Dirgahayu Kombi dalam Segala Kekreatifan!

Oleh S.P. Tumanggor

Kekreatifan adalah roda-roda penggerak kemajuan. Olehnya berbagai hal bisa diolah dengan sentuhan unik—tidak klise atau monoton—sebagai wujud pemanfaatan “barang” luar biasa yang Tuhan karuniakan kepada kita: otak. Jadi, kekreatifan selalu karib dengan keluarbiasaan. Orang dan bangsa yang kreatif menjadi orang dan bangsa yang luar biasa.

“Menurut saya, orang Indonesia kreatif-kreatif,” ujar Yoris Sebastian, praktisi kreatif Indonesia, “tetapi saat ini belum diberi panggung dengan level dunia.”1 Pendapatnya tepat! Bermacam potensi kreatif orang Indonesia masih menanti dan dinanti tampil di banyak “panggung.” Jika kita ingin bangsa kita hebat berjaya, kita harus mengikhtiarkan dua hal: berani tampil tidak biasa alias luar biasa dan berani membuat atau memanfaatkan panggung-panggung untuk unjuk kekreatifan.

Dengan hasrat meluap terhadap ikhtiar tersebut, Komunitas Ubi (Kombi) dibentuk sekelompok anak muda Indonesia Kristen di tahun 2011. Sejak awal, komunitas ini berkomitmen kepada kekreatifan di bidang gagasan dan tulisan sambil mengambil “panggung level dunia” yang tersedia: blog. Bulan Juni 2012 Kombi merayakan setahun usianya—dan misinya untuk turut membangun bangsa dan Gereja—seraya bersulang bagi ketidakbiasaan.

Pilihan nama “Ubi” tergolong tidak biasa dalam tautan Indonesia dan Kristen Indonesia masa kini yang kerap gandrung kepada nama-nama asing. “Ubi,” tumbuhan menjalar Nusantara itu, diputuskan jadi julukan yang melambangkan damba untuk berkarya dalam kerendahan hati, bersifat am, dan berfaedah besar.2

Semboyan “bagi Tuhan dan bagi bangsa” juga tidak biasa dalam tautan Kristen Indonesia yang sering mengabaikan tautan Indonesia dan gemar menelan (nyaris) bulat-bulat segala hal impor. Semboyan itu mengungkap keinginan untuk jadi umat Tuhan yang baik sekaligus orang Indonesia yang baik. Napasnya sama dengan ide dan judul buku Samuel Tumanggor, Demi Allah dan Demi Indonesia, yang memang punya hubungan batin erat dengan Kombi.

Dari semangat “bagi Tuhan dan bagi bangsa,” lahirlah karya tulis bulanan yang tidak biasa, tidak lumrah ditemukan di mana-mana media (Kristen). Pelbagai topik, bahasan, dan idenya unik, misalnya tentang filantropi Kristen atau lahir baru bagi bangsa, justru karena mengupayakan pendaratan ide-ide Kristiani pada realitas ke-Indonesia-an. Semua itu ditunjang pula oleh pembahasaan ramah-pembaca yang selalu berusaha memaparkan gagasan besar dengan pengalimatan yang tak rumit namun tetap elegan.

Para penulisnya sejauh ini melulu orang Kristen “biasa”—mahasiswa, guru, dosen, penulis, dokter, dll—dan ini pun terbilang tidak biasa. Mereka bagai murid-murid Kristus lingkar dalam (Andreas, Matius, Simon orang Zelot, dll), tak satu pun berasal dari kalangan agamawan. Namun, mereka terdidik dalam iman Kristen, terpelajar dalam bidang yang mereka geluti, dan terlatih dalam menggali ide unik untuk dituliskan.

Kekompakan mereka luar biasa. Berlainan latar suku tetapi sehati bagi Indonesia. Berbeda latar aliran Kristen tetapi sejiwa bagi Gereja Indonesia. Orang bisa mencap Kombi bersifat interdenominasi, dan itu benar kalau interdenominasi berarti bahwa penulis-penulis Kombi memiliki latar pecahan (“denominasi”) Kristen yang beragam. Tetapi roh Kombi, setidaknya di tim inti, cenderung bersifat adenominasi, yang sama sekali tidak memandang penting pecahan-pecahan Kristen.

Kiprah dan semangat Kombi bukan saja menarik minat ratusan pembaca setiap bulan tetapi juga media umum seperti Koran Tempo. Dalam artikel bertajuk “Yang Muda Mengubah Bangsa” koran tersebut meliput Kombi bersama dua komunitas lain dan menyanjung, “Tulisan [Kombi] berbau pencerahan dan kritik terhadap gereja dan bangsa.”3

Semua hal tidak biasa itu menunjukkan bahwa orang Indonesia, kalau mau, memang bisa kreatif dan tidak biasa. Yoris Sebastian memandang pola pikir kreatif sebagai “sikap dan pemikiran yang selalu berbeda.” Jika orang memakai jam tangan di kiri, katanya, ia memakai di kanan. Jika konsultan memakai jas dan dasi, ia memakai kaus. Namun, lanjutnya, “pemikiran kreatif tetap harus ada alasan baik di belakangnya”3—jadi, bukan asal berbeda saja.

Demikian juga Kombi. Anak-anak Indonesia Kristen ini sudah turut membubuh keluarbiasaan pada Indonesia lewat sikap dan pemikiran yang berbeda namun dengan alasan baik di belakangnya. Dirgahayu Kombi dalam segala kekreatifan!

. 

S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.

.

Catatan

1 “Orang Indonesia Kreatif, tetapi Belum Diberi Panggung” dalam Kompas terbitan 24.04.2012.

2 Sebagaimana ubi tumbuh (rendah) di dalam tanah, lazim (am) didapati di mana-mana di Indonesia, dan dapat diolah menjadi berbagai panganan (faedah).

3 “Yang Muda Mengubah Bangsa” dalam Koran Tempo terbitan 19.12.2011.

4 “Orang Indonesia Kreatif, tetapi Belum Diberi Panggung.” Yoris memberi contoh untuk memperjelas maksudnya: “Misalnya, sebagai konsultan, saya pakai kaus karena ingin menjelaskan bahwa yang saya jual adalah pemikiran, bukan baju saya.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *