Oleh Efraim Sitinjak
Indonesia sudah merdeka 67 tahun, namun kehausan untuk membangun negeri sebaik-baiknya belum tampak juga. Anggaran pembangunan dipotong di sana-sini, seolah-olah kita masih hidup di zaman penjajahan.1 Bahkan pada era Orde Baru, yang secara umum dinilai korup, potongan proyek masih lebih “wajar,” yaitu cukup lewat “satu pintu.”2Kalau keadaan tetap seperti sekarang, kapan kita bisa mengecap kemerdekaan di bidang pembangunan?
Dalam suatu urusan kerja di bidang konsultasi kegiatan pemerintah daerah, saya iseng menanyakan persen potongan dari kerjaan kami kepada rekan yang mengurusi administrasi. Ia memberi angka jawaban di atas lima puluh persen dari nilai proyek! Lalu sambil tertawa ia berkata, “Maklumlah, ini kerjaan pertama dengan dinas itu, potongan pasti besar.”
Gambaran di atas sudah menjadi rahasia umum dalam proyek-proyek pemerintah. Untuk mendapatkan pekerjaan dari suatu dinas, perusahaan swasta harus rela menerima anggaran yang sudah dipotong sekian persen. Apalagi kalau perusahaan itu baru bekerja sama dengan dinas itu.
Hal ini bukan hanya terjadi di daerah, tetapi juga di pusat. Belum lama ini saya terlibat dalam pekerjaan di beberapa kementerian. Nilai proyeknya terhitung kecil, namun tetap saja ada potongan—walau tidak sebesar potongan di daerah. (Sepertinya pegawai kementerian tahu bahwa proyek itu penting sehingga potongannya kecil agar kualitas pekerjaan tetap terjaga.)
Pemerintah daerah tampaknya tidak tertarik dengan pekerjaan yang mereka buat sehingga potongannya besar. Potongan besar ini dipakai untuk memuluskan jalan proyek serta dibagi-bagikan kepada mereka yang berwenang menilai hasil pekerjaan. Jika bagian yang diterima memuaskan, mereka tidak akan mempersoalkan kualitas pekerjaan. Jika tidak memuaskan atau malah tidak menerima bagian, mereka akan mempersulit pihak swasta dalam hal presentasi dan pelaporan hasil proyek.
Banyak hal dalam pekerjaan akan terkena dampak pemotongan anggaran. Sebagai contoh, dana yang minim akibat dipotong akan membuat konsultan ogah-ogahan memilih tenaga ahli. Konsultan pun bisa saja mempersingkat beberapa langkah kajian atas proyek, mengurangi kualitas atau bahkan menghilangkan kajian.
Semua itu tentu berpengaruh kepada hasil proyek. Akhirnya, banyak hasil proyek yang sekedar “lulus” tahap pemeriksaan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) saja. Artinya, pemerintah daerah hanya perlu menunjukkan bahwa laporan ada secara fisik dan tidak akan mencek sampai ke isi laporan.
Jadi, jelaslah bahwa potong anggaran berarti potong pembangunan. Potong pembangunan berarti kita akan jarang melihat hasil pembangunan yang baik dan bisa dipakai untuk jangka panjang. Ini sangat menyedihkan. Bangsa kita rupanya belum mampu membangun negerinya sendiri dengan tulus!
Pertanyaan yang kemudian penting diajukan adalah: Bagaimana sikap kita—khususnya umat Kristen—yang bekerja di proyek-proyek pembangunan?
Saya pernah mengikuti diskusi dengan seorang senior yang banyak bergerak dalam proyek pemerintah. Dia mengatakan bahwa dunia ini sudah penuh “lumpur” sehingga semua pekerjaan pasti bersinggungan dengan “lumpur.” Secara khusus di ranah pembangunan, kita bisa jadi sulit menemukan orang pemerintahan yang bersedia tidak memotong anggaran. Jika hal itu tak bisa dihindari, bagian kita adalah melakukan pekerjaan yang terbaik dengan anggaran yang sudah dipotong itu. Ini lebih baik daripada anggaran itu diberikan kepada pihak lain yang hanya mengejar untung saja.
Sang senior juga memberikan suatu perumpamaan yang menggugah angan. Misalkan ada proyek dari pemerintah untuk membangun sebuah gedung pertemuan. Siapa pun yang mendapatkan proyek itu harus menghadapi pemotongan anggaran yang besar. Sebagai pihak yang memenuhi syarat (dan menjunjung integritas), kita ingin mendapatkan dan mengerjakan proyek itu secara benar dari awal hingga akhir. Nah, kepada kita diperhadapkan beberapa pilihan: terlibat dalam proyek itu tapi dengan menekan keuntungan agar kualitas bangunan terjaga, terlibat tapi dengan mengutamakan untung sehingga kualitas bangunan seadanya, atau tidak terlibat dengan risiko proyek itu dikerjakan oleh pihak yang mungkin hanya mengutamakan untung. Apa pilihan kita?
Pilihan yang kita buat mungkin bisa menimbulkan banyak tanggapan negatif. Boleh jadi pilihan kita itu terkesan “abu-abu.” Tapi sambil menunggu datangnya perubahan baik dalam tata cara penanganan proyek-proyek pemerintahan, saya setuju bahwa bagian kita adalah melakukan pekerjaan yang terbaik dengan anggaran yang tersedia. Semua karena kita cinta kepada negeri yang seharusnya merdeka di bidang pembangunan ini.
.
Efraim adalah seorang konsultan kebijakan publik yang tinggal di Bandung, Jawa Barat.
.
Catatan
1 VOC, misalnya, bangkrut karena korupsi. Lihat “Vereenigde Oostindische Compagnie” dalam Wikipedia. <http://id.wikipedia.org/wiki/Vereenigde_Oostindische_Compagnie>.
2 “Satu pintu” artinya hanya ada satu potongan bagi satu pekerjaan. Sesudah dipotong, tidak ada lagi pemotongan anggaran.