Oleh Yulius Tandyanto
Pada suatu masa, di kalangan injili sudah nyaris tak diragukan lagi bahwa semua yang ingin menjadi orang Kristen kelas satu harus menjadi misionaris ke luar negeri, pendeta/istri pendeta, personil medis (dokter atau perawat), atau pengajar di sekolah. Semua profesi lain, betapapun sahihnya, dianggap kelas dua kalau dibandingkan dengan profesi-profesi tadi.
~ J.I. Packer dan Carolyn Nystrom1
Sadar tak sadar pola pikir yang diamati Packer dan Nystrom di atas masih berbiak dalam kehidupan rohani umat Kristen masa kini di Nusantara. Alasannya sederhana, profesi sebagai misionaris, pendeta, dokter, atau guru berpeluang besar untuk memberi dampak baik bagi banyak orang. Karena itulah pekerjaan-pekerjaan tersebut dipandang memiliki gengsi lebih tinggi, bahkan dicap lebih rohani—“Kristen kelas satu.”
Namun, bila kita tinjau ulang, sebetulnya pekerjaan yang berdampak baik bagi banyak orang tidak berkaitan dengan urusan lebih rohani atau kurang rohani. Barangkali cap tersebut muncul karena frasa “dampak baik” juga dipahami sebagai kesempatan untuk membagikan pengalaman iman kepada orang lain.
Saya pikir sah-sah saja jika ada orang yang berbagi pengalaman tentang Tuhan kepada orang lain di tengah pekerjaannya. Namun, tindakan tersebut malah menghina Sang Khalik dan melacurkan derajat manusia ketika orang itu bertujuan memanipulasi orang lain demi kepentingan agamanya. Agama, yang seharusnya menjadi rahmat bagi banyak orang, malah menjadi laknat karena siar agama yang tidak pada tempatnya atau karena memaksa umat lain mengikuti aturan agama yang tidak dianutnya.
Nahasnya, praktik agama yang membedakan “kelas” profesi sudah dianggap biasa dalam pembinaan umat Kristen (pemuridan). Para pembina umat seharusnya dapat melihat profesi-profesi dari beragam sisi, tidak melulu menekankan soal kepentingan agama atau urusan rohani dengan dalih “meluaskan kerajaan Allah di bumi.” Bukankah profesi juga berbicara tentang kebutuhan jasmani, ekspresi jiwa, mengembangkan kemampuan diri, bernala-nala tentang moral bangsa, dan lain sebagainya?
Dengan kata lain, menekankan satu cara pandang saja—misalnya agama/rohani—dalam memandang suatu profesi akan merenggut keutuhan hakikat hidup manusia. Akibatnya, umat bisa menjadi fanatik, terasing dari sesama, dan berpikir picik karena merasa berada di jalan yang benar, padahal “kacamata kuda” masih bertengger di “mata akal” mereka. Oh, sungguh mengerikan! Dan para pembina umatlah yang harus bertanggung jawab atas sesat pikir yang meracuni umat!
Oleh karena itu, para pembina perlu membimbing umat dengan kebenaran Alkitabiah yang berterima di akal sehat. Jangan sampai kita mengutamakan teologi, aliran (mazhab), atau ketokohan pemuka agama yang tanpa sadar menyempitkan cara pandang kita. Praktisnya, dalam urusan profesi, kita perlu mewujudkan hal-hal yang baik dengan tulus melalui kemampuan kita. Cara pandang ini berlaku pada profesi apa pun tanpa perlu diukur yang satu lebih rohani dan yang lainnya kurang rohani. Inilah menjadi Kristen tanpa “kelas.”
Hal tersebut senada dengan semangat yang dinyatakan Paulus dalam Roma 12:7-9: “Demikianlah kita mempunyai karunia yang berlain-lainan menurut kasih karunia yang dianugerahkan kepada kita: Jika karunia itu adalah untuk bernubuat baiklah kita melakukannya sesuai dengan iman kita. Jika karunia untuk melayani, baiklah kita melayani; jika karunia untuk mengajar, baiklah kita mengajar….”
Melalui untaian ayat tersebut, rasanya tak berlebihan kalau dibuat pernyataan, “Jika Anda berbakat menulis, jadilah penulis. Jika Anda pandai mengolah cita rasa lidah, jadilah koki. Jika Anda piawai menggubah karya seni, jadilah seniman. Dan, meskipun Anda merasa belum menemukan bidang pekerjaan yang “pas” (sesuai dengan panggilan batin), jadilah pekerja yang melakukan tugas dengan tulus dan sebaik-baiknya.”
Dengan demikian, menjadi Kristen yang baik berarti melakukan hal-hal yang baik dan berguna bagi banyak orang dengan tulus—dalam profesi apa pun. Inilah Kristen tanpa “kelas”!
Catatan
- J.I. Packer dan Carolyn Nystrom. God’s Will: Finding Guidance for Everyday Decisions. Michigan: Baker Books, 2008, hal. 11.
makasih kk. renungan bagus 🙂
Sama-sama, Rin.
Semoga mencerahkan 🙂
Thx. Saya jadi terinspirasi pikirin kelas-kelas yang tercipta justru oleh konsep/jenjang/kurikulum pemuridan itu sendiri. Bukan kelas profesi, namun kelas “kualitas” / kelas “kedewasaan” rohani. Efeknya sama nih, bisa munculkan sikap fanatik, dan yang ngrasa di kelas “lebih tinggi” bisa tercemari ragi kecongkakan rohani. Moga “berani” nulis sudut pandang ini [maklum, lembaga saya “bisnisnya” juga di bidang pemuridan ini:-)]
Pengamatan yang jeli, Mas Iwan. Kecenderungan menyederhanakan “pemuridan” pada kategori/metode tertentu membuat kita fanatik dan tidak terbuka pada metode lain. Misalnya, menyederhanakan pemuridan hanya pada metode kelompok kecil (yang dianggap metode terbaik dan kian populer saat ini) akan memunculkan kategori “kelas-kelas” rohani yang Mas Iwan sebutkan.
Saya setuju, Mas, topik ini memang perlu ditulis karena ada beberapa fakta di lapangan yang tidak berlaku umum dengan ideal kelompok kecil. Misalnya, munculnya ungkapan, “Lho, dia kan sudah pembina, kok ternyata masih bergumul dengan masalah itu,” berangkat dari asumsi semakin tinggi “kelas murid” maka “kelas rohaninya” mutlak makin tinggi. Barangkali inilah godaannya ketika suatu metode diharapkan dapat berlaku umum: pemutlakan.
Well diri khas dirimu,selalu kritis
Yuk, sama-sama kita bersikap kritis terhadap apa yang ada di sekeliling kita. Bukan untuk menjelek-jelekkan, tapi untuk memperbaiki 🙂