Kombi: Bagi Tuhan dan Bangsa

Oleh Yulius Tandyanto

Kadang-kadang orang yang menulis kisah komunitasnya sendiri itu pongah. Mereka hanya suka mematrikan gagasan ideal dan keberhasilannya dalam prasasti dokumen agar komunitasnya bercitra baik. Di sisi lain, masa-masa gamang dan penilaian kritis akan komunitas yang bersangkutan sering kali luput dari pencatatan. Keengganan mereka untuk mencatatnya justru menafikan suatu kebiasaan reflektif untuk memperbaiki diri.

Barangkali saya pun tak lepas dari bias pongah ketika menuliskan riwayat dua belas bulan Komunitas Ubi (Kombi) bernapas di dunia maya. Namun, tekad saya bukan terutama mengunjukkan “taring”-nya, tetapi memungut serpihan-serpihan perjuangan keberadaan Kombi di lintasan zaman. Ini menjadi sebuah ziarah iman dan akal saya tentang elan1 Kombi: bagi Tuhan dan bangsa.

Elan tersebut digagas oleh S.P. Tumanggor dan diwadakkan bersama Efraim Sitinjak, Viona Wijaya, dan saya. Waktu itu bulan sebelas tahun 2010. Wadak lahir, belum bernama. Tapi kami bersatu pikir dan rasa agar melalui “bayi” tersebut muncul tulisan-tulisan yang menjunjung prinsip kekristenan dan berguna bagi bangsa.

Dengan tekad itu—disertai doa—kami mengasuh si kecil “Kombi,” nama yang akhirnya kami pilih. Perbincangan tatap muka diadakan tim inti tiap bulan untuk membicarakan hal-hal teknis, terutama ide dan kualitas tulisan. Dalam praktiknya, tak jarang para peladang—sebutan bagi penulis Kombi—harus kembali menajamkan ide, menambal lubang logika, dan membenahi ejaan agar menghasilkan tulisan yang “tajam” dan “renyah” dibaca semua orang.

Untuk mencapai hasil tersebut, beberapa peladang rela berpenat-penat meski proses tersebut dikerjakan secara sukarela. Ada kalanya saya (sebagai peladang) hanya dapat menatap layar monitor komputer hingga berjam-jam tanpa menghasilkan satu kalimat pun. Rasanya ingin menurunkan standar mutu karena alasan pragmatis.

Tapi, jika direnungkan lebih dalam, menghasilkan tulisan yang berkualitas justru merupakan hal praktis yang dapat Kombi lakukan untuk melakurkan iman dan kebangsaan. Kualitas itulah yang diapresiasi sebagai salah satu kreativitas kaum muda untuk mengubah bangsa versi Koran Tempo.2

Kombi terus meningkatkan dirinya seiring waktu. Karena itu, dalam perjalanannya, Rudy Tjandra turut bergabung menjadi peladang inti, khususnya untuk merias perwajahan blog Kombi. Selain berbenah urusan teknis, kami juga senantiasa berupaya menghadirkan topik-topik yang dibidik dari sudut tilik lain. Bukan untuk mencari sensasi, tapi mendengungkan suara-suara lirih yang kerap diabaikan Gereja dan bangsa.

Saya kira membicarakan topik-topik lirih di hadapan sidang pembaca bukan perkara mudah. Jika disalahertikan, maka tulisan Kombi jadi tak berguna. Pengalaman di bulan Maret merekam kegelisahan tersebut. Awalnya, Kombi berniat meluncurkan suatu topik tertentu. Namun, sehari sebelum peluncuran tulisan (16/3), kami terpaksa urungkan niat awal itu dan menggantinya dengan topik lain.

Kami menilai bahwa tulisan yang sudah siap “dipanen” oleh pembaca akan kurang bermanfaat akibat gejolak sosial yang terjadi saat itu. Alhasil, tulisan yang biasa muncul pada tanggal 17 tiap bulannya baru dapat menyapa pembaca pada tanggal 24 di bulan Maret.

Barangkali ada pihak yang menilai kegelisahan Kombi terlalu berlebihan. Saya kira pendapat itu sah-sah saja bila didukung dengan penjelasan yang beralasan. Namun, di sisi lain saya melihat permufakatan para peladang inti menandaskan bahwa Kombi memiliki kelenturan dan selalu memperbarui dirinya agar tulisan yang dihasilkannya betul-betul berguna bagi sebanyak mungkin orang. Kombi ingin keberadaannya selalu lebih baik dari sebelumnya dan bermakna sesuai konteksnya, seolah ingin membenarkan ungkapan “eksistensi mendahului esensi.”

Kini, dua belas bulan sudah Kombi bertumbuh di ladang dunia maya dengan rata-rata sekitar 600 pengunjung yang menikmati hasil panen tiap bulannya: suguhan ide yang dikemas rancak. Kalaupun para peladang menyampaikan usulan-usulan praktis, bukan berarti mereka dapat menjawab semua persoalan Gereja dan bangsa yang kompleks. Namun, Kombi belajar mawas diri bahwa perannya saat ini baru meletakkan dasar ide bagi sidang pembaca sekalian—dengan kesadaran bahwa ide yang baik sekalipun akan sia-sia jika tak diejawantahkan.

Dasar ini relevan bagi kita semua di masa kini karena menyatukan dua unsur pokok dari hakikat menjadi manusia, yakni: bagi Tuhan dan bangsa!

.

Yulius adalah seorang mahasiswa pascasarjana jurusan filsafat yang tinggal di DKI Jakarta.

.

Catatan

1 Semangat perjuangan (hidup, daya cipta) yang menyala-nyala.

2”Yang Muda Mengubah Bangsa” dalam Koran Tempo terbitan 19.12.2011.   

One thought on “Kombi: Bagi Tuhan dan Bangsa

  1. Nancy Pingkan Poyoh

    semoga selalu menjadi peladang yang gigih, . . .
    Rudy Tjandra..? ehm, … pantas tak asing dengan gambar di atas…:)
    Kegelisahan seperti apa yang membuat Kombi memundurkan jadwal terbitnya?
    salam, ^^

    Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *