Oleh S.P. Tumanggor
Penjajahan punya kesejajaran dengan paku yang dicacakkan di dinding. Paku di sini melambangkan bangsa penjajah (dalam kasus Indonesia: kuartet Eropa—Portugis, Inggris, Perancis, Belanda—plus Jepang) sedang dinding melambangkan bangsa jajahan. Waktu paku itu dicabut, bekasnya tetap ada di dinding. Inilah lambang “luka batin” yang ditinggalkan bangsa penjajah pada bangsa jajahan.
Bekas itu tidak kecil atau sedikit. Tercakup di dalamnya adalah mental rendah diri yang akut. “Yang paling menyakitkan pada Asia,” ujar Kishore Mahbubani, mantan diplomat Singapura, “bukanlah kolonisasi fisik, tapi kolonisasi mental. Banyak bangsa Asia … mulai percaya [akibat kolonisasi itu, pen.] bahwa orang Asia lebih inferior di hadapan orang Eropa.”1
Karena merasa diri rendah (“inferior”), banyak orang Asia gamang untuk berpikir mandiri—ya, bahkan lama setelah merdeka dari penjajahan fisik. Ini tentu saja buruk untuk masa depan bangsa-bangsa Asia sendiri. “Saya akan menambahkan,” lanjut Mahbubani, “kolonisasi mental ini belum sepenuhnya terhapus di Asia. Dan banyak masyarakat Asia masih berjuang membebaskan dirinya.”2
Segala ujaran perih itu diguratkan Mahbubani dalam bukunya yang punya judul lebih perih lagi, “Bisakah Orang Asia Berpikir?”3 Kita, yang sadar diri sebagai warga Asia, mungkin tersentak atau tersinggung oleh judul itu. Tetapi pertanyaannya memang tidak mudah kita elakkan atau tepiskan: Bisakah orang Asia—lebih khusus lagi, orang Indonesia—berpikir?
Mahbubani sendiri tak mendapatkan satu jawaban. Wawasannya yang luas harus berujung pada tiga jawaban: ya, mungkin, tidak—lengkap dengan bukti-bukti dan argumen-argumen yang menunjangnya.
Trio jawaban Mahbubani nyata sekali di Indonesia yang tengah menelusuri dasawarsa ketujuh dari kemerdekaannya. Di titik waktu ini tampak bagi kita rupa-rupa gejala yang memperlihatkan bahwa ya, orang Indonesia bisa berpikir atau mungkin orang Indonesia bisa berpikir atau tidak, orang Indonesia tidak bisa berpikir.
Para pendiri bangsa di masa lampau dan segelintir orang Indonesia masa kini jelas menunjukkan bahwa ya, orang Indonesia bisa berpikir. Mereka piawai menggagas ide atau memadukan ide luar negeri dengan ide dalam negeri untuk menghasilkan hal-hal cemerlang.
Tetapi banyaknya masalah (pembangunan) bangsa: kota besar semerawut, daerah perbatasan merana, garam dan ikan harus diimpor, bibit atlet tak terurus, dsb. membuat kita meragukan kemampuan berpikir bangsa sendiri—meski banyak orang kita sudah sekolah tinggi-tinggi. Kita terpaksa menarik kesimpulan dalam kabut: mungkin orang Indonesia bisa berpikir.
Dan dari kabut itu kita sudah amat sangat dekat kepada penilaian bahwa orang Indonesia tidak bisa berpikir—atau nyaris tidak bisa berpikir. Fenomena pembuktinya banyak sekali: rendahnya minat baca, miskinnya riset dan kajian (secara khusus dalam bentuk pustaka), mental ronggeng monyet yang cuma suka menjiplak gaya atau pola dari luar, dsb.
Karena gejala mungkin atau tidak lebih banyak dan besar dari gejala ya, teranglah bahwa orang Indonesia belum menikmati kemerdekaan penuh di sektor pemikiran. Kenyataan ini diperkukuh pula oleh kritik orang-orang celik terhadap pola didik bangsa Indonesia. (Ya, bicara soal berpikir mau tak mau harus melibatkan soal pola didik.)
“Anak-anak kita,” ujar Iwan Pranoto, guru besar ITB, “sangat jarang diberi kesempatan mengembangkan kecakapan abad ke-21, seperti bernalar tingkat tinggi”—yakni memahami, mengelola, dan memanfaatkan informasi. Sebaliknya, mereka terus dilatih bernalar tingkat rendah, yakni menghafal alias menyimpan informasi.4 Padahal bernalar tingkat tinggi adalah wujud kemandirian (baca: kemerdekaan) berpikir dan kunci kepada kemajuan.
Untuk menanggulangi masalah serius bin gawat ini, pemerintah tentu saja harus sigap merancang-bangun peraturan dan sistem didik yang menggembleng bangsa Indonesia dalam penalaran tingkat tinggi. Tak kalah penting, keluarga dan lembaga agama—dua lingkungan yang berperan besar dalam membentuk cara pikir insan—harus mengasuh anak-anak bangsa dalam kebiasaan bernalar tingkat tinggi, bukan cuma tingkat rendah, dan berpikir lapang, bukan sempit. Kita pun, pribadi lepas pribadi, harus memacu diri untuk menjadi pemaham, pengelola, dan pemanfaat informasi, bukan penghafal belaka.
Itu, bisa kita bayangkan, akan seperti dempul mujarab yang melenyapkan bekas paku kolonisasi mental di dinding kita.
.
S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.
.
Catatan
1 Kishore Mahbubani. Bisakah Orang Asia Berpikir? Jakarta: Penerbit Teraju, 2005, hal. 10.
2 Kishore Mahbubani, hal. 10 (tekanan oleh saya).
3 Judul aslinya adalah Can Asians Think? Understanding the Divide Between East and West.
4 Iwan Pranoto. “Pendidikan Asingkan Budaya Bernalar” dalam Kompas terbitan 16.06.2012. Iwan juga menyatakan sambil mengeluh, “Masalah penyimpanan dan sistem pencarian informasi sudah dipecahkan oleh Google. Sungguh absurd jika pelajar kita justru difokuskan mengejar kecakapan yang sudah dapat dikerjakan mesin.”