Oleh S.P. Tumanggor
Izinkanlah saya memetikkan bagi Anda sebaris kalimat dari sebuah buku karya seorang cendekiawan Indonesia. Harap Anda membacanya lalu menjawab pertanyaan ini: bisakah Anda memahami maknanya dalam waktu yang singkat dan wajar?
“Kepemimpinan berurusan dengan dinamika sistem, mekanisme, atau masinesasi sosial dan orientasi humanis dalam seluruh hakikat serta aspek kepemimpinan.”1
Saya duga tidak, karena Anda harus berjuang dulu menafsirkan istilah-istilah serapan seperti “dinamika sistem,” “mekanisme,” “masinesasi sosial,” dan “orientasi humanis.” Kalau sudah sukses dengan itu, Anda masih harus mencerna makna keseluruhannya dalam kalimat tersebut. Ini pun butuh perjuangan, sebab taburan kata benda abstrak di situ (“dinamika,” “mekanisme,” “masinesasi,” “orientasi”) harus Anda pahami wujud kongkritnya. Singkat dan wajar? Rasanya mustahil.
Komunitas Ubi (Kombi) maklum sekali akan perjuangan berat itu. Sejak kelahirannya di tahun 2011, Kombi selaku komunitas penulis menyadari pentingnya pembahasaan tulisan yang memudahkan pembaca memahami untaian kalimat dalam waktu singkat dan wajar. Ini penting karena lebih menjamin ketersampaian ide tulisan dan, karenanya, penerapan serta pengembangan ide itu.
Maka bulan demi bulan para peladang (penulis) Kombi berupaya menggubah tulisan-tulisan cendekia yang bernas tapi tidak menuntut perjuangan berat pembaca untuk memahaminya. Ini boleh dibilang merupakan suatu aksi, mengingat tidak sedikit kaum terpelajar Indonesia yang gemar mengerahkan pembahasaan tak mudah dalam tulisannya, seperti dicontohkan oleh kalimat petikan di atas.
Memang patut disayangkan bahwa tulisan-tulisan cendekia di Indonesia punya kecenderungan kepada pembahasaan abstrak dengan bumbu istilah-istilah serapan yang sering kali berupa kata-kata benda abstrak pula (misalnya, “masinenasi”). Lantas dunia akademi, diikuti media massa, membangun anggapan bahwa tulisan yang terpelajar dan ilmiah haruslah seperti itu. Padahal Anda dan saya bisa gampang menalar bahwa yang menjadikan suatu tulisan terpelajar dan ilmiah adalah ide dan argumennya, bukan pembahasaan dan kosakatanya, yang hanya merupakan kendaraan bagi ide dan argumen.
Alhasil banyak lulusan perguruan tinggi Indonesia terkunci dalam kendaraan itu. Ketika hendak berbagi ide-ide cemerlang lewat tulisan, mereka merasa wajib menggelontorkan pembahasaan abstrak dan istilah-istilah serapan dengan pemikiran bahwa itulah yang menjadikan tulisan mereka terpelajar dan ilmiah. Ada suatu ketidaksadaran bahwa tradisi berpikir dan berbahasa orang Timur sebetulnya cenderung kongkrit, bukan abstrak seperti orang Barat.2
Tentu saja memakai pembahasaan abstrak atau istilah-istilah serapan, seperti dicontohkan oleh kalimat petikan di atas, bukanlah “dosa” atau masalah pokoknya. Tidak ada undang-undang yang melarangnya! Masalah pokoknya adalah: tulisan yang gandrung memuat kalimat-kalimat macam itu menyulitkan, bukan memudahkan, pembaca Indonesia untuk menangkap ide-ide baik yang hendak disampaikan penulisnya. Dan jika kita, pembaca Indonesia, kesulitan menangkap ide-ide baik para penulis cendekia kita, kita pun akan kesulitan menerapkan atau mengembangkan ide-ide itu dalam berbagai bidang kehidupan bangsa.
Akibatnya, tersendatlah pembangunan bangsa—lantaran ide-ide baik kaum cendekianya tak tersampaikan kepada masyarakat luas. Selain itu, masyarakat kita, bahkan kaum terpelajar kita, secara umum jadi malas membaca tulisan-tulisan cendekia karena menilainya menuntut perjuangan berat. Ini jelas berpengaruh kepada minat baca bangsa dan, karenanya, kepada kemajuan bangsa.
Kombi ingin membantu menanggulangi situasi tak menguntungkan itu. Dalam tulisan-tulisan Kombi, istilah serapan dan pembahasaan abstrak tetap dipakai seperlunya, tapi istilah yang lebih pribumi3 dan pembahasaan kongkrit diutamakan. Yang lebih ditonjolkan justru ide khas, sudut bidik istimewa, dan kemasan penulisan yang baik atau unik. Bagi Kombi, itulah kecendekiaan yang sesungguhnya.
Dan di situlah aksinya dilakukan. Sebagaimana aksi seni tertentu mendobrak pakem-pakem yang malah membelenggu kesenian, demikianlah Kombi mengaksikan tulisan cendekia yang mudah dicerna. Alasan utamanya bukan karena ingin mendobrak pakem, tapi karena ingin serius menggenapi semboyan “Untuk Tuhan dan Bangsa.”
Mudah-mudahan aksi Kombi ini menggejala pula di sektor penulisan di Indonesia. Saya dan Anda tentu merindukan Indonesia mendapat sebanyak-banyaknya karya tulis yang berbobot sekaligus ramah dalam penyampaian. Mudah-mudahan kita, orang Indonesia, gemar membuktikan kecendekiaan kita lewat ketersampaian ide kita, entah dalam pidato atau tulisan, diskusi atau buku.
Panjang umur Kombi! Panjang umur ketersampaian ide!
.
S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.
.
Catatan
1 Karena alasan etis, nama dan judul buku sang cendekiawan tidak saya sebutkan di sini.
2 Arthur C. Custance, cendekiawan Kristen AS, membahas hal ini dalam The Doorway Papers Volume 1: Noah’s Three Sons: Human History in Three Dimensions, secara khusus dalam bab Religion, Philosophy, and Technology.
<http://www.custance.org/Library/Volume1/Part_V/Chapter4b.html> Ia menyebutkan bahwa “bahasa-bahasa Indo-Eropa atau Yafetik lebih menyukai suatu Wawasan Dunia [Ing. World View] yang merenung dan senang kepada pemikiran filosofis … [sedangkan] bahasa-bahasa Hamitik, adalah sedemikian khas sehingga tidak mendorong perenungan atau abstrak, tapi pemikiran kongkrit, spesifik, khusus, yang menuntun kepada pandangan yang sangat praktis tentang segala sesuatu.” Dalam bahasan Custance, orang Barat adalah termasuk orang Yafetik (keturunan Yafet) sedangkan (sebagian besar) orang Timur adalah termasuk orang Hamitik (keturunan Ham).
3 Maksud “istilah yang lebih pribumi” adalah istilah yang sudah lebih dulu dikenal dan digunakan dalam bahasa Indonesia (biarpun istilah itu diserap dari bahasa asing). Jadi, misalnya, istilah “perkiraan” atau “anggapan” adalah lebih pribumi daripada “asumsi,” demikian juga “persetujuan” atau “mufakat” daripada “konsensus.”