Ilusi Kebebasan Beragama

Oleh Yulius Tandyanto

Barangkali kebebasan beragama adalah sebuah ilusi. Ah, Anda tak perlu lekas-lekas mengernyitkan dahi dan buru-buru mengajukan protes. Tapi izinkanlah saya mengajak Anda melanglang buana menjelajahi ilusi ini.

Bayangkan suatu kondisi di mana hak asasi manusia dijunjung tinggi, termasuk kebebasan beragama dan menyatakan iman. Siapa pun dapat membuat agama baru selama ia merasa mendapatkan wahyu khusus dari yang ilahi, lengkap dengan kitab suci dan nabi-nabinya.

Dalam situasi bebas tersebut, tentu agama-agama baru pun akan tumbuh bak jamur di musim hujan. Mengapa? Karena manusia bebas untuk memaknai pengalaman spiritualnya yang khas dan juga berbeda-beda dengan orang lain. Perbedaan-perbedaan yang tak terhindarkan dalam iklim kebebasan radikal itulah yang menjadi embrio kelahiran agama-agama baru.

Namun, saya rasa hati kecil kita akan menangkap suatu intuisi bahwa kebebasan beragama macam ini adalah bentuk kekonyolan. Meskipun agama-agama baru tersebut tidak menyakiti orang lain dan/atau dirinya sendiri, dalam tahap tertentu semua itu akan menjadi bahan olok-olokan.

Mungkin kondisi macam ini belum bergaung lantang di bumi Nusantara. Lain halnya bila kita mengamati dan membandingkan kebebasan beragama yang ada di negara Uak Sam (US), misalnya saja fenomena Pastafarianisme1 yang sempat menggegerkan benua Amerika dan Eropa dengan ajaran parodinya.

Jadi, alih-alih menciptakan masyarakat yang baik, fenomena kebebasan beragama malah menciptakan masalah-masalah baru yang lebih rumit. Kebebasan beragama yang sebebas-bebasnya malah menjadikan agama sebagai parodi, proyeksi absurd, dan perwujudan watak neurosis-infantil.2 Inilah ilusi utama dari kebebasan beragama. Jika demikian, apakah negara perlu membatasi urusan kebebasan beragama?

Tentu jawabnya tidak sekadar perlu dan tidak perlu, tapi kita harus menimbang konteks budaya bumi yang dipijak. Dan jika republik ini memiliki reputasi buruk dalam menghormati kebebasan beragama,3 tidak berarti kebebasan agama perlu diperluas. Namun, negara perlu tegas dalam menegakkan hukum dan menjamin bahwa kebebasan beragama tidak dimanfaatkan sebagai dagangan politik.

Nah, bila kita melihat kembali pada konteks budaya bumi yang dipijak, kita harus sadar bahwa bangsa ini memiliki beragam agama suku sejak zaman karuhun. Ragam kepercayaan itu berakar kuat pada nilai-nilai tradisi dan menjadi tuntunan hidup  orang-orang di Nusantara, misalnya Parmalim di Sumatera Utara, Kaharingan di Kalimantan, Bissu di Sulawesi, Boti di NTT, Marapu di Sumba, dan Sunda Wiwitan atau Jawi Kawitan di Jawa.4

Masalah terjadi ketika kepercayaan lokal tersebut dipaksa “bernaung” pada salah satu agama resmi yang telah ditetapkan negara. Padahal, bila kita mau menimbang-nimbang dengan jeli, agama-agama resmi itu merupakan kepercayaan impor yang berasal dari daratan Eropa, Arab, India, dan Cina.

Persoalan kian rumit karena agama-agama resmi cenderung menganggap agama-agama suku sebagai kepercayaan kelas dua bahkan menyesatkan. Bukan dialog yang terjadi, tetapi penjajahan budaya asing terhadap budaya lokal dengan dalih menegakkan kebenaran agama. Ibarat pendatang yang arogan dan tidak tahu sopan santun terhadap tuan rumah, demikianlah kehadiran agama-agama resmi terhadap agama-agama suku.

Sebetulnya dialog yang sehat dan membangun dapat terjadi ketika kita dapat memilah antara kebenaran dasar suatu agama dan budaya asli tempat agama tersebut berakar. Bukankah suatu agama akan lebih berdaya guna bila berakar dengan budaya lokalnya ketimbang bernuansa keeropa-eropaan atau kearab-araban?

Pada momen inilah tersingkap ilusi lain kebebasan beragama: seolah-olah agama-agama resmi berhak “memurnikan” agama-agama suku dengan alasan untuk menegakkan kebenaran ajaran agama. Dalam hal ini agama jadi lebih banyak mendatangkan mudarat ketimbang manfaat.

Dengan demikian nyatalah bahwa kebebasan beragama memiliki ilusi-ilusi yang membahayakan. Di satu sisi negara perlu tegas dan menjamin kebebasan beragama sesuai dengan hukum. Di sisi lain, masyarakat perlu menyadari bahwa kebebasan beragama tidak berarti bebas membuat agama baru atau bersikap sewenang-wenang terhadap agama suku.

Kiranya cukup sampai di sini saya mengajak Anda menjelajahi ilusi kebebasan beragama. Penjelajahan ini penting agar kita awas terhadap diri dan ajaran agama yang kita hayati.  Harapannya, dialog-dialog keagamaan dapat terjalin dengan sikap wawas diri yang rasional, sehat, dan bersahabat. Syabaslah jika demikian!

.

Yulius adalah seorang mahasiswa pascasarjana jurusan filsafat yang tinggal di DKI Jakarta.

.

Catatan

1 Pastafarianisme adalah sebuah ajaran agama yang menentang paham penciptaan (Ing.: creationism) dan rancangan cerdas (Ing.: intelligent design) di balik keberadaan alam semesta dan mahkluk hidup. Dalam ajaran ini Tuhan dikenal sebagai Monster Spageti Terbang (Ing.: the Flying Spaghetti Monster – FSM) yang membuat alam semesta. Ajaran ini muncul di Kansas (AS) sekitar tahun 2005, lengkap dengan kitab suci dan nabinya yang bernama Bobby Henderson. Informasi mengenai ajaran ini dapat dilihat di situs Church of the Flying Spaghetti Monster (http://www.venganza.org/about/), “Flying Spaghetti Monster” dalam Wikipedia <http://en.wikipedia.org/wiki/Flying_Spaghetti_Monster >, dan komentar Frank Fredericks, “Protecting Pastafarians: When Does Religious Freedom Become Ridiculous?” dalam The Huffington Post  <http://www.huffingtonpost.com/frank-fredericks/when-does-religious-freed_b_897631.html >.

2Neurosis-infantil dalam tulisan ini berarti suatu gejala yang memperlihatkan bahwa agama merupakan suatu ilusi kekanak-kanakan yang sangat diinginkan karena secara tak sadar si pemeluk agama yang bersangkutan tidak berani menjalani kehidupan nyata. Istilah ini dipopulerkan oleh Sigmund Freud.  Bandingkan pula dengan uraian Franz Magnis-Suseno dalam Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius, 2006, hal. 84-92.

3Kasus GKI Yasmin, HKBP Filadelfia, penyerangan pesantren Syiah, pelecehan terhadap anak-anak Ahmadiyah, dan beragam kasus lainnya dapat Anda bandingkan dengan laporan Human Right Watch bulan Februari 2013 berjudul Atas Nama Agama: Pelanggaran Terhadap Minoritas Agama di Indonesia.

4Majalah Majemuk edisi 45, Desember 2010, hal. 14.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *