Idealisme versus Apatisme

Oleh Bunga Siagian

Di masa awal kemerdekaan, Indonesia memiliki sosok-sosok hebat yang berjuang demi bangsa bahkan sejak mahasiswa. Pendirian mereka kuat dan idealisme mereka besar. Tak ada tempat bagi apatisme terhadap bangsa di hati dan pikiran mereka.

Namun, keadaan sepertinya sudah banyak berubah hari ini. Sosok-sosok mahasiswa awal, yang berani menyuarakan kebenaran dan menciptakan karakter bangsa yang jujur, tidak lagi banyak ditemukan. Jangankan membangun bangsa, sebagian mahasiswa kini sudah tak acuh terhadap kondisi bangsa. Idealisme jauh dari pikiran, tetapi apatisme dekat sekali.

Mahasiswa Indonesia masa awal membangun bangsa dengan cara membangun diri. Mohammad Hatta, misalnya, mengambil pilihan idealis dengan menampik pekerjaan bergaji menggiurkan1 demi kuliah di Belanda dengan modal dana yang pas-pasan. Ini dilakukannya berdasarkan keyakinan bahwa Indonesia yang dicita-citakan merdeka membutuhkan generasi terpelajar yang berpengetahuan luas.

Sebagai mahasiswa, bahkan di tingkat awal, Hatta bertindak “lebih dari standar” dengan membaca buku-buku mahasiswa tingkat lanjut. Ia pun selalu berusaha menambah koleksi bukunya. Selain kuliah sungguh-sungguh, Hatta aktif dalam organisasi politik yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, bahkan dipercaya menjadi bendahara hingga ketua. Ia tampil sebagai sosok cerdas dan cakap berorganisasi.2

Berbeda dengan Hatta, banyak mahasiswa kini tidak terlalu peduli soal membangun diri untuk membangun bangsa. Mereka menggandrungi pola belajar sesaat-sebelum-ujian. Fenomena mencontek, titip absen, malas baca, segan belajar, dan hura-hura menunjukkan ketidakacuhan terhadap pembentukan karakter diri. Keapatisan macam ini tentu akan berdampak pada kemerosotan bangsa.

Cipto Mangunkusumo, mahasiswa awal lainnya, adalah sosok idealis yang dikenal jujur, berpikiran tajam, dan rajin. Sementara teman-temannya asyik bermain dan berpesta, Cipto sibuk menyimak ceramah dan membaca buku. Pikiran kritisnya menghasilkan perlawanan terhadap diskriminasi dan feodalisme yang menonjol pada zamannya. Cipto berani menggubah tulisan penuh kritik terhadap pemerintah kolonial Belanda meski risikonya besar. Keberaniannya jugalah yang mendorongnya turut serta merintis organisasi politik pertama bagi orang Indonesia, Budi Utomo.3

Lain dengan Cipto, banyak mahasiswa kini malas berpikir kritis dan takut melawan arus. Mental “cari aman”  lebih disukai daripada berani bersuara dan tampil beda dalam hal-hal yang baik dan ideal. Mudahnya arus tren masa kini, misalnya tren pop Korea (Ing.: K-Pop), menghanyutkan kaum muda Indonesia (termasuk mahasiswa) menunjukkan karakter generasi apatis yang tumpul daya cipta. Sudah sepatutnya semangat perintisan—bukan peniruan atau penjiplakan—yang dimiliki Cipto dimiliki pula oleh mahasiswa kini.

Masa awal kemerdekaan juga mendapati sosok pahlawan pembela kebenaran dalam diri Yap Thiam Hien. Menumpang kapal pemulangan orang Belanda, ia pergi ke negeri Belanda lalu menempuh pendidikan hukum di Universitas Leiden dan meraih gelar Meester in de Rechten4 dalam waktu singkat. Ia tampil sebagai advokat idealis, yang berjuang bagi orang tertindas, serta tokoh politik yang bersih dan jujur. Ia pun turut mendirikan Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH).5

Berbeda dengan Yap, tidak sedikit mahasiswa kini yang enggan mengabdi kepada kebenaran dan keadilan. Mereka bersikap pesimis, cenderung apatis, di depan upaya mengubah Indonesia menjadi negara bersih. Korupsi ditolerir, bahkan “dilatih” praktiknya sejak mahasiswa. Kuliah serta gelar diacukan kepada materi dan uang. Pekerjaan idealis tidak dilirik sementara tempat “basah” dikejar-kejar.

Kontras mencolok di atas menyodorkan dua pilihan kepada mahasiswa kini: membiarkan apatisme semakin berjangkit atau bangkit menggantikan sosok-sosok hebat beridealisme besar yang telah membangun bangsa. Mahasiswa sejati, yang mengedepankan akal budi dan akal sehat, tentu tahu menjatuhkan pilihan yang tepat. Mari bergerak, menjunjung dan menerapkan idealisme, serta menyaksikan perbaikan nasib bangsa!

.

Bunga  adalah seorang asisten pengacara publik yang tinggal di Bekasi, Jawa Barat.

.

Catatan

1 Mohammad Hatta. Bukittinggi-Rotterdam Lewat Betawi. Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2011, hal 126. Hatta ditawari pekerjaan di bidang niaga dengan gaji sepuluh kali lipat dari biasanya.

2 Mohammad Hatta. Bukittinggi-Rotterdam Lewat Betawi.

3 Linda Sunarti. “Biografi Dr. Cipto Mangunkusumo” dalam situs Biografi Tokoh Dunia. <http://kolom-biografi.blogspot.com/2009/11/biografi-dr-cipto-mangunkusumo.html >.

4 Meester in de Rechten setara dengan gelar master pada tingkat pendidikan S-2 masa kini. Lihat “Meester_in_de_Rechten” dalam situs Wikipedia bahasa Indonesia. <http://id.wikipedia.org/wiki/Meester_in_de_Rechten >.

5 “Laporan Khusus 100 Tahun Yap Thiam Hien: Kepada Yap Kita Bercermin” dalam Majalah Tempo terbitan 3-9 Juni 2013.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *