Oleh S.P. Tumanggor
Kemajuan dan kecerdasan suatu bangsa bukanlah ditentukan oleh banyaknya sarjana yang dihasilkan bangsa itu tahun demi tahun. Suatu bangsa baru bisa dibilang maju dan cerdas kalau ilmu para sarjananya terpakai, tersalurkan, dan mewujud dalam karya-karya pandai yang melancarkan putaran jentera kehidupan bangsa di segala sektor.
Setiap mahasiswa—calon sarjana—perlu mencamkan hal itu. Kiprah berkuliah haruslah diacukan, utamanya, kepada kekayaan berkarya, bukan kekayaan pendapatan. Tidak tampak majunya, tidak tampak cerdasnya bangsa kita jika, misalnya, setiap tahun menyambut kelulusan banyak sarjana tata kota atau teknik lingkungan atau teknik sipil tapi faktanya kota-kota kita semerawut, saluran-saluran air kita payah, dan jalanan kita keropok.
Hal yang sama bisa dikatakan tentang sarjana bidang apa pun dan fakta keadaan bidang itu di Indonesia hari ini yang secara umum belum juga mengatrol kedudukan kita jadi “bangsa maju.” Tentu ada sederet faktor yang menyebabkannya, antara lain: birokrasi pemerintahan, mental bangsa, semangat dan wawasan kesarjanaan. Yang disebutkan belakangan ini, yang akan kita soroti dalam tulisan ini, secara khusus mencolok dalam potret mahasiswa Indonesia masa awal.
Digerakkan nasionalisme berapi, banyak mahasiswa awal menggeluti perkuliahan secara sungguh-sungguh untuk berkarya besar bagi bangsa dan dunia. Mereka serius mengusung semangat dan wawasan kesarjanaan, yakni menuntut ilmu dengan penuh gairah untuk dapat mengamalkannya bagi kepentingan orang banyak. Alhasil mereka pun lulus sebagai sarjana yang cendekia, tinggi daya cipta, dan dingin tangan.
Maka, kita tahu, Suwardi Suryaningrat mengayak pola pendidikan Belanda lalu merumuskan pola pendidikan yang cocok bagi orang Indonesia dan menerapkannya di perguruan Taman Siswa. Muhammad Yamin tidak puas menguasai bidang hukum belaka, tapi merambah pula bidang sastra dan sejarah sehingga, melalui bidang-bidang ini, memahat imaji keindonesiaan bagi kita semua.1 Johannes Leimena merenungkan kesehatan semesta rakyat Indonesia lalu menggagas Rencana Bandung yang menaburkan beribu puskesmas di seantero tanah air.
Kinerja mereka persis tertuju kepada bangsa, dan ini harus jadi cerminan bagi mahasiswa Indonesia masa kini. Kuliah betul-betul mereka manfaatkan untuk mengayakan karya yang tepat guna bagi Indonesia. Jelas semangat dan wawasan mereka melampaui pola pikir pragmatis yang membuat banyak mahasiswa kini mengejar kemajuan diri sendiri, bukan kemajuan umum/bangsa. Dan selain hebat di skala nasional, karya kesarjanaan para mahasiswa awal hebat pula di skala internasional.
Maka, kita ingat, Sukarno menggeledek dengan ide Kekuatan Baru yang menggalang kebangkitan bangsa-bangsa Asia-Afrika-Amerika Selatan di masa penghabisan penjajahan Eropa.2 Sam Ratulangi menuliskan secara visioner peran raya bangsa-bangsa Asia Tenggara untuk menjadikan Samudera Pasifik sepenting Samudera Atlantik.3 J.B. Sitanala dianugerahi bintang kehormatan dari luar negeri dan bintang jasa dari perkumpulan sarjana internasional lantaran karya-karya tulis ilmiahnya dan metode baru yang dikembangkannya untuk menangani penyakit kusta.
Kinerja mereka berkaliber internasional, dan ini teladan agung bagi mahasiswa Indonesia masa kini. Ilmu pengetahuan benar-benar mereka kuasai dan kembangkan demi kemanusiaan. Kesarjanaan mereka buktikan dengan karya-karya akbar, bukan dengan gelar dan ijazah belaka. Jelas semangat dan wawasan mereka melampaui pola pikir kuliah-untuk-kerja semata yang merintangi banyak mahasiswa kini untuk menonjol di tingkat dunia—hal yang bisa sangat mengharumkan nama bangsa.
Jika lulusan perguruan tinggi diharapkan berfaedah besar, tak dapat tidak wawasan dan semangat kesarjanaan harus dikobarkan sehebat-hebatnya. Pemerintah dan praktisi pendidikan tinggi harus merupa iklim akademis yang menggairahkan mahasiswa kini untuk menuntut ilmu demi mengamalkannya bagi bangsa dan dunia. Kekreatifan dan keinovatifan harus dirangsang dengan penghargaan dan kepastian ketersaluran karya. Ide dan usulan karya luhung harus ditanggapi dan didukung dengan dana dan fasilitas. Maka karya-karya akan kaya semasa dan selepas kuliah.
Mahasiswa kini harus mengobarkan nasionalisme dan internasionalisme, dalam pengertian harus memacu diri mengerjakan karya-karya besar yang sengaja ditujukan kepada bangsa dan dunia. Ini harus dilihat sebagai jalan yang lebih agung-mulia daripada sekadar berkarya demi kepentingan diri sendiri. Maka sejatilah kesarjanaan itu dan diberkatilah bangsa dan dunia olehnya.
Mahasiswa, kuliahlah dan kaya karyalah!
.
S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.
.
Catatan
1 Yamin bahkan disebut sejarawan Taufik Abdullah sebagai “sejarawan terbesar yang pernah dimiliki Indonesia.” “Peletak Imaji Keindonesiaan” dalam Suara Merdeka terbitan 24.11.2008.
2 Kekuatan Baru atau Nefo (New Emerging Forces), dalam ide Sukarno, adalah negara-negara baru di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan yang pada masa itu (pertengahan abad ke-20) sedang menguat jadi tandingan negara-negara penjajah (Barat pada umumnya), yakni negara-negara Kekuatan Lama atau Oldefo (Old Established Forces).
3 Judul buku itu adalah Indonesia in de Pacific, Kernproblemen van den Aziatischen Pacific (terbit tahun1937).