Oleh Efraim Sitinjak
Kisah Paskah adalah kisah kebangkitan Yesus dari kematian—suatu kisah kemenangan! Dan kisah itu, secara unik, menelanjangi suatu kisah kekalahan pada kemanusiaan, yang diwakili sosok-sosok terkemukanya: para pemuka agama dan pemuka masyarakat. Dengan segala martabat dan kuasa yang mereka punyai, mereka telah “kalah” dalam dengki dan persekongkolan keji untuk membunuh Yesus. Bahkan setelah Yesus bangkit, mereka “kalah” lagi dalam pemalsuan kebenaran untuk menyelamatkan muka mereka.
Kita masih ingat bagaimana mereka meminta para prajurit Romawi penjaga makam Yesus untuk berbohong tentang kebangkitan Yesus. Para prajurit harus menyiarkan kabar bahwa murid-murid Yesus telah mencuri tubuh Yesus dari makam. Sebagai imbalan atas pemalsuan kebenaran ini, para pemuka agama memberi sejumlah besar uang kepada para prajurit.1
Kebangkitan Yesus dari antara orang mati memang sesuai dengan ramalan-Nya sendiri sebelum disalibkan. Para pemuka agama khawatir kalau-kalau berita tentang kebangkitan-Nya menarik perhatian (dan kepercayaan) banyak orang sehingga menjadi ancaman bagi agama dan martabat mereka. Jadilah mereka mengambil “langkah-langkah pengamanan” bersama para pemuka masyarakat.
“Langkah-langkah pengamanan” itu, yang mencakup suap dan dusta, menunjukkan bahwa kedudukan sebagai pemuka (agama dan masyarakat) bukanlah jaminan untuk selalu menjunjung kebenaran. Mereka yang tergolong “orang besar” dan “bermartabat” bisa saja jatuh dalam hal sebusuk dengki dan pementingan diri. Penyebabnya tak lain dari keangkuhan, alias tiadanya kerendahan hati, yang tentu saja merupakan dosa.
Sama seperti dosa lainnya, dosa keangkuhan membuat manusia rentan: gampang jatuh dan mudah lari dari kebenaran hakiki. Dalam kasus para pemuka agama dan pemuka masyarakat di zaman Yesus, keangkuhan turut mendesak mereka untuk memalsukan kebenaran. Inilah suatu kekalahan pada kemanusiaan yang ditelanjangi oleh kisah kebangkitan Yesus. Dan dari kekalahan ini kita harus mengalami kebangkitan.
Di era sekarang pun pemuka agama (rohaniwan) dan pemuka masyarakat (pejabat) tidak lebih kebal terhadap godaan untuk memalsukan kebenaran. Sebagai contoh, kekerasan antar umat beragama atau pelecehan seksual oleh rohaniwan sangat mungkin berawal dari suatu pemalsuan kebenaran di pihak rohaniwan. Juga bukan rahasia lagi bahwa ada rohaniwan-rohaniwan yang memperdaya umat demi menangguk keuntungan pribadi.
Para pejabat pun tak ketinggalan. Mereka bisa, misalnya, menyebutkan angka atau persentase tinggi dalam hal kesejahteraan, keamanan, pembangunan, dsb. Namun, dalam realitas sehari-hari, kemudahan hidup, rasa aman, jaminan dan fasilitas sosial justru dirasa langka dan mahal oleh masyarakat. Segala data statistik yang bertolak belakang dengan kondisi nyata adalah wujud pemalsuan kebenaran.
Di masa kapan pun, dunia terus menggoda manusia, termasuk (atau malah terkhusus) pemuka agama dan pemuka masyarakat, untuk tergila-gila kepada kemuliaan, kemashuran, dan gengsi status sosial. Sebagian dari para pemuka menyerah kepada godaan ini sehingga hatinya tak lagi jernih dan pikirannya tak lagi bening. Mereka mengejar semua itu dengan menghalalkan segala cara, termasuk memalsukan kebenaran. Tindakan ini mengakibatkan butanya hati nurani dan matinya empati terhadap sesama. Berbagai korupsi, yang sudah pasti merugikan masyarakat luas, sering lahir dari kebutaan dan kematian itu.
Jadi, pemalsuan kebenaran sesungguhnya merusak diri sendiri dan orang lain atau masyarakat. Terlebih jika itu dilakukan oleh pemuka agama dan pemuka masyarakat! Dengan memalsukan kebenaran, mereka menyangkali apa pun yang terhormat dalam kedudukan mereka dan mengkhianati kepercayaan masyarakat kepada jabatan mereka.
Sebagai umat Kristus, kita harus melawan perusakan diri dan perusakan masyarakat semacam itu. Terlebih jika kita mendapat amanah menjadi pemuka agama atau pemuka masyarakat! Kita harus menjaga kepercayaan Allah dan masyarakat, yang terkandung dalam jabatan kita, dengan senantiasa mengharamkan pemalsuan kebenaran. Itu akan membuat kita benar-benar menghidupi kebangkitan dari kekalahan kemanusiaan yang ditelanjangi oleh peristiwa Paskah.
.
Efraim adalah seorang konsultan kebijakan publik yang tinggal di Bandung, Jawa Barat.
.
Catatan
1 Lihat cerita lengkapnya di Matius 28:11-15.