Oleh Bunga Siagian
Di antara bangsa-bangsa, tidak tersangkali lagi bahwa nama Indonesia telah harum karena segala kekayaan yang dimilikinya. Kekayaan ini bukan hanya mencakup sumber daya alam—seperti dalam lagu Ibu Sud: “tanah pusaka yang kaya raya, harum namanya, Indonesia”—tetapi juga sumber daya manusia dari berbagai profesi. Salah satu profesi yang sudah sering mengharumkan nama bangsa di ajang internasional adalah atlet.
Sayang seribu sayang, Indonesia yang kaya raya itu ternyata miskin apresiasi terhadap atlet pengharum namanya. Atlet-atlet Indonesia sering kali tidak diapresiasi oleh bangsa Indonesia sendiri. Bagaimana bisa dikatakan diapresiasi jika kenyataannya hidup mereka sering harus bergulat dengan kekurangan?
Ambil contoh Leni Haini, mantan atlet dayung asal Jambi yang pernah mencetak segudang prestasi. Saat ini penyumbang hampir selusin medali emas dalam beberapa ajang SEA Games itu harus banting setir menjadi buruh cuci. Di akhir tahun 2012, ramai dikabarkan bahwa Leni tidak berdaya sebab anaknya sakit keras. Ia sudah hampir menjual medali-medalinya.1
Contoh lainnya, Marina Segedi, atlet pencak silat peraih medali emas SEA Games 1981, harus melepas medali, sabuk, serta jubahnya dan menjadi sopir taksi demi sesuap nasi. Hapsani, mantan atlet lari SEA Games 1981 dan 1983 juga harus menjual medali-medalinya demi menyelamatkan perut.2
Itu barulah beberapa contoh dari sekian banyak mantan atlet Indonesia yang bernasib sama. Betapa tragis hidup para atlet masa lalu kita di masa kini!
Hidup atlet sebenarnya sederhana. Secara umum ia hanya mengenal latihan dan pertandingan. Hampir segenap waktunya difokuskan kepada hal-hal itu. Detik dan menit dibaktikannya untuk mengasah keahlian. Tujuan utamanya menang. Sebagai akibatnya, memang tak jarang ia lalai merencanakan masa depannya.
Sebuah penelitian di Australia menyatakan bahwa hidup seusai menjadi atlet cenderung kehilangan arah (disorientasi), tertekan, dan penuh keraguan.3 Jika tidak mempersiapkan masa depan secara matang, atlet akan mendapati hidupnya berujung pada kekurangan dan hanya bernaung di bawah kenangan pernah mengharumkan nama bangsa.
Jadi, atlet harus memikirkan masa depannya. Namun, negara atau pemerintah—sebagai perwakilan bangsa yang telah diharumkan namanya oleh atlet—tidak boleh tidak memikirkan masa depan atlet juga. Negara harus mengapresiasi atlet dengan lebih dari sekadar rangkaian kata pujian atau perhatian sesaat. Hidup atlet-berprestasi serta keluarganya harus dijamin dengan memberi semacam jalan tol (bebas hambatan) kepada perawatan kesehatan dan lapangan kerja pasca masa keatletan.
Negara pun seyogyanya menyediakan program pelatihan keterampilan dan karakter untuk menyiapkan atlet bagi dunia kerja seusai menjadi atlet. Penelitian di Australia itu menyatakan bahwa dalam diri atlet pada umumnya telah terbentuk karakter bulat tekad dan sabar yang merupakan faktor penting untuk sukses. Namun, itu saja belum cukup. Atlet juga butuh keterampilan berorganisasi dan ketekunan berusaha untuk bisa sukses.4 Jadi, ketika atlet masih dalam usia prima untuk bertanding, negara sebaiknya mendorong atau mewajibkan mereka mengikuti program pelatihan tersebut. Dengan demikian, atlet akan siap menghadapi dunia selanjutnya, “kompetisi” selanjutnya.
Jika negara bersungguh-sungguh dalam mengapresiasi atlet, anak-anak bangsa yang berbakat di bidang olahraga tentu tidak akan ragu menekuni profesi atlet. Bayangan masa depan yang baik (baca: terjamin) akan menyemangati mereka berlatih, mengasah kemampuan, dan bertanding segigih-gigihnya demi keharuman nama bangsa. Dalam hal ini, apresiasi pun berjasa menjayakan bangsa.
Ya, ribuan kata pujian dan perhatian sesaat sudah diterima para atlet kita. Sekarang saatnya mereka menerima apresiasi yang lebih dari itu. John F. Kennedy, mantan presiden AS, pernah berkata, “Sewaktu kita mengungkapkan terima kasih, kita jangan pernah lupa bahwa apresiasi terbesar bukanlah dengan mengucapkan kata-kata melainkan dengan menghidupi kata-kata itu”5—alias mewujudnyatakannya.
Ayo, Indonesia, berikan apresiasi terbesar bagi laskar atlet pengharum namamu!
.
Bunga adalah seorang asisten pengacara publik yang tinggal di Bekasi, Jawa Barat.
.
Catatan
1 Helena Fransisca Nababan. “Dulu Juara Dunia, Kini Buruh Cuci” dalam Kompas.com.
<http://olahraga.kompas.com/read/2012/11/30/07003039/Dulu.Juara.Dunia.Kini.Buruh.Cuci >.
2Deden Gunawan. “Medali pun Terpaksa Dijual untuk Makan” dalam detik.com.
<http://news.detik.com/read/2011/11/21/103207/1771714/159/medali-pun-terpaksa-dijual-untuk-makan >.
3“Olympic effort adapting to life after sport, new study finds” dalam UQ News di situs The University of Queensland Australia. <http://www.uq.edu.au/news/index.html?article=24968 >.
4“Olympic effort adapting to life after sport, new study finds.”
5”Inspirational Quotes by John F. Kennedy” dalam values.com. <http://www.values.com/inspirational-quote-authors/1380-John-F-Kennedy >.