Oleh Viona Wijaya
“Itu salah satu lagu nasional yang paling mengharukan,” kata seorang kawan saya. Dan kira-kira begitu jugalah komentar banyak orang yang saya simak di dunia maya mengenai lagu Tanah Airku. Selain melodinya mampu membangun suasana haru yang sangat kuat, lirik lagu karangan Ibu Sud tersebut juga sangat menyentuh hati. Maknanya seiras dengan baris pertama ikrar luhur pemuda Indonesia di tahun 1928: “Bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.”
Sayang sekali pada faktanya rasa haru dan janji untuk tidak melupakan tanah air sering kali hanya ada kala menyanyikan Tanah Airku. Selesai menyanyi, banyak dari kita, putra-putri Indonesia, lupa akan tanah air.
Lupa akan tanah air di sini bukan seperti amnesia karena kepala terbentur lalu tidak ingat segala sesuatu, termasuk negeri asal. Lupa di sini adalah suatu sikap tidak peduli atau abai terhadap tanah air. Kaki kita bisa jadi menjejak ibu pertiwi, telinga kita bisa jadi mendengar berbagai persoalan yang merundung tanah tumpah darah, tapi kita memutuskan untuk bersikap seolah-olah lupa dengan semua itu dan asyik dengan kehidupan sendiri.
Saya pikir banyak di antara kita sudah mendengar tentang pulau-pulau kita yang ditawarkan di dunia maya. Orang Indonesia gempar ketika menyimak kabar bahwa Pulau Gambar (di Laut Jawa) ditawarkan seharga 6,93 miliar rupiah sedangkan Pulau Gili Nanggu (di sekitar Lombok) ditawarkan seharga 9,9 miliar rupiah.1
Kita juga ingat bagaimana Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan lepas ke tangan Malaysia karena “tidak terurus” oleh Indonesia. Menyedihkan. Indonesia tersohor sebagai negara ribuan pulau, tapi tak mampu mengasuh, mengelola, ribuan pulau miliknya!
Selain itu, kita melihat pencemaran dan perusakan lingkungan terjadi di mana-mana: pembalakan liar, pembakaran hutan untuk membuka lahan, pencemaran sungai oleh limbah pabrik-pabrik, atau bahkan kota-kota yang tak resik akibat warganya tak tertib membuang sampah.
Belum lama ini terjadi kebakaran hutan di Riau yang asapnya mengepul sampai ke Singapura. Seorang kawan dari Duri, Riau, berkomentar pasrah, “Sejak SD, saya biasa pergi sekolah pakai masker karena banyak asap.” Belasan tahun sudah berlalu tapi rupanya tak kunjung ada perbaikan. Tanda-tanda keseriusan pemerintah daerah mencegah pembakaran hutan belum juga tampak.
Kasus-kasus itu pastinya bukan hal baru bagi kita. Tapi mari bercermin mengenai reaksi kita setelah mengetahuinya. Apakah kita malah mengingkari perkataan “tanah airku tidak kulupakan” dengan berkata, “Itu bukan urusan saya”? Apakah setelah membaca berita tentang pencemaran lingkungan kita tetap saja tidak membuang sampah pada tempatnya?
Waktu kita bernyanyi, “Tanah airku tidak kulupakan,” mestinya nyanyian itu tercermin dalam laku kita sehari-hari. Waktu kita berikrar, “Bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia,” mestinya ikrar itu tercermin dalam aksi kita sehari-hari.
Betapa ironis bahwa kita bernyanyi dan berikrar di atas bumi Indonesia tetapi kita mengingkari semua itu dengan bersikap acuh tak acuh di atas bumi Indonesia juga. Ini tanah air kita, kawan! Bangun dan jatuhnya adalah tanggung jawab kita bersama!
Karena itu marilah kita berhenti untuk sekadar mendengar-lalu-melupakan. Ketika kita mendengar pembangunan terbengkalai, alam dirusak, pulau-pulau kita dijual atau terlantar, laut kita disusupi kapal-kapal asing, jangan lupa untuk bertindak! Putra-putri Indonesia harus selalu sigap mengamati persoalan yang mengemuka sesuai dengan kapasitas dan bidangnya masing-masing lalu merumuskan tindakan yang dapat dilakukan untuk kebaikan tanah air.
Kita butuh pemerintah yang tak lupa mengelola pembangunan nasional. Kita butuh pengusaha-pengusaha yang tak lupa melestarikan lingkungan. Kita butuh personil angkatan darat-laut-udara yang tak lupa mengusahakan keamanan nasional. Kita butuh ilmuwan-ilmuwan yang tak lupa mengembangkan teknologi bagi pembangunan negeri. Siapakah yang bisa diharapkan mengisi kebutuhan ini kalau bukan pertama-tama putra-putri Indonesia sendiri?
Mari kita lantunkan, “Tanah airku tidak kulupakan,” dan benar-benar tidak melupakan tanah air pusaka. Mari kita kumandangkan ikrar, “Bertumpah darah satu, tanah air Indonesia,” dan benar-benar menjaga, membela, memajukan tanah air tercinta.
.
Viona Wijaya adalah seorang karyawan swasta yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.
.
Catatan
1Elin Yunita Kristanti. “Diobral Murah: Pulau Gambar dan Gili Nanggu” dalam situs Viva News. <http://m.news.viva.co.id/news/read/349160-diobral-murah–pulau-gambar-dan-gili-nanggu >.