Oleh Efraim Sitinjak
“Sarat dengan rempah dan sejarah, salah satu mata rantai peradaban Nusantara berada di kepulauan Maluku. Kini Maluku seperti tertatih menanggung beban kejayaan masa lalu. Terasa sulit untuk membangun identitas baru atau sekadar mengulang kejayaan perdagangannya. Meski masih memiliki magnet berupa keindahan alam, Kepulauan Maluku sekarang ibarat Indonesia mini, tidak dikelola dengan baik.”1
Gambaran di atas, yang dicuplik dari harian Kompas terbitan Oktober 2013, menunjukkan betapa terpuruknya Maluku, kepulauan yang dahulu berjaya dalam perdagangan. Senasib dengan Maluku, Makassar juga sempat besar dan mashur oleh Kerajaan Gowa-Tallo2 dalam perdagangan internasional, tapi sekarang telah susut dari kejayaannya.
Maluku dan Makassar! Dua wilayah yang mewakili wajah Indonesia Timur itu bersinar di masa lalu tapi meredup di masa kini!
“Tidak dikelola dengan baik” adalah penyebab keredupan Indonesia Timur. Ambil contoh salah satu provinsinya, Maluku. Data dari Kementerian Percepatan Daerah Tertinggal menyatakan bahwa semua kabupaten/kota di Maluku, kecuali Kota Ambon, merupakan daerah tertinggal. Sementara itu, keputusan pemerintah Orde Baru untuk “memusatkan pengapalan barang ke wilayah timur Indonesia via Surabaya”3 meruntuhkan peran penting kota pelabuhan Makassar. Ini pun membuat perdagangan di Indonesia Timur rumit, mahal, sepi sehingga tidak mampu bersaing.
Maka Indonesia Timur hanya bisa “tertatih menanggung beban kejayaan masa lalu.”
Indonesia secara keseluruhan pasti merugi kalau Indonesia Timur, separuh kawasannya, tetap tertatih. Kerugian itu mencakup ketidakstabilan sosial-politik dan kecemburuan sosial kawasan. Gagal mengatasi ketertatihan Indonesia Timur sama artinya dengan mewariskan ketimpangan kesejahteraan bagi generasi masa depan. Maka tak dapat ditawar-tawar lagi, kita harus membaharui kejayaan Indonesia Timur.
Untuk itu kita bisa menimba ilham dari kejayaan lama Maluku dan Makassar. Kedua kawasan ini berjaya di masa lalu karena mampu mengenali dan mengelola potensi letak wilayah mereka yang strategis.
Maluku dan Makassar mampu membangun diri di zaman lampau menjadi pusat-pusat niaga dalam jaringan perdagangan maritim Asia dan dunia. Keduanya sama-sama membanggakan kota-kota pelabuhan yang ramai dikunjungi para saudagar segala negeri. Dan keduanya sama-sama memanfaatkan komoditas rempah-rempah yang dihasilkan pulau-pulau Maluku (Makassar mengumpulkan rempah-rempah dari Maluku) dan yang sangat diminati bangsa-bangsa. Ya, perairan mereka kuasai, perdagangan mereka galakkan, dan sejahteralah wilayah mereka.
Membaharui kejayaan Indonesia Timur di masa kini tak dapat terlepas dari membaharui identitas maritim kawasan ini. Peran penting Maluku dan Makassar sebagai titik-titik pusat perdagangan atau lalu lintas barang, baik untuk skala regional maupun internasional, harus dipulihkan. Salah satu caranya adalah dengan tidak lagi memusatkan pengapalan barang untuk kawasan Indonesia Timur di Jakarta atau Surabaya (yakni di Indonesia Barat).
Ini tentu harus diikuti dengan pembangunan infrastruktur yang mantap. Pelabuhan-pelabuhan harus didesain dan dibangun dengan kaliber internasional. Armada kapal laut harus diperlengkapi dengan peralatan canggih. Semua itu juga harus didukung dengan riset-riset kelautan yang intensif guna mengembangkan atau menemukan teknologi yang lebih baik di bidang perkapalan, navigasi dan manajemen niaga maritim.
Pendeknya, konsep pembangunan bahari adalah konsep pembangunan yang tepat bagi kawasan Indonesia Timur.
Keunikan geografis Indonesia Timur sejatinya merupakan modal sangat berharga untuk memajukan kawasan tersebut dan, karenanya, memajukan Indonesia secara keseluruhan. Dahulu nenek moyang kita berhasil menjayakan Indonesia Timur karena jeli melihat makna strategis letak dan sumber daya alam wilayah mereka. Sekarang kita dapat membaharui kejayaan Indonesia Timur dengan belajar dari kejelian lama ini.
Kejayaan Indonesia Timur sudah terbenam terlalu lama dengan akibat Indonesia secara keseluruhan tidak kunjung berjaya di dunia. Sudah saatnya kita, generasi Indonesia terkini, menolak keras keadaan anti jaya ini dan berjuang keras untuk menanggulanginya. Tahun demi tahun berlalu, dan kita tidak boleh membiarkan ketimpangan pembangunan terus melanda negeri kita. Sudah saatnya Indonesia Timur tidak tertatih lagi menanggung beban kejayaan masa lalu!
.
Efraim adalah seorang konsultan kebijakan publik yang tinggal di Bandung, Jawa Barat.
.
Catatan
1 Gianie. “Runtuhnya Supremasi Perdagangan Maluku” dalam Kompas terbitan 25.10.2013.
2 Kerajaan (atau kesultanan) ini berjaya antara abad ke-13 sampai abad ke-19.
3 Nasrullah dan M. Final Daeng. “Sulawesi: Maritim di Simpang Jalan” dalam Kompas terbitan 18.10.2013.