat dengan maksud yang berbeda dari yang diperdebatkan,,,justru kritikan itu mengingatkan kaum cendikiawan untuk melakukan sesutu yang nyata bagi bangsa sebagai hasil dari kesalehannya, artinya berimbang…

    Reply
    1. Bagus Cahyo Rawi

      Trimakasih buat pendapatnya Bung Altur Lubis! Ah, tampaknya saya mengalami disorientasi waktu. Ya, peristiwa itu terjadi di akhir bulan Oktober. Terimakasih untuk koreksinya.

      Betul, Bung Altur. Kita perlu berimbang baik yang rohani maupun materi. Saya berharap rekan-rekan yang lain juga dapat menangkap esensi dari “perdebatan” itu. Jadi, iman kita tidak picik.

      Reply
  2. witsheka

    Kesalehan overdosis, perdebatan tanpa solusi, diskusi tanpa tindakan. Segala hasil diskusi, perdebatan, dan pengajaran gak ada gunanya kalau hanya berhenti di kelas. Pembusukan yang sedang terjadi sekarang perlu garam yang ditabur ke sampah bukan garam dalam semangkuk sup. Untuk membersihkan sampah yah harus mau kotor, bukan cuma terus menerus mencuci baju hingga mengkilat tanpa mau terpercik noda.

    Reply
    1. Bagus Cahyo Rawi

      Itulah ironi yang kita hadapi, Bung Witsheka. Saya setuju dengan pendapat Anda bahwa tak ada gunanya kita memperdebatkan hal ini jika tak ada tindakan nyata. Dan, tindakan nyata itu harus membangun Gereja (semangkuk sup) dan membenahi kondisi masyarakat yang lacur (sampah).

      Reply
  3. Altur Lubis

    Mungkin ini bagian yang harus di alami oleh organisasi itu dalam hal transformasi pengajaran, tentu ada yang masih berpandangan konservatif dan ada yang berpandangan kontemporer, hanya kita juga tidak boleh saling menyalahkan dan mengganggap benar masing-masing pandangan, karena bukan itu yang harus kita pikirkan,,yang kita pikirkan adalah bagaimana benar-benar menjadi berkat secara nyata.Kejadian ini juga mengingatkan saya bahwa pelayanan atau organisasi itu dikerjakan oleh manusia, artinya kesalahan akibat sifat kemanusiawian pasti menjadi lumrah karena tidak ada yang manusia yang sempurna, kita tidak boleh berpaut total kepada pandangan-pandangan manusia, karena yang ada akan terjadi perpecahan seperti yang terjadi di gereja-gereja. Semakin tinggi pohon, maka angin semakin kencang, kita harus berhati-hati.Minta hikmat kepada Tuhan atas pengertian akan kehendak Tuhan harusnya tak lupa kita lakukan,supaya terbebas dari ketergantungan kepada pengertian manusia..ayo rekan-rekan semangat menjadi agen pengubah, khususnya bagi negeri,dan daerah tempat kita tinggal..:D

    Reply
    1. Bagus Cahyo Rawi

      Ya, semakin besar organisasi (tinggi), semakin besar pula perpecahannya (angin). Saya setuju kita tidak boleh berpaut total pada pandangan manusia. Malah kita perlu menimbang dan melahirkan pemikiran baru yang sesuai dengan kondisi kita yang terkini. Ditimbang berdasarkan akal sehat dan tak melenceng dari prinsip kitab suci.

      Dan salah satu langkah praktis yang dapat kita lakukan adalah membenahi kembali pola pembinaan umat. Pembinaan menolong umat untuk mengenal Tuhan sekaligus melakukan pekerjaan yang baik bagi sesama (dalam konteks kita: bangsa Indonesia).

      Reply
  4. morentalisa

    Tadinya saya bertanya-tanya, bisakah orang saleh secara overdosis? Ternyata yang dimaksud dalam tulisan ini adalah mereka yang ‘terlihat’ saleh dalam ritual agama namun tidak menginternalisasi keimanan dalam pribadinya sendiri.

    Wah, jadi merasa tertohok, jangan-jangan saya merupakan salah satu korban overdosisnya. Tulisan yang bagus.

    Tuhan memberkati

    Reply
    1. Bagus Cahyo Rawi

      Pertanyaan yang baik, Nona Moren. Dan Anda juga pembaca yang baik sehingga dapat menangkap ide dan semangat di balik tulisan ini. Semoga orang lain pun punya semangat seperti Anda. Terima kasih.

      Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *