Bebas Memilih Agama

Oleh S.P. Tumanggor

Kebebasan beragama tak dapat tidak mencakup ide kebebasan orang untuk memilih agama sesuai dengan keyakinannya. Karena bebas memilih, ia bisa saja meninggalkan agama yang lebih dulu dianutnya dan memeluk agama lain yang kini diyakininya. Istilah ringkasnya “pindah agama.” Dalam konteks Indonesia, bahasan tentang kebebasan memilih agama ini harus kita taruh dalam bingkai batasan agama-agama yang ada/resmi diakui di Indonesia.1

Jika kebebasan beragama tidak berarti orang bebas memilih agamanya, tentu saja itu berlawanan dengan makna “kebebasan,” sebab apanya yang bebas kalau orang dipaksa atau diharuskan memeluk suatu agama yang tidak diyakininya (lagi)? Itu juga berlawanan dengan ide “beragama,” sebab gagasan yang amat menonjol dari agama-agama adalah bahwa tidak ada paksaan dalam agama. Setiap orang diidealkan menganut agamanya secara sukarela dan merdeka.

Dalam kekristenan gagasan itu nyata tatkala Yosua menghadapkan bani Israel kepada pilihan untuk beribadah kepada Allah atau ilah lain (Yos. 24:14-15). Gagasan itu kembali nyata tatkala Kristus menghadapkan orang kepada pilihan untuk percaya atau tidak percaya kepada-Nya (Yoh. 3:18). Dampak masing-masing pilihan dikemukakan, tetapi tiap-tiap orang dibebaskan memilih.

Mengapa dalam beragama harus ada kebebasan memilih? Jawabannya berkisar pada tiga hal. Pertama, karena ada banyak atau beberapa pilihan agama. Kedua, karena manusia perlu memilih salah satu agama sebagai caranya untuk berinteraksi dengan yang ilahi.2 Ketiga, karena manusia dikaruniai akal budi untuk menentukan agama mana yang terbaik baginya di antara banyak pilihan itu.

Meskipun begitu, sejarah umat manusia membeberkan fakta bahwa orang sering memeluk suatu agama tanpa sungguh-sungguh meyakini muatan agama itu. Contoh termudahnya adalah fenomena “agama keturunan,” yakni orang sekadar memeluk agama orang tuanya tanpa pernah “mendapati” sendiri kebenaran agama itu. Contoh lainnya adalah fenomena pindah agama karena hasrat mendapat sesuatu: jodoh, jabatan, harta, dsb.3

Sejarah memaparkan juga bahwa ada orang-orang yang memeluk suatu agama karena ancaman/paksaan. Hal ini nyata bahkan dalam riwayat penyebaran agama-agama besar. Selain itu, ada orang-orang yang pindah agama seiring kepala suku atau raja mereka bertukar keyakinan. Riwayat penyiaran agama di Indonesia bisa bersaksi pula tentang hal ini.

Jadi, apabila tersingkap ide hakiki kemanusiaan, yaitu bahwa manusia dikaruniai kehendak bebas untuk memilih apa yang patut bagi dirinya, tentulah orang bisa memikirkan ulang agama yang diwarisinya atau yang dipeluknya tanpa keyakinan mendalam. Lalu, lewat pertimbangan dan doa, ia bisa memutuskan apakah akan tetap memeluknya atau melepaskannya.

Bahkan kalaupun ia sudah punya keyakinan mendalam akan agamanya, ia tetap bisa memikirkan ulang agamanya apabila ia merasa mendapat pemahaman baru yang menggoncang keyakinannya. Lalu, lewat pertimbangan dan doa, ia bisa memutuskan untuk tetap berpaut pada agamanya atau pindah ke agama lain.

Di berbagai negara, termasuk Indonesia, kasus-kasus pindah agama karena pemikiran ulang seperti yang digambarkan di atas sering terjadi. Itu seharusnya dipandang sah-sah saja selama kebebasan beragama memang bertumpu pada ide bahwa tidak ada paksaan dalam agama.

Yang perlu dikelola baik-baik adalah kasus pindah agama yang disertai semangat “membongkar keburukan” agama asal di ranah publik. Tentu saja orang yang berpindah agama boleh bersaksi tentang keunggulan agama barunya dan ketidakunggulan agama lamanya, sebagaimana diyakininya. Namun, dalam banyak kasus, tidaklah etis jika kesaksiannya diumbar di ranah publik,4 bukan di kalangan sendiri, sebab itu berpotensi memicu tikai.

Waktu orang melepas agama A demi agama B dan merasa punya kesaksian terhebat tentang agama barunya, hendaklah ia mawas diri dan ingat bahwa di “seberang sana” ada juga orang yang melepas agama B demi agama A dengan kesaksian yang tak kalah hebatnya. Jadi, tepa selira ala Indonesia sangat perlu dikedepankan dalam kebebasan beragama.5

Ya, kebebasan beragama memang mencakup ide bebas memilih agama. Ini ide baik, yang akan lebih baik lagi jika ditunjang adab tepa selira yang tepat. Dan apa pun agama (pilihan) kita, baiklah kita memastikan diri menjadi orang beragama yang berguna bagi sesama, bangsa, dan dunia.

. 

S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.

.

Catatan

1 Dengan kata lain, ide kebebasan beragama yang dimaksud dalam tulisan ini pun merujuk kepada kebebasan agama yang selama ini ada/dipahami di Indonesia.

2 “Cara berinteraksi” ini tentulah via ritual, ajaran, dan petunjuk yang tercakup dalam agama itu. Beberapa orang Kristen gemar berujar, secara naif, bahwa kekristenan bukanlah agama karena kekristenan adalah tentang mengenal pribadi Yesus Kristus. Namun, segala tata cara relijius (doa, ibadah bersama, baptisan, dsb.) yang digunakan orang Kristen manapun (termasuk yang mengira kekristenan bukan agama) tak dapat tidak melabelkan “agama” pada kekristenan. Lagi pula, dalam konteks Indonesia, orang Kristen manapun mengakui “Kristen” (atau “Katolik” atau “Protestan”) sebagai agama—di KTP mereka masing-masing.

3 Segala “sesuatu” ini tentu saja tidak berkaitan langsung dengan muatan agama itu.

4 “Ranah publik” di sini merujuk kepada ranah yang mencakup semua orang, termasuk para penganut agama asal.

5 “Tepa selira” secara harfiah berarti “ukuran badan.” Ungkapan yang berasal dari budaya Jawa ini mengandung makna luhur bahwa kalau kita hendak melakukan suatu hal kepada orang lain, kita perlu “mengukurkan” dulu hal itu kepada “badan” alias diri kita sendiri, apakah baik atau tidak, pantas atau tidak. Dengan kata lain, kalau kita tidak suka orang lain berbuat suatu hal kepada kita, kita pun jangan berbuat hal itu kepada orang lain. Konsep “tepa selira” selaras betul dengan ajaran Yesus Kristus yang berbunyi, “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka” (Mat. 7:12).

One thought on “Bebas Memilih Agama

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *