Oleh S.P. Tumanggor
Dengan kecerdasan manusia mengukir hari-harinya. Segala pencapaian peradabannya yang tertinggi dan terhalus bisa diraihnya lewat kecerdasan. Memang sudah ditentukan Sang Pencipta bahwa akal, yang melebihkan manusia dari makhluk hidup lain, adalah sarana untuk “menaklukkan” dunia—dengan moral sebagai penjaganya. Jadi kalau suatu bangsa, yakni kumpulan manusia, ingin berjaya di dunia, bangsa itu tak dapat tidak mengejar kecerdasan.
Menatap ke depan, bangsa Indonesia sangat memerlukan etos kecerdasan yang dibaharui. Kita tidak bisa tetap mengandalkan etos kecerdasan yang kita pertontonkan hari-hari ini: yang meluluskan segudang sarjana tiap-tiap tahun tapi karya-karya kesarjanaan tidak tampak mustajab dalam membangun dan memajukan bangsa di berbagai sektor. Temuan/terobosan ilmiah hebat seakan-akan tiada, atau, kalau pun ada, tidak termanfaatkan dengan baik atau berkelanjutan. Gairah baca-tulis rendah di kalangan terpelajar. Banyak potensi sumber daya alam dan manusia tidak terkelola—malah dikelola dan dinikmati bangsa asing.
Etos kecerdasan yang baru adalah yang kreatif-inovatif, sesuai dengan konteks, dan ditopang tekad baja untuk menggubah dan memelihara sistem/pranata yang memungkinan pengejawantahan segala temuan/terobosan ilmiah. Etos macam ini sebetulnya sudah lama ada di tengah bangsa Indonesia, hanya saja sekarang terkubur oleh pasir zaman. Kita bisa meniliknya dalam kiprah orang Indonesia mula-mula, yaitu para pembentuk bangsa ini.
Dengan kecerdasan kreatif-inovatif Suwardi Suryaningrat dan Mohammad Hatta masing-masing menggagas sistem pendidikan dan sistem perekonomian yang cocok bagi bangsa Indonesia. Suwardi mewujudkan gagasannya dalam perguruan Taman Siswa yang menggelar pendidikan bermuatan kebudayaan dan kebangsaan (Indonesia). Hatta mewujudkan gagasannya dalam lembaga koperasi yang mengusung perekonomian berasas kekeluargaan—bukan berasas sosialisme ataupun kapitalisme.
Dengan kecerdasan kreatif-inovatif pula Johannes Leimena dan Samuel Ratulangi masing-masing menggagas sistem layanan kesehatan bagi rakyat semesta dan kajian tentang peran Indonesia di kawasan Pasifik. Leimena menuangkan gagasannya dalam “Rencana Bandung” yang menjamurkan segala puskesmas di seantero Indonesia. Ratulangi menuangkan gagasannya dalam buku Indonesia in den Pacific yang “menunjukkan ketajaman analisis dan … kemampuan prediktif tingkat tinggi.”1
Tokoh-tokoh “lama” itu menunjukkan bahwa sekolah tinggi sesungguhnya bukan untuk menghasilkan karyawan atau operator, tapi pemikir, perintis, pelopor. Segala ide mereka kreatif-inovatif pada zamannya, orisinil, dan berfaedah raya bagi bangsa Indonesia lantaran digubah sesuai dengan konteks Indonesia dan diejawantahkan dalam kelembagaan ataupun buku. Berjuta rakyat Indonesia sangat tertolong oleh karya-karya akbar mereka.
Sayangnya, sebagai pewaris karya-karya akbar itu, bangsa Indonesia gagal mengerahkan tekad baja untuk memeliharanya. Pendidikan ala Taman Siswa, misalnya, disebut “tak pernah jadi indikator pendidikan nasional kita, kurikulum pendidikan Taman Siswa tak pernah dijadikan basis dalam sistem pedagogi kita.”2 Sementara itu dilaporkan bahwa koperasi “dalam benak masyarakat selalu berkaitan dengan hal negatif. … citra koperasi dari waktu ke waktu semakin runyam. Kalau tidak bangkrut, aktivitasnya dapat dikatakan hidup segan mati tak mau.”3
Buku Ratulangi pun dikeluhkan “mengalami nasib semua karya pengandung mitos—lebih sering menjadi buah-bibir daripada dibaca.”4 Hari ini buku itu sulit ditemukan di mana-mana, walau tahun 2011 lalu S.H. Sarundayang, Gubernur Sulut, digelari doktor oleh UGM lantaran disertasinya membuktikan kebenaran terawang Ratulangi.5 Mungkin puskesmas saja yang masih lebih baik nasibnya di antara semua karya akbar itu.
Kita tidak bisa sedungu ini terus kalau kita ingin bahtera Indonesia berlayar laju-lanjut mengarungi tahun-tahun kepada kejayaan. Kuncinya ada di tangan kaum terpelajar dan pemerintah, yang harus membentuk etos kecerdasan baru (yang sebetulnya sudah lama kita miliki) dengan menempa, mengorbitkan, dan mendudukkan di jabatan strategis orang-orang kreatif-inovatif yang mampu menggubah dan menjalankan sistem/pranata sesuai dengan konteks dan kebutuhan bangsa.
Modal sumber daya manusia kita selalu lebih dari cukup, tapi pemerintah tentu harus bertekad baja menjadikan sekolah-sekolah sebagai sarana pembentuk mereka jadi laskar penalar kreatif-inovatif, bukan sekadar laskar penghafal. Pemerintah juga harus memelihara segala karya baik yang sudah dan akan digagas anak-anak bangsa, misalnya dengan pengaturan lewat undang-undang yang dilaksanakan sungguh-sungguh.
Ayo, hai manusia Indonesia, kita ukir hari-hari baru dengan kecerdasan!
.
S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.
.
Catatan
1 Daniel Dhakidae. “Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi, Pijar-pijar Bintang Kejora dari Timur” dalam 1000 Tahun Nusantara/Penyunting: J.B. Kristanto. Jakarta: Kompas, 2000, hal. 657.
2 Anton DH Nugrahanto. “Bapak Pendidikan Kita: Daendels Atau Ki Hadjar Dewantoro?” dalam situs kluget.com. <http://www.kluget.com/opini/bapak-pendidikan-kita-daendels-atau-ki-hadjar-dewantoro.html >. Hadjar Dewantoro adalah nama lain dari Suwardi Suryaningrat.
3 Erik Purnama Putra. “Kembalikan Peran Koperasi dalam Sejahterakan Rakyat” dalam situs Republika Online. <http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/bisnis/13/06/19/monfs4-kembalikan-peran-koperasi-dalam-sejahterakan-rakyat >.
4 Daniel Dhakidae, hal. 657.
5 “Ramalan Sam Ratulangi Terbukti” dalam situs vivanews. <http://nasional.news.viva.co.id/news/read/205513-ramalan-sam-ratulangi-terbukti >.