Tidak “Mata Duitan” Lagi terhadap Indonesia

Oleh S.P. Tumanggor

Menjelang ujung tahun 2012, satu koran nasional menurunkan sebuah artikel yang membenturkan fakta kekayaan alam Indonesia dengan fakta ketidakmakmuran rakyat Indonesia. Artikel tersebut mengatakan, antara lain, “Begitu besar kekayaan ini sehingga jika dikelola sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat seperti yang diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945, tingkat kemakmuran rakyat Indonesia akan sejajar dengan Amerika Serikat dan bangsa-bangsa makmur lain di Eropa Barat1 (tekanan oleh penulis). Luar biasa!

Kata “dikelola” yang tersemat di situ pastilah mengandung gagasan tentang keharusan orang Indonesia serius menggunakan jabatan, menggubah dan menjalankan sistem yang efektif, serta mengerahkan segala ilmu yang didulang di bangku sekolah, khususnya ilmu ekonomi. Namun, ironisnya, kita jadi tidak makmur justru karena suatu “ilmu ekonomi” yang dianut banyak orang kita.

“Ilmu ekonomi” itu mengajari bangsa kita untuk lihai, pandai, piawai memanfaatkan segala sumber daya demi memperkaya diri. Orang kita yang termakan didikannya jadi pintar mencari atau membuat jalan untuk mengeruk keuntungan pribadi dalam segala sesuatu—tanpa memusingkan soal halal atau haram. Akibat “ilmu ekonomi” itu, terbentuklah suatu cara pandang “mata duitan” terhadap Indonesia, dan cara pandang ini adalah cara lama yang harus kita gusur atas nama segala kebajikan.

Ya, cara pandang “mata duitan” telah lama melatih orang Indonesia melihat jabatan bukan sebagai kesempatan emas untuk memajukan kepentingan umum, melainkan kesempatan menambang emas berupa upeti, uang pelicin, dsb. demi kemakmuran diri. Karena cara pandang “mata duitan,” orang Indonesia jadi malas menggubah dan menjalankan sistem yang seefektif mungkin, sebab ia hanya sibuk memikirkan bagaimana sistem bisa dimanfaatkan untuk menangguk laba pribadi. Dan ilmu? Dan sekolah? Cara pandang “mata duitan” telah melatih anak Indonesia sejak kecil (sialnya, terkadang lewat pendoktrinan keluarga) untuk meraih ilmu dan ijazah demi mendapat pekerjaan paling “basah,” bukan demi memajukan kesejahteraan bersama.

Oleh cara pandang “mata duitan” jualah sebagian orang Indonesia bisa berpaling kepada makhluk halus atau ilmu gaib dan memanfatkannya untuk jadi orang kaya baru; bisa melirik sesamanya, sebangsanya, lalu memanfaatkannya demi duit lewat penculikan, perdagangan organ tubuh, atau penjualan anak gadis; bisa mencermati ketertarikan ganjil manusia kepada hal-hal yang menyimpang/berdosa dan memanfaatkannya untuk menjual hiburan yang bejat; bahkan bisa menengok kepada agama lalu memanfaatkannya sebagai mesin penghasil uang!

Ketika uang, uang, dan uang melulu yang dikejar orang Indonesia dalam segala sesuatu, rusaklah segala sesuatu di Indonesia. Di usia 67-tahun-lebih kemerdekaan RI, kita sudah menyaksikannya sendiri: kekorupan merajalela, pembangunan terseok, rakyat miskin masih senantiasa banyak, ini-itu tidak berjalan baik. Bukannya jadi sejajar dengan warga AS atau Eropa Barat, kita malah harus tetap nanar dan gigit jari di hadapan tingginya taraf kesejahteraan mereka. Padahal, seperti diungkap artikel koran di atas, kita seharusnya bisa hidup semakmur mereka.

Maka di kebaharuan 2013 marilah kita muak semuak-muaknya terhadap fakta bahwa bangsa kita tidak hidup makmur di negeri sebegini kaya—gara-gara cara pandang “mata duitan”! Marilah kita gusur cara pandang lama itu dengan cara pandang baru yang menggembleng diri untuk tidak sudi diperhamba uang tetapi sigap memperhamba uang demi memajukan kesejahteraan bersama.

Pemerintah pastinya harus memerintahkan (namanya juga “pemerintah”!) cara pandang baru ini kepada rakyat dan aparatnya lewat penyuluhan dan pembinaan. Mengiringinya, haruslah ada kesungguhan dalam menjamin kepastian hukum dan kepastian pelaksanaan UUD 1945, khususnya pasal 33 yang disinggung artikel koran di atas.2

Keluarga, sekolah, dan lingkungan agama harus merupa karakter anak-anak Indonesia dengan ide-ide luhur seputar kebenaran, keadilan, pengabdian, kepentingan umum, kejayaan bangsa. Keluarga dan sekolah tak boleh jadi penyubur cara pandang “mata duitan” dan lingkungan agama tak boleh jadi santai dalam memerangi  mental “mata duitan.”

Kita semua harus beriktikad dan berikhtiar untuk tidak “mata duitan” lagi terhadap Indonesia. Dengan begitu, dalam perkenanan Tuhan, kalaupun tidak di zaman kita, zaman berikutnya bisa mendapati keturunan kita hidup makmur-sejahtera di Indonesia—sebagaimana mestinya orang-orang yang memiliki tanah air kaya raya.

. 

S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.

.

Catatan

1 “Dibodohi oleh Bangsa Sendiri” dalam Kompas terbitan 02.11.2012.

2 Bunyi utuhnya adalah: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” (Pasal 33 (3) Undang-Undang Dasar 1945).

2 thoughts on “Tidak “Mata Duitan” Lagi terhadap Indonesia

    1. SaTu

      Yah, bisa dinalarkan begini, Pri: kalaupun SDM tdk minim (dan kukira SDM kita tdklah minim), tp klu sikap umum SDM yg tdk minim itu adalah “mata duitan,” mmg kekayaan alam kita yg “luar biasa” akan tetap “biasa” ke “luar” dr rel kesejahteraan rakyat atau “biasa” ke “luar” utk dinikmati bangsa asing. 🙁

      Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *