Oleh Robin Padilla
Siapa yang tidak mengenal Susi Susanti? Dengan rambut dikuncir ala ekor kuda, pebulu tangkis putri ini memenangi medali emas bagi Indonesia di Olimpiade Barcelona 1992. Pukulan-menukik khas menyilang serta rentangan kaki memanjang untuk menyiasati manuver kok yang sulit membuat Susi terlihat seperti paduan atlet senam dan bulu tangkis.
Bang Soo Hyun, pemain Korea Selatan yang dihadapi Susi di final, bukanlah lawan yang mudah. Tiga babak pertandingan menjadi bukti usaha keras Susi bagi negeri. Kalah di babak pertama dan menang di babak kedua memanjangkan juang Susi ke babak ketiga, yang mendapati strategi pukulan panjangnya meletihkan Soo Hyun. Dengan angka akhir 11-3, Susi membuat Indonesia meraih emas pertama di ajang olimpiade.
Beberapa saat kemudian suasana hening. Hanya lagu Indonesia Raya mengalun megah di stadion. Rakyat Indonesia, yang hadir secara langsung di Barcelona dan yang hadir secara tidak langsung lewat layar kaca di tanah air, menatap penuh haru ketika bendera Merah Putih dinaikkan dengan perlahan. Dada seakan ingin meledak karena penuh kebanggaan! Susi sendiri menangis—seiring alunan Indonesia Raya—di depan mata dunia.
Perjuangan berpeluh Susi Susanti berhasil mempersatukan jutaan rakyat Indonesia di sebuah puncak nasionalisme. Tak perlu diragukan lagi, olahraga adalah salah satu sarana hebat untuk meningkatkan rasa kebangsaan. Seperti melupakan semua beban pekerjaan atau masalah, rakyat larut dalam sukacita akibat kemenangan Susi. Mereka bersatu mendukung dan membanggakan atlet yang berjuang mewakili mereka—mewakili negeri Indonesia.
Di penghujung tahun 1999, Susi resmi gantung raket. Namun, sumbangsih sang srikandi bulu tangkis bagi negeri tidaklah berakhir seiring pensiunnya. Susi masih tampil dengan “pukulan menukik” berupa seruan kepada pemerintah agar memperhatikan nasib mantan atlet.
Mungkin saja Susi kecewa terhadap pemerintah—sama seperti kita juga terkadang menggerutu karena kebijakan penguasa. Kiprahnya di dunia bulu tangkis pasca pensiun sangat minim. Ia hanya muncul di turnamen yang melibatkan merek dagangnya, ASTEC. Ia bahkan melarang anaknya terjun ke dunia bulu tangkis. Tapi Susi Susanti tak membiarkan diri larut dalam kekecewaan. Ia pun bangkit lagi bagi negeri dengan menjawab panggilan menjadi pelatih putri untuk turnamen Piala Thomas dan Uber 2008.
Bagi negeri, Susi kembali mengabdi di dunia bulu tangkis demi prestasi tinggi yang akan mampu menggugah semangat cinta Indonesia, bukan hanya di hati anak didiknya tapi juga di hati seluruh rakyat Indonesia. Susi berhasil membawa Maria Kristin dan kawan-kawan ke putaran final Piala Thomas dan Uber 2008, meski Indonesia gagal mendapatkan gelar juara.
Selain itu, Susi tetap melancarkan seruan-seruan bagi pengembangan olahraga, khususnya bulu tangkis, di negeri ini. Manakala hadir di layar televisi sebagai komentator, Susi tak lupa mengajak seluruh bangsa Indonesia (baca: pemerintah dan rakyat) berperan aktif mendukung kemajuan bulu tangkis. Susi tahu bahwa olahraga sudah lama menjadi sarana untuk mempersatukan jutaan rakyat Indonesia
Banyak yang bisa kita pelajari dari nasionalisme srikandi bulu tangis Indonesia ini. Kisah kemenangan dan seruan Susi terhadap pemerintah membuktikan pentingnya olahraga bagi kemajuan bangsa. Pemerintah harus serius membina calon atlet, memberi hadiah bagi atlet berprestasi, dan menjamin hidup mantan atlet. Kelak biarlah dunia tak hanya memashurkan Susi Susanti, sang srikandi bulu tangkis Indonesia, tapi juga nama-nama atlet baru berprestasi asal Indonesia di berbagai cabang olahraga.
Seperti Susi Susanti, semua atlet Indonesia adalah duta-duta pengharum nama bangsa. Ke kancah pertandingan olahraga dunia mereka harus maju bak kesatria yang berbajuzirahkan semangat cinta bangsa dan yang selalu menjiwai lirik lagu agung, “Bagimu, negeri, kami mengabdi.” Dan kita, rakyat Indonesia, akan senantiasa mendukung mereka seraya bergumam dengan penuh damba, “Bagimu negeri, kami selalu merindukan hari indah-gemilang untuk mendongak bangga, menatap Sang Merah Putih berkibar di dunia.”
.
Robin adalah seorang mahasiswa jurusan ekonomi yang tinggal di Pontianak, Kalimantan Barat.
.