Oleh S.P. Tumanggor
Sudah jadi hukum alam dan hukum ilahi bahwa orang yang lebih muda (junior) harus menghormati orang yang lebih tua (senior)—apalagi yang jauh lebih tua. Tidak ada budaya dan agama besar di dunia yang tidak memaklumi atau menganjurkan hal itu. Dalam Alkitab pun Allah berfirman kepada umat-Nya, “Engkau harus bangun berdiri di hadapan orang ubanan dan engkau harus menaruh hormat kepada orang yang tua” (Im. 19:32).
Secara khusus dalam budaya Timur, takzim jasmani dan jiwani yang demikian (“bangun berdiri” dan “menaruh hormat”) masih kuat ditekankan hingga kini. Para senior dipandang layak menerimanya dengan anggapan bahwa mereka sudah mendulang umur dan pengalaman yang tinggi-banyak-besar. Jadi, sepantasnyalah para junior, yang masih berumur dan berpengalaman rendah-sedikit-kecil, bertakzim kepada mereka.
Itu tentu saja baik dan patut. Namun, seperti pada semua hal yang baik dan patut, penyimpangan bisa saja tercetus sehingga para senior malah jadi gila hormat dan sukar menghargai, apalagi membantu berkembang, para junior. Di Indonesia, inilah salah satu perintang kemajuan bangsa dan Gereja. Ketika para senior tidak membantu berkembang atau malah menghambat para junior, yang notabene merupakan generasi penerus, pastilah perjalanan bangsa dan Gereja kepada kemajuan akan terseok-seok.
Contoh-contoh kasusnya tak sukar ditemukan. Kita bisa melihat, misalnya, tokoh-tokoh gaek di ranah politik dan organisasi yang ogah “turun takhta” untuk memberi jalan dan peluang kepada tokoh-tokoh muda. Di rumah-rumah tangga, kita bisa mendapati para orang tua dominan yang gemar mengatur dan menggariskan jalan hidup anaknya. Di dunia pelayanan Kristen, kita bisa memergoki para pembina rohani yang menerapkan wibawa kepemimpinan sedemikian rupa sehingga junior binaannya menjadi sangat bergantung kepadanya, bukannya menjadi pribadi mandiri.
Semua itu bertutur tentang penyalahgunaan kesenioran. Bukannya dimanfaatkan untuk memperkaya para junior, usia dan pengalaman malah dipatok para senior jadi semacam pemutlak pandangan, pendapat, atau tata cara mereka. Itu tentu saja takabur dan jauh dari kearifan. Dan Alkitab, buku yang menganjurkan takzim kepada senior, tak pernah sepakat dengan penyalahgunaan kesenioran.
Contoh menariknya terdapat dalam Kitab Ayub. Setiap kita yang sudah akrab dengan kitab ini tahu bahwa Ayub dijenguk ketiga sahabatnya setelah ia melarat dan menderita lantaran Allah mengizinkan Iblis mencobainya. Bukannya menghibur, ketiga sahabat malah menuduh Ayub tertimpa segala petaka akibat kesalahannya sendiri. Uniknya, tuduhan mereka dibungkus dengan klaim kesenioran.
Bildad, seorang dari ketiga sahabat itu, menyanggah pembelaan diri Ayub dengan berkata, “Kita, anak-anak kemarin, tidak mengetahui apa-apa, … Bukankah mereka [orang-orang tua, para pendahulu] yang harus mengajari engkau dan yang harus berbicara kepadamu?” (Ayb. 8:9-10). Di sini Bildad mendesak Ayub untuk tunduk kepada pemahaman para senior.
Elifas, sahabat yang lain, menimpali, “Di antara kami juga ada orang yang beruban dan yang lanjut umurnya, yang lebih tua umurnya daripada ayahmu” (Ayb. 15:10). Dengan perkataan itu Elifas bermaksud menyatakan: Aku lebih tua darimu. Aku lebih tahu alasan di balik kesusahanmu, sebab sudah banyak yang kualami dan kupahami. Mana mungkin kau lebih tahu dari kami?
Ayub, sang junior, tak mau begitu saja menerima klaim macam itu. “Konon hikmat ada pada orang yang tua,” katanya, “dan pengertian pada orang yang lanjut umurnya. Tetapi pada Allahlah hikmat dan kekuatan, Dialah yang mempunyai pertimbangan dan pengertian” (Ayb. 12:12-13).
Di sini Ayub menegaskan bahwa kesenioran pun punya keterbatasan. Usia dan pengalaman bukanlah segala-galanya, sebab kebijaksanaan sejati adalah milik Allah, bukan milik manusia. Siapa lebih karib dengan kebijaksanaan sejati, ia berpotensi jadi lebih “senior” dalam hal pemahaman.1
Ayub berani berontak terhadap kesenioran yang disalahgunakan. “Aku sama sekali tidak membenarkan kamu!” serunya. “Sampai binasa aku tetap mempertahankan bahwa aku tidak bersalah” (Ayb. 27:5).
Seruannya membuka wawasan kita tentang manusia sebagai makhluk berharkat yang (seharusnya) hanya tunduk mutlak kepada Allah, Khaliknya. Jika ia bertakzim kepada senior, ia melakukannya karena Allah. Jika ia berontak terhadap penyalahgunaan kesenioran, ia melakukannya karena Allah juga.
.
S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.
.
Catatan
1 Ide ini juga mencuar dalam kesaksian pemazmur di Mazmur 119:99-100: “Aku lebih berakal budi daripada semua pengajarku, sebab peringatan-peringatan-Mu kurenungkan. Aku lebih mengerti daripada orang-orang tua, sebab aku memegang titah-titah-Mu.”
Lanjut ke Berontak Terhadap Penyalahgunaan Kesenioran (2) Suatu Pelajaran dari Kitab Ayub