Hitam-Putih Filem Seri Indonesia

Oleh S.P. Tumanggor

Kartun Mice di koran Kompas edisi hari Minggu suka menyoroti secara jenaka pelbagai hal dan fenomena yang mengemuka di tengah masyarakat. Satu kali yang menjadi sorotannya adalah filem seri alias sinetron di televisi Indonesia. Dari total enam panel kartun, satu di antaranya menampilkan kartun dengan komentar “Tokoh pemeran antagonis jahatnya kelewatan banget! Pemeran protagonis kelewat sabar! (Hitam-putih banget!)”1

Sentilan kartun Mice itu tentulah mewakili “kegemasan” banyak pemirsa yang kritis terhadap bermacam filem seri di stasiun-stasiun televisi Indonesia. Lima panel lainnya juga menyoroti klise-klise persinetronan kita, misalnya soal tema cerita perebutan harta dan adegan mobil menabrak pohon. Dalam tulisan ini saya hanya akan membahas klise hitam-putih.

Tak sulit dibuktikan bahwa soal “hitam-putih banget” telah “menggemaskan” banyak pemirsa Indonesia. Saya menjumpai banyak tulisan yang menyuarakan “kegemasan” itu dalam berbagai blog di dunia maya. Sebagai contoh, seorang pemblog menyusun daftar klise-klise filem seri Indonesia yang, di antaranya, menyebutkan, “Hitam-Putih: Gampang ditebak. Dari penggambaran awal si tokoh, penonton bahkan anak kecil sekalipun bakalan tau, oh si ini tokoh jahatnya, dan si itu yang baiknya.”2

Pemblog lain menulis, “… saya menganggap sinetron Indonesia itu sinetron yang kelewat hitam putih, di mana yang baik digambarkan sabar, tawakal, tidak melawan dan tolol!! Yang mau saja dihajar, dianiaya dan dizalimi macam Cinderella. Sedangkan yang jahat digambarkan selalu berpakaian sensual, mata pecicilan macam setan cari mangsa, rambut disasak macam kena setrum tegangan tinggi, …. Kasarnya….itu-itu melulu!”3

Di blog Kompasiana, penulis dengan nama pena Eppel Eve membandingkan filem seri Indonesia dengan filem seri Korea, Jepang, Taiwan. Ia memuji filem seri asal negeri-negeri itu sebab, antara lain, “tokoh-tokohnya dibuat lebih manusiawi, protagonis maupun antagonis sama-sama ditempatkan memiliki kelebihan dan kekurangan. … kita disodori dilema yang membuat kita bisa berempati, merasa iba juga pada tokoh antagonis … Grafik emosi benar-benar dimainkan dengan cantik, bukan dipanteng di sekitar titik ekstrim tanpa harus menggunakan logika dan berusaha berempati.”4

Bagi saya sendiri, penggambaran lakon antagonis-protagonis yang “hitam-putih banget” mencerminkan etos pikir orang Indonesia yang masih payah: tidak realistis-kreatif. Dalam kasus ini, kepayahan itu tentu saja diperlihatkan oleh para pembuat filem seri yang demikian. Mereka ini, sadar atau tidak, turut menyusahkan usaha-usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Tayangan tidak realistis tidaklah cerdas karena memutus pemirsa dari realitas alias hidup nyata. Ya, setiap filem memang tak lepas dari sapuan dan sepuhan dramatisasi dan khayalan, tetapi filem yang bagus pasti menggubah cerita dan penokohannya serealistis mungkin. Kerealistisan ini akan menautkan angan pemirsa dengan realitas, melatihnya untuk tanggap terhadap realitas, bahkan untuk belajar sesuatu tentang realitas.

Tayangan tidak kreatif juga tidak cerdas karena terlampau sederhana dan tidak mendorong pemutaran otak. “Gampang ditebak,” keluh pemblog yang telah disebutkan di atas, dan pastinya tidak mengasyikkan. Banyaknya filem seri Indonesia yang merupakan jiplakan dari filem seri asing menunjukkan bahwa kita sangat kurang memanfaatkan daya cipta kita. Dan ketika kita kurang memanfaatkan daya cipta kita, tampillah kita sebagai bangsa yang malas dan bodoh.

Jadi, jelaslah bahwa tayangan tidak realistis-kreatif amat layak digusur dari layar-layar kaca kita. Ini kesimpulan jernih yang hendaknya tidak diabaikan oleh para penulis skenario filem seri, rumah-rumah produksi, para “pemegang” stasiun-stasiun televisi, bahkan setiap pemirsa penggemar filem seri “hitam-putih banget.” Format “hitam-putih banget” dalam persinetronan kita tidak patut dilestarikan karena tidak mencerdaskan masyarakat, secara akali ataupun emosi.

Pemblog Eppel Eve membuat penilaian jitu: “Tidak heran, dengan format ini kita dibiasakan memandang segala sesuatu hitam dan putih, tidak melihat manusia sebagai sosok utuh yang memiliki kelebihan dan kelemahan, tanpa melihat konteks, dan yang lebih penting sama sekali tidak menumbuhkan rasa empati. Tidak heran kondisi serupa terjadi pada masyarakat kita …”5

Itu mungkin “hanya” suara kalangan awam, tetapi itu jelas mewakili nalar kritis publik. Saatnya membubuh warna-warna realistis-kreatif pada segala filem seri kita!

. 

S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.

.

Catatan

1 Kartun Mice dalam Kompas terbitan 03.06.2012.

2 Luxsman. “Wajah Sinetron Indonesia” dalam luxsman.web.id. <http://luxsman.web.id/wajah-sinetron-indonesia.html/>.

3 Pande. “Sinetron Indonesia Mudah Ditebak?” dalam www.pandebaik.com. <http://www.pandebaik.com/2008/07/29/sinetron-indonesia-mudah-ditebak/>.

4 Eppel Eve. “Sinetron yang Bagus” dalam Kompasiana. <http://hiburan.kompasiana.com/televisi/2011/01/29/sinetron-yang-bagus/>.

5 Eppel Eve.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *