Apresiasi dan Kemajuan Industri Kreatif: Sejumput Pelajaran dari Dunia Perkomikan AS

Oleh S.P. Tumanggor

‘Beware the Hidden Land’ adalah cerita terbesar yang dicetak pada abad ini! Pekerjaan gambarnya hanya kalah oleh Da Vinci! … penulisan teksnya sebagus yang terbaik dari Gutenberg! … Black Bolt adalah tokoh anyar terbaik yang Anda ciptakan setelah Daredevil! Fakta bahwa dia tak bisa bicara benar-benar baru! Dan fakta bahwa saudaranya mencuri mahkotanya adalah tanda kejeniusan! Sewaktu membacanya, saya tergoda berkata, ‘Ah, plotnya menebal!’ Seperti filem lama ya?”1

Rentetan apresiasi itu dimuat dalam kolom “surat kepada editor” di salah satu edisi komik Fantastic Four (FF) tahun 1966. Penulisnya, Gerald Conway, melayangkan surat itu kepada Stan Lee, editor dan pendiri Marvel Comics, perusahaan komik AS yang menerbitkan FF. Hebatnya, kala itu usia Conway baru 14 tahun!2 Yang diapresiasinya adalah cerita dari sebuah edisi komik FF terdahulu. FF sendiri, Anda maklum, kini sudah dua kali jadi filem-layar-lebar laris.3

Jika Anda ingin tahu apa yang membuat industri kreatif AS maju dan mendunia, apresiasi adalah salah satu faktor pentingnya. Kita di Indonesia perlu belajar banyak dari iklim dan budaya apresiasi AS. Anak remaja AS seumuran Conway—bahkan lebih muda lagi—sudah terbiasakan mengapresiasi karya kreatif seperti plot komik dan menggubah surat tanggapan yang tidak biasa-biasa saja (sampai melibatkan Da Vinci dan Gutenberg segala!). Surat macam itu bisa membuat perusahaan komik menimbang apakah suatu seri komik pantas diteruskan atau tidak, bahkan bisa mempengaruhi plot cerita.

Dan apresiasi di bidang industri kreatif AS dimungkinkan terjadi dua arah. Tahun 1970, semangat dan kecakapan Conway—kala itu berusia 18—diapresiasi Marvel Comics. Ia diterima bekerja di perusahaan komik itu dan dipercaya menulis cerita untuk tokoh-tokoh komik yang sudah atau mulai beken: Daredevil, Hulk, Iron Man (semua, Anda maklum, sudah dilayarlebarkan). Di usia 19 tahun, Conway dipercaya menulis cerita untuk Spider-Man, tokoh komik Marvel terlaku sepanjang masa.

Industri kreatif diapresiasi, industri kreatif mengapresiasi. Orang mengapresiasi karya industri kreatif secara fasih, dan kefasihannya (yang mengungkap semangat dan kecakapan) diapresiasi balik oleh industri kreatif sehingga ia bisa sampai diberi kepercayaan yang meningkat seturut kinerjanya. Bisa Anda bayangkan kalau iklim dan budaya seperti itu berkembang di Indonesia! Bisa Anda bayangkan kepuasan kerja yang timbul dalam keadaan demikian!

Dan kepuasan kerja sanggup menuntun kepada rupa-rupa pencapaian serta perluasan pengalaman. Di usia 20 tahunan, Conway hijrah ke DC Comics, pesaing Marvel. Ia dipercaya menulis cerita untuk tokoh-tokoh komik DC yang mashur, seperti Superman dan Batman (dua-duanya, Anda maklum, sudah sering dilayarlebarkan). Ia bahkan dipercaya menulis cerita untuk komik pertama hasil kerja sama DC dan Marvel: Superman vs Spider-Man (1976).4 Dari situ kiprahnya melebar ke penulisan naskah serial-serial TV yang membuat dunia akrab dengan budaya, pola pikir, dan gaya hidup AS, misalnya Diagnosis: Murder, Law and Order, Law and Order: Criminal Intent, dll.

Apresiasi memajukan industri kreatif sekaligus para pelakunya! Dan kemajuan ini ujung-ujungnya membuat bangsa jadi terkenal di jagat.

Indonesia harus belajar membangun mental dan sistem apresiasi seperti itu. Kuncinya adalah pembinaan kemampuan apresiasi anak. Sejak kecil, anak-anak Indonesia harus dilatih mengapresiasi karya-karya kreatif: dibuat terpapar kepada karya-karya bagus (sastra, filem, ukiran, tarian, dsb.) dan diajari mengungkap atau merinci tanggapannya secara lisan dan tulisan.

Di Indonesia kita maklum akan kendala ini: banyak orang malu-malu mengungkap pendapat, dan yang tidak malu-malu sering pula tak dalam atau tak tajam pendapatnya—umum-umum saja. Kenyataan ini harus ditanggulangi dengan kesadaran kita, generasi kita, untuk membiasakan diri berapresiasi secara berbobot dan untuk membantu generasi di bawah kita menajamkan cita rasa dan imajinasi secara berani, lugas, kreatif, dan bertanggung jawab.

Dengan demikian, kita akan bisa menyaksikan menjamurnya generasi muda secakap Conway di Indonesia. Mereka ini akan membentuk budaya dan iklim apresiasi yang mustajab di tanah air, yang memungkinkan roda-roda industri kreatif bergerak penuh daya menuju keharuman nama bangsa di buana raya.

. 

S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.

.

Catatan

1 Lembar Fantastic Four Fan Page dalam komik Fantastic Four volume I nomor 50 terbitan Mei 1966. New York, N.Y.: Canam Publishers Sales Corp., 1966.

2 Sekelumit riwayat Gerald Conway (alias Gerry Conway) di seluruh tulisan ini dipetik dari “Gerry Conway” dalam Wikipedia. <http://en.wikipedia.org/wiki/Gerry_Conway >.

3 Tokoh-tokoh komik itu bisa sampai dilayarlebarkan dan bisa laris tentunya karena apresiasi khalayak juga.

4 Kerja sama itu merupakan “persilangan” besar pertama antara dua perusahaan komik di dunia moderen. Lihat “Superman vs. the Amazing Spider-Man” dalam Wikipedia. <http://en.wikipedia.org/wiki/Superman_vs._the_Amazing_Spider-Man >.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *