Kerinduan “Magis” di Negeri Asing

Oleh S.P. Tumanggor

Biarlah saya bisikkan fakta ini ke pendengaran Anda: di negeri-negeri orang lain ada sesuatu yang “magis” yang tidak bisa kita dapatkan di negeri sendiri. Kata “magis” di sini sama sekali tidak bertalian dengan ilmu gaib. Saya menggunakannya sebagai kiasan belaka untuk hal ajaib yang hanya bisa kita alami (asalkan kita peka) di negeri asing: kerinduan luar biasa dan tak terperikan kepada negeri sendiri.

Yah, saya belum pernah ke luar negeri, tetapi saya bisa bayangkan seperti apa kerinduan “magis” itu. Saya bahkan bisa turut meresapinya lewat berbagai kesaksian yang dituturkan orang.

Kerinduan “magis”lah yang membuat kelompok musik Ada Band merinding di Hongkong. Kala itu, di bulan Oktober 2012, mereka tampil di hadapan 2.500 orang Indonesia—para TKI—yang merantau ke sana. “Di awal pentas,” ujar Donie Sibarani, sang vokalis, “mereka minta menyanyi lagu nasional berjudul ‘Tanah Airku.’ Begitu kami dan semua penonton menyanyikan lagu itu, aku merasa merinding. Belum pernah merasakan hal seperti itu.”1

Bukan hanya Donie, ketiga anggota Ada Band lainnya pun dibanjiri emosi serupa. Rasa haru nan ajaib menyergap batin mereka—dan, bisa saya duga, batin para penonton juga. “Magis.” Kalau bukan kerinduan “magis,” apakah yang mendorong para TKI minta melantunkan lagu yang melafalkan damba jiwa mereka kepada negeri asal? “Tanah Airku,” Anda tahu, digubah Ibu Sud dengan lirik khusyuk berikut: “Tanah airku tidak kulupakan/‘Kan terkenang selama hidupku/Biarpun saya pergi jauh/Tidak ‘kan hilang dari kalbu.”

Ah, jangankan di negeri asing, di negeri sendiri pun saya terkadang sukar membendung air mata manakala menyenandungkan lagu luhung itu. Jiwa patriot—dari bangsa manapun—tak bisa tidak bergetar di alunan tembang khidmat tentang tanah air.2

Dan memang sudah digariskan Allah bahwa manusia punya ketertambatan batin dengan tanah air—atau pencarian batin akan tanah air. Itu sudah terbentuk di kedalaman keberadaan kita. Penulis Surat Ibrani berucap demikian tentang para saleh: “Mereka dengan rindu mencari suatu tanah air” (11:14). Meski ia mengaitkan “tanah air” itu dengan negeri surgawi, ide dasarnya tetaplah sama: orang merindu punya tanah air, punya tempat menetap.

Tanah air, ya, tanah air. Jika benar kesaksian Alkitab bahwa tubuh kita berasal dari tanah dan kesaksian ilmu hayat bahwa raga kita sebagian besar tersusun dari air, bagaimana mungkin kita tidak memiliki pertambatan batin dengan tanah air? Suatu kedekatan yang ajaib kita rasakan terhadapnya, khususnya terhadap tanah air tempat Allah menakdirkan kita lahir. Makanan dihasilkannya, minuman dijalirkannya untuk menegapkan badan kita, menyegarkan jiwa kita. Bagaimana kita tidak mengasihinya, tidak merindukannya saat jauh darinya?

Sesungguhnya kasih dan kerinduan itu adalah wujud apresiasi kita kepada tindakan purba Allah yang “menetapkan wilayah bangsa-bangsa” (Ul. 32:8) dan “menentukan … batas-batas kediaman mereka” (Kis. 17:26). Bisa Anda tebak, sukacita menerima penjatahan ilahi itulah yang memampukan bangsa-bangsa memandang negerinya bernilai lebih di atas segala negeri lain. Maka leluhur kita pun berperibahasa, “Hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri, baik juga di negeri sendiri.” Itu peribahasa kasih, peribahasa kerinduan “magis”!

Saya kira kita harus pintar-pintar memanfaatkan kasih dan kerinduan “magis” ini untuk memacu pembangunan tanah air. Kita harus sigap mengolahnya menjadi kobaran hasrat, yang apinya tak terpadamkan, untuk melihat negeri kita aman, damai, maju, makmur, sejahtera, tertib—pendeknya, salam (alias shalom dalam bahasa Ibrani Alkitab).

Ya, hasrat kepada salam itu mudah tercetus ketika orang jauh dari tanah airnya. Donie Sibarani, sang vokalis Ada Band, berujar lebih lanjut tentang para TKI di Hongkong: “Di antara mereka itu bahkan ada yang bertahun-tahun tak pulang ke Indonesia. Sampai mereka bilang titip salam buat Indonesia.”3

“Titip salam buat Indonesia”—titip shalom! Lihat apa yang bisa dikerjakan kerinduan “magis” di hati anak bangsa!

Saya belum pernah ke luar negeri, tetapi saya bisa bayangkan seperti apa kerinduan “magis” itu—dan potensinya bagi kejayaan tanah air.

. 

S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.

.

Catatan

1  “Merinding” dalam Kompas terbitan 17.10.2012.

2  Kata “patriot” berasal dari dan bertalian dengan kata Yunani patris, “negeri” atau “tanah air.” Patriot sendiri berarti pecinta tanah air.

3  “Merinding” dalam Kompas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *