Oleh S.P. Tumanggor
“I’ll be home for Christmas/You can count on me/Please have snow and mistletoe/And presents on the tree.”1
Meski sama sekali tidak bermuatan rohani atau alkitabiah, lagu syahdu asal AS itu telah kerap menyemarakkan suasana Natal. Pertama kali direkam di tahun 1943, I’ll Be Home for Christmas melesat jadi tembang Natal standar warga AS dan membuat Bing Crosby (penyanyi pertamanya) mencetak hit sepuluh besar.2
Rindu “mudik” di masa raya Natal diutarakannya secara indah. Sesuai dengan keadaan masa itu, I’ll Be Home for Christmas digubah sebagai surat seorang tentara AS, yang sedang berjuang dalam Perang Dunia II di luar negeri, kepada keluarganya di kampung halaman.3 Melodinya yang sendu mendayu-dayu ke berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, dan membangkitkan bayangan kita tentang perayaan Natal yang nyaman dengan keluarga, salju, mistelto, kado, dan pohon terang.
Itu adalah bayangan rancak tentang Natal ala Barat. Disadari atau tidak, I’ll Be Home for Christmas menggambarkan dengan baik bagaimana orang Barat sudah menautkan kekristenan dengan konteks hidup mereka. Atau, dengan kata lain, umat Kristen Barat sudah membentuk budaya Natal yang khas Barat. Ini sekali-kali tidak salah atau menyalahi Alkitab, yang memang menyatakan bahwa Kristus, sang Bayi Natal, lahir untuk bangsa-bangsa. Ini malah perlu diteladani oleh umat Kristen bangsa lain, khususnya Indonesia.
Penautan itu bisa kita golongkan jadi tiga, masing-masing dilambangkan oleh “mudik” Natal, salju, dan mistelto-kado-pohon terang. Pertama-tama, “mudik” Natal alias pulang ke rumah/kampung halaman untuk ber-Natal bersama keluarga melambangkan penautan kekristenan dengan konteks dinamika masyarakat. Berkat orang Inggris abad ke-19, perayaan Natal yang sudah akan “padam” di Eropa hidup kembali sekaligus diubah citranya dari perayaan yang mengacu kepada komunitas menjadi mengacu kepada keluarga.4
Contoh lain penautan golongan ini adalah kartu Natal, yang diciptakan untuk menyampaikan ucapan selamat atau curahan rasa di masa raya Natal, dan permen Natal, yang semula dibuat untuk menenangkan anak-anak dalam acara malam Natal di Jerman tetapi kemudian populer sebagai pernak-pernik Natal.5 Semuanya bersaksi tentang kekreatifan orang Barat dalam memunculkan ungkapan-ungkapan budaya baru sebagai tanggapan terhadap hal-hal yang berkembang di tengah masyarakat mereka.
Selanjutnya, salju melambangkan penautan kekristenan dengan konteks wilayah hidup. Karena orang Barat merayakan Natal di bulan Desember, bulan musim dingin, mereka pun mendaulat salju jadi ornamen khas Natal (dan kita di negeri tanpa salju menirunya dengan kapas!). Secara kreatif mereka membudayakan hiasan Natal berbasis musim dingin seperti wujud kepingan kristal salju, untaian tetes air beku, dan orang-orangan salju.
Akhirnya, mistelto-kado-pohon terang melambangkan penautan kekristenan dengan konteks budaya dan agama lama. Sebelum menjadi Kristen, orang Eropa menaruh makna magis pada mistelto (sejenis tumbuhan parasit), bertukar kado pada perayaan Saturnalia (di tanggal 23 Desember),6 dan mengeramatkan pohon tertentu. Setelah menjadi Kristen, mereka mengalihfungsikan mistelto jadi hiasan Natal, kado jadi lambang karunia teragung Allah: Sang Mesias, dan pohon (terang) jadi simbol kasih abadi Allah yang memancar laksana terang di dunia.7
Contoh lain penautan golongan ini adalah nyanyian Natal (Christmas carol), yang berakar dari nyanyian pengiring tarian rakyat, dan rangkaian daun-bunga melingkar (wreath), yang merupakan simbol kehormatan dalam mitologi Eropa lalu dimanfaatkan sebagai simbol penyambutan kedatangan Kristus.8 Semuanya bersaksi tentang kekreatifan orang Barat dalam memberi makna baru kepada ungkapan-ungkapan budaya lama mereka.
Di Indonesia, kita pun punya dinamika masyarakat dan wilayah hidup tersendiri serta segudang ungkapan budaya lama yang dapat dimaknai ulang untuk perayaan seperti Natal. Kalaulah kita setanggap dan sekreatif orang Barat, tentu kita akan menyadari potensi semua itu untuk memuliakan Kristus dan akan mengolahnya sebagai persembahan istimewa bagi Dia yang lahir untuk bangsa-bangsa. Ya, jika kekhasan Eropa dikenan Kristus dan mengasyikkan bagi Kristus, pastilah kekhasan Nusantara juga!
Dan pastilah asyik bagi kita jika kelak ada insan Indonesia yang menggubah lagu syahdu tentang rindu “mudik” di masa raya Natal dengan menyebutkan pernak-pernik Natal khas Indonesia.
.
S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.
.
Catatan
1 “I’ll Be Home for Christmas” (karya Kim Gannon, Walter Kent, dan Buck Ram). Lirik bisa dilihat antara lain di <http://www.elyrics.net/read/b/bing-crosby-lyrics/i_ll-be-home-for-christmas-lyrics.html >. Terjemahan dinamis dalam bahasa Indonesia: “Aku akan pulang untuk ber-Natal/Kalian boleh percaya itu/Tolong siapkan salju dan mistelto/Dan kado-kado di pohon terang.”
2 “I’ll Be Home for Christmas” dalam Wikipedia. <http://en.wikipedia.org/wiki/I’ll_Be_Home_for_Christmas >.
3 “I’ll Be Home for Christmas” dalam Wikipedia.
4 “Sewaktu hiburan Natal yang terhilang dan terlupakan dihidupkan kembali, keluarga muncul sebagai pusat perayaan Natal selama era Victoria, menggantikan apa yang semula merupakan acara yang mengacu kepada komunitas.” Tom Pold. “Fathering Christmas: Charles Dickens and the (Re)Birth of Christmas” dalam situs The Victorian Web. <http://www.victorianweb.org/authors/dickens/xmas/pold1.html >.
5 “Christmas Card” dalam Wikipedia. <http://en.wikipedia.org/wiki/Christmas_card >; “Candy Cane” dalam Wikipedia. <http://en.wikipedia.org/wiki/Candy_cane >.
6 “Mistletoe” dalam Wikipedia. <http://en.wikipedia.org/wiki/Mistletoe >; “Saturnalia” dalam Wikipedia. <http://en.wikipedia.org/wiki/Saturnalia >.
7 Yang digunakan biasanya pohon cemara karena pohon ini tetap hijau sepanjang saat.
8 “Carol (music)” dalam Wikipedia. <http://en.wikipedia.org/wiki/Carol_(music) >; “Wreath” dalam Wikipedia. <http://en.wikipedia.org/wiki/Wreath >.