Ale, Nia, dan Filem-filem yang Senantiasa Memihak Keindonesiaan

Oleh S.P. Tumanggor

Yudi Miftahudin tak pernah bermimpi menjadi bintang filem, apalagi sampai meraih Anugerah Filem Indonesia 2012 sebagai pemeran anak terbaik. Tetapi itulah yang terjadi. Ia dinilai bagus memerankan tokoh Amek dalam Serdadu Kumbang, filem yang mengusung topik pendidikan sambil mempertontonkan kerancakan alam Pulau Sumbawa. Ketika wartawan menanyakan untuk siapa ia mempersembahkan pialanya, Yudi menyahut mantap, “Piala ini untuk Om Ale.”1

Om Ale yang dimaksud tak lain dari Juharson Estrella Sihasale alias Ari Sihasale, insan filem keturunan Ambon dan kelahiran Papua. Sebagai produser dan sutradara, Ale memang punya minat besar dan idealisme tinggi untuk memashurkan keindonesiaan. “Indonesia ini banyak sekali yang bisa digali,” ujarnya.2 Maka bersama istri tercintanya, Nia Zulkarnaen, Ale mengorbitkan filem-filem yang lain daripada yang lain lewat rumah produksi yang memadukan nama mereka berdua, Alenia Pictures.

Di samping Serdadu Kumbang (2011) yang berlatar Tanah Sumbawa, Alenia sejauh ini telah menelurkan Denias, Senandung di Atas Awan (2006) dan Di Timur Matahari (2012) yang sama-sama berlatar Tanah Papua, Liburan Seruuu (2008) yang berlatar Tanah Jawa, dan Tanah Air Beta (2010) yang berlatar daerah perbatasan Timor Barat-Timor Timur. Selain itu, ada pula filem King (2009) yang terilhami oleh legenda bulutangkis Indonesia, Lim Swie King.

Tema yang diusung filem-filem Alenia pun beragam—dan penting. Denias, sama seperti Serdadu Kumbang, mengusung tema pendidikan nasional (dengan titik-titik bidik yang berbeda). Liburan Seruu mengusung tema liburan anak-anak, King mengusung tema olahraga, Tanah Air Beta mengusung tema nasionalisme di tengah konflik, dan Di Timur Matahari mengusung tema perdamaian antar suku.

Ya, filem-filem macam itulah yang digubah Ale dan Nia. Semuanya menonjolkan realitas keindonesiaan yang raya, majemuk, dan kompleks, bukan petantang-petenteng remaja ibukota bertampang tampan-cantik atau gentayangan setan horor dan hantu humor atau singkap-singkapan molek-mulus raga wanita. Namun, semuanya tetap memberi hiburan—dalam jenis yang lebih bernas.

“Saya enggak mau tanggung-tanggung,” ucap Ale. “Saya ingin film saya bukan hanya menghibur, tapi juga menggugah kesadaran tentang apa yang penting di dalam hidup ini.”3 Dan “apa yang penting” itu selalu diletakkan Ale dan Nia dalam bingkai apik keindonesiaan.

“Kita pengen lebih memperkenalkan seluruh Indonesia kepada dunia,” ucap Nia. “Indonesia itu indah, komplit, Indonesia itu sebenarnya luar biasa. Kita harus bersyukur dan menjaga. Jangan malah kita yang tak peduli dan merusak bangsa kita. Kita pengen tanamkan itu sedini mungkin, dari anak-anak sampe orang dewasa.”4

Dengan segala idealisme mulia itu, Ale dan Nia menunjukkan secara gamblang keberpihakan mereka kepada Indonesia. Ada banyak pilihan tema dan genre filem, tetapi mereka memilih yang menurut mereka paling banyak faedahnya bagi masyarakat Indonesia. Dan keberpihakan ini dirayakan dengan rupa-rupa hal “yang penting dalam hidup.”

Nasionalisme yang cerdas pastilah salah satu hal itu. Dengan memampang indah-elok panorama kawasan-kawasan Indonesia, Ale dan Nia menggugah rasa cinta-tanah-air penonton sekaligus mempromosikan Indonesia kepada dunia. Dengan mengangkat isu-isu khas Indonesia, Ale dan Nia menggamit pemirsa Indonesia untuk memedulikan sekaligus menghayati kebangsaannya.

Etos kerja yang baik adalah hal penting lainnya. Filem-filem Alenia mengungkap adanya riset serius terhadap isu dan kondisi yang digambarkan. Belum lagi muatan ide yang mengilhami penonton untuk gigih berjuang dalam hidup. Sebagai contoh, filem King, dalam komentar Ale sendiri, “mengajarkan kita bahwa segala sesuatu harus diraih dengan kerja keras.”5

Hal-hal penting yang lain lagi pastilah idealisme, kekreatifan, dan mutu—seperti sudah mengemuka dalam paparan di atas. Ya, filem-filem Alenia memang bukan gading yang tanpa retak. Aspek-aspek yang masih berkekurangan di dalamnya bisa dituturkan oleh pengamat dan penikmat filem yang objektif. Namun, terlepas dari itu, “gading-gading” ini punya banyak sekali kebagusan bagi masyarakat Indonesia—justru karena keberpihakannya kepada Indonesia.

Salut untuk Ale dan Nia! Untaian alinea ini, sama seperti piala Yudi Miftahudin, dipersembahkan sebagai penghormatan terhadap idealisme keduanya. Semoga mereka terus bertekun dan berkembang dalam karya-karya luhung—yang senantiasa memihak keindonesiaan.

. 

S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.

.

Catatan

1 “Yudi Miftahudin: Piala Ini Untuk Om Ale” dalam KapanLagi.com, 30.05.2012. <http://www.kapanlagi.com/showbiz/film/indonesia/yudi-miftahudin-piala-ini-untuk-om-ale.html >.

2 “Raih Penghargaan Dari Menteri, Ari Sihasale Merasa Tertantang” dalam KapanLagi.com, 02.07.2010. <http://www.kapanlagi.com/showbiz/selebriti/raih-penghargaan-dari-menteri-ari-sihasale-merasa-tertantang.html >.

3 “Mengantar Denias Hingga Oscar” dalam situs Tabloid Nova. <http://nostalgia.tabloidnova.com/articles.asp?id=15666 >.

4 “‘Di Timur Matahari’ Kenalkan Indahnya Indonesia pada Dunia” dalam metrotvnews, 14.06.2012. <http://www.metrotvnews.com/read/behindscenedetail/2012/06/14/275/-Di-Timur-Matahari-Kenalkan-Indahnya-Indonesia-pada-Dunia >.

5 “Ari Sihasale Film King Dukung Indonesia Open” dalam indonesiaselebriti.com, 19.06.2009. <http://film.indonesiaselebriti.com/ulasan_film/berita/301892946421/Ari-Sihasale-Film-King-Dukung–Indonesia-Open >.

3 thoughts on “Ale, Nia, dan Filem-filem yang Senantiasa Memihak Keindonesiaan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *