Celik Hukum, Merdeka Hukum

Oleh Lasma Panjaitan

Bayangkanlah seorang petani Indonesia yang lugu dan sederhana mendekam di penjara selama lima tahun gara-gara menginjak rumput suatu perusahaan perkebunan. Perusahaan itu memperkarakannya dengan alasan bahwa tindakannya menginjak rumput termasuk tindakan yang mengganggu usaha perkebunan. Bagaimana perasaan Anda?

Boleh jadi rasa keadilan Anda akan sangat terusik. Apalagi jika Anda mengingat para bandit koruptor yang justru lepas dari hukuman. Tetapi belum lama ini hukum di negeri kita memang pernah memungkinkan hal itu.1 Inilah salah satu contoh dari sekian banyak aturan di Indonesia yang bermasalah. Hukum sepertinya lebih berpihak kepada kalangan “mampu” daripada kalangan “tidak mampu.”

Kita memang tidak lagi terjajah secara fisik. Namun rupanya kita masih terjajah di bidang hukum. Banyak orang kita begitu haus akan jabatan, uang, dan kuasa sampai-sampai mereka hilang rasa. Hukum diotak-atik mereka demi kepentingan sendiri dengan menumbalkan orang lain, khususnya rakyat kecil. Mereka tega jadi penjajah saudara sebangsa.

Kondisi ini dipersukar oleh kenyataan masih banyaknya rakyat Indonesia yang tak bisa baca tulis atau tak berkesempatan mengecap pendidikan yang baik. Walaupun bisa baca tulis atau berpendidikan, kemampuan mengerti bahasa hukum sangat minim pula. Pada umumnya, orang awam tidak begitu paham akan seluk-beluk hukum. Bahkan sebagian orang menganggap hukum sebagai sesuatu yang rumit. Mereka sering dibuat pusing saat membaca istilah dan bahasan dalam undang-undang.

Semua itu mengakibatkan rakyat jadi kurang atau tidak celik hukum. Mereka pun jadi tidak peduli terhadap penting tidaknya sebuah aturan. Ini tentu saja bertolak belakang dengan sikap negara kita yang katanya menjunjung hukum. Apalagi negara tak berhenti melahirkan segala jenis peraturan. Namun, sedikit saja usaha untuk memperkenalkan peraturan tersebut kepada rakyat. Jangan harap paham dan mengerti, kebanyakan rakyat masih di taraf tidak tahu.

Alhasil, rakyat bisa ditipu oknum-oknum tertentu. Sebagai cerminan, kita boleh tengok permasalahan di bidang pertanahan. Kesadaran rakyat masih rendah untuk mendaftarkan tanah milik mereka, terutama tanah ulayat yang dimiliki secara kolektif oleh masyarakat adat.2 Padahal sertifikat akan menguatkan posisi mereka di depan hukum. Ketika bukti kepemilikan tanah tidak ada, yang diuntungkan adalah para “penggusur.” Mereka memberdayakan celah ini untuk merebut hak-hak rakyat.

Ketidaktahuan hukum juga membuat rakyat punya daya tawar lebih rendah. Sebagai contoh, dalam proses ganti rugi pengalihan tanah, rakyat tidak menerima sebanding dengan hak yang mereka lepaskan. Rakyat yang tak mampu baca tulis pun bisa saja diminta menandatangani perjanjian, yang isinya mereka belum tentu mengerti. Kerap kali trik ini dimanfaatkan dalam proyek-proyek pembangunan.3

Keterjajahan di bidang hukum ini tentu tidak patut dibiarkan merajalela. Sebab itu pemerintah perlu mengoptimalkan upaya pendidikan hukum di tengah masyarakat. Pemerintah dapat memakai program televisi atau kolom berita yang membahas rinci aturan-aturan yang berlaku di Indonesia. Pemberitaannya tentu harus dilakukan dengan jujur, terbuka, menarik, dan berkelanjutan. Mencerdaskan atau mencelikkan masyarakat dalam hal hukum sama saja artinya dengan memerdekakan mereka di bidang hukum.

Bagi mahasiswa hukum, ada seruan keras untuk terlibat. Masakan ilmu-ilmu yang sedang dan sudah diperoleh hanya dipenjarakan dalam wujud abjad-abjad di kampus? Mahasiswa hukum bisa menulis dan menyebarkan banyak kajian hukum lewat media yang tersedia—dengan bahasa yang gampang dicerna semua kalangan.

Masyarakat juga membutuhkan peran penting barisan utama hukum—para hakim, jaksa, polisi, dan pengacara. Pos-pos tempat pengaduan dan pelayanan masyarakat sebaiknya lebih didayagunakan. Melalui sarana ini, mereka seharusnya dapat mengayomi serta mencerdaskan rakyat. Bukan sebaliknya, kehebatan dalam hukum malah digunakan untuk membodoh-bodohi masyarakat.

Para pendekar hukum harus bergegas mengatur strategi, merapatkan barisan, dan mengangkat “bambu runcing.” Tumpas segala macam penjajahan dalam hukum. Rakyat pun jangan lagi mau dibodoh-bodohi, jangan lagi mau ditindas. Semua orang Indonesia berhak untuk dicerdaskan dalam hal hukum. Ketika Anda celik hukum, Anda pun merdeka di bidang hukum.

.

Lasma adalah seorang pegiat Lembaga Bantuan Hukum yang tinggal di Bandung, Jawa Barat.

.

Catatan

1 Pasal 21 dan pasal 47 dalam Undang-Undang no 18 tahun 2004 tentang Perkebunan menyebutkan bahwa setiap orang—sengaja atau lalai­—yang melakukan tindakan berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan dapat diancam pidana penjara. Frasa “tindakan lainnya” dapat disalahgunakan karena tidak rinci dan tidak jelas. Pasal ini sudah tidak berlaku lagi semenjak tahun 2011 berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi.

2 Tanah ulayat adalah tanah yang dimiliki secara bersama-sama oleh satu kaum adat. Kepemilikan tanah bukan kepemilikan pribadi/individu. Umumnya kepemilikan tanah tersebut diwariskan secara turun-temurun sehingga rasa memilikinya amat kuat pada warga setempat, walaupun secara hukum mereka tidak mempunyai bukti kepemilikan, seperti sertifikat tanah.

3 Misalnya dalam kasus-kasus pengalihan tanah untuk bangunan dan kantor-kantor guna  penyelenggaraan pemerintah. Praktik korupsi sering kali terjadi dalam hal pembayaran lahan. Hal ini menyebabkan ganti rugi yang diterima masyarakat sangat rendah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *