Oleh Bunga Siagian
“Manusia tidak hidup sendirian di dunia ini, tapi di jalan setapaknya masing-masing. Semua jalan setapak itu berbeda-beda, namun menuju ke arah yang sama, mencari satu hal yang sama, dengan satu tujuan yang sama, yaitu Tuhan.”
Secuplik pernyataan dari filem “?” (tanda tanya) karya Hanung Bramantyo (2011) itu berupaya mengkritik kondisi mutakhir keberagamaan di Indonesia. Isi filem “?” sendiri agak “mengerikan”—diawali dengan penusukan seorang romo, berlanjut kepada konflik akibat pindah agama, cinta beda agama, hingga terorisme. Tetapi kondisi itu memang nyata terjadi di negeri kita, Indonesia.
Jelasnya paparan kondisi itu benar-benar mengundang tanda tanya dan penafsiran pribadi. Filem “?” seperti mewakili rasa resah masyarakat terhadap makin maraknya kekerasan atas nama agama. Melalui karyanya, Hanung seakan-akan meraungkan protes sambil mendesak penonton untuk menjelajahi alam imajinasinya dan menangkap pesan bahwa semua agama bertujuan sama, menjunjung nilai luhur yang sama: perdamaian.
Perdamaian memang dirindukan dunia, sampai-sampai lahir lembaga antar bangsa yang giat memperjuangkannya, yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). PBB berperan besar dalam menyiarkan konsep Hak Asasi Manusia (HAM) di antara bangsa-bangsa.1 Konsep ini mencakup konsep kebebasan beragama, yang menjamin kebebasan manusia untuk menerapkan agama atau kepercayaannya di ruang pribadi atau umum.2 Tetapi apakah kebebasan beragama hanya bisa dimaknai sebatas itu, atau bisakah lebih dalam lagi?
Pada dasarnya, kebebasan beragama bukan sekadar berarti bebas menerapkan agama di ruang pribadi atau umum. Itu hanyalah cuilan dari konsep kebebasan beragama. Sayangnya, para pegiat kebebasan beragama cenderung membatasi ide kebebasan beragama seputar hal itu. Kebanyakan dari mereka lebih sering “bersuara” hanya kalau ada tempat ibadah yang ditutup atau dirubuhkan. Akibatnya, hingga kini banyak orang menganggap kebebasan beragama identik dengan kebebasan menggunakan tempat ibadah.
Padahal kebebebasan beragama mencakup ide yang lebih hakiki, yaitu orang bebas meyakini bahwa agama atau kepercayaannya paling benar. Logikanya sederhana saja: Jika orang bebas memilih dan memeluk suatu agama, tentulah ia juga bebas meyakini bahwa agama pilihannya itu benar (dibanding agama yang tidak dipilihnya). Ini yang langka disuarakan. Sebaliknya, masyarakat malah sering “didesak” untuk meyakini semua agama sama, tak ada yang paling benar, termasuk oleh sebagian pemuka agama.
Semua agama tidaklah sama. Kalaupun semuanya menuju kepada Tuhan, seperti dinyatakan filem “?,” semuanya punya pemahaman yang tidak selalu sama tentang Tuhan dan juga tentang realitas hidup manusia. Ya, kesamaan dan kemiripan pasti ada—yang paling menonjol adalah bahwa agama-agama sama-sama menganjurkan manusia untuk berbuat baik. Tetapi segala kesamaan dan kemiripan itu tak pernah sampai bisa melabelkan bahwa semua agama sama.
Di atas fakta ketidaksamaan agama inilah ide kebebasan beragama membawa simpulan bahwa orang bebas meyakini agama atau kepercayaannya paling benar. Namun, simpulan ini sering diargumenkan sebagai sumber sengketa potensial. Orang yang meyakini agamanya paling benar ditakutkan akan menjadi pribadi fanatik yang menganggap penganut agama lain layak dibenci, dilukai, bahkan dimusnahkan. Dan sejarah memang sudah melihat orang-orang seperti ini muncul.
Tetapi itu tidak seharusnya terjadi. Jika agama memang menganjurkan perbuatan baik kepada sesama, pemeluk sejati agama sepatutnya tidak pernah “mengidap” kefanatikan yang merusak. Pemuka agama, selaku panutan umat, harus berupaya keras untuk memastikan hal itu lewat pembinaan rohani umat. Secara keseluruhan, umat beragama harus mengembangkan gaya hidup yang, meskipun meyakini agamanya paling benar, tetap dapat bergaul dan bersikap baik kepada pemeluk agama lain.
Terlepas dari itu, meyakini agama atau kepercayaannya paling benar sesungguhnya tergolong dalam hak orang untuk menyatakan pendapat, yang juga dicakup oleh konsep HAM. Dengan kata lain, melarang orang meyakini agamanya paling benar justru merupakan wujud pelanggaran HAM.
Manusia, seperti diungkapkan filem “?,” memang memiliki jalan setapak yang berbeda-beda. Jika ia bebas dan boleh menempuh jalan setapak yang berbeda dari sesamanya, tentulah ia juga bebas dan boleh meyakini jalan setapaknya sebagai jalan yang paling benar—idealnya sambil tetap berpikiran terbuka dan menghargai perbedaan demi perdamaian.
.
Bunga adalah seorang asisten pengacara publik yang tinggal di Bekasi, Jawa Barat.
.
Catatan
1 Konsep Pengakuan Hak Asasi Manusia diterima dan bersifat normatif di berbagai negara sejak Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dikeluarkan pada tahun 1948. DUHAM disusun berdasarkan kesadaran akan nilai kebebasan, keadilan, dan perdamaian dunia dengan melindungi hak-hak asasi yang diatur dalam batang tubuhnya. Lihat “The Universal Declaration of Human Rights” dalam situs UN. <http://www.un.org/en/documents/udhr/index.shtml >.
2 “Kebebasan Beragama” dalam Wikipedia. <http://id.wikipedia.org/wiki/Kebebasan_beragama >.