Oleh Febroni Purba
“Siapa yang berkhotbah Minggu ini? Semoga bukan pendeta X. Khotbahnya datar, panjang, dan membosankan.”
Celetukan macam itu tak jarang terdengar di antara jemaat gereja—umumnya gereja arus utama. Khotbah mimbar gereja yang cenderung kaku, formal, dan tidak “hangat” memang cukup untuk memancing keluh-kesah jemaat (di luar jangkauan pendengaran pendeta, tentunya). Fenomena ini sudah diamati secara luas.
Dua orang teolog, de Jonge dan Aritonang, menulis, “Kecenderungan gereja resmi [arus utama, pen.] pada masa kini ke arah pelembagaan organisasi secara ketat dan baku, perumusan ajaran yang mengarah kepada dogmatisme, dan tidak memberi tempat kepada pemberitaan firman yang menyentuh hati (karena banyak menyentuh otak), membuat banyak warga gereja rindu kembali kepada suasana rohani semula, ibarat pisau rindu pulang ke gagangnya.”1
Mimbar gereja adalah sarana pendidikan umat Kristen. Jadi, sungguh sayang kalau mimbar gereja tidak/kurang menyampaikan “pemberitaan firman yang menyentuh hati.” Kitab Suci sebetulnya lebih dari mampu untuk menggugah dan membangunkan roh (semangat) manusia. Namun, pengkhotbahan Kitab Suci secara datar, kaku, dan tanpa gairah juga lebih dari mampu untuk menggiring jemaat kepada bosan, kantuk, kecewa, bahkan hengkang!
Dalam hal ini, kesalahannya tentulah bukan terletak pada Kitab Suci, melainkan pada pengkhotbah yang menjadikan mimbar gereja “beku.”
Terkadang jemaat datang beribadah dengan hati hampa, berharap mendapat penghiburan, penyegaran rohani, dan ceramah kehidupan yang penuh semangat. Sayangnya, mimbar beku tidak menyediakan semua itu. Khotbah-khotbah yang cenderung hanya “menyentuh otak,” dengan pembahasaan yang cenderung abstrak, mementahkan segala harapan mereka.
Terkadang jemaat datang beribadah dengan hati penuh gairah, berhasrat mengetahui dan mempelajari petunjuk-petunjuk Allah dalam Kitab Suci. Sayangnya, mimbar beku bisa membuat mereka malah jadi tidak paham semua itu. Penyebabnya apa lagi kalau bukan khotbah-khotbah yang dibahasakan secara datar, abstrak, dan kaku? Ya, hasrat, harapan, dan kebutuhan rohani jemaat tidak terladeni dan terpenuhi oleh mimbar beku.
Ketika kebutuhan rohani jemaat tak terpenuhi, maka olenglah langkah hidup jemaat. Ketika langkah hidup jemaat oleng, maka sukarlah jemaat menjalankan fungsinya sebagai “garam” dan “terang” di dunia. Di sini nyatalah peran penting mimbar bagi kiprah umat Kristen sebagai saluran berkat bagi masyarakat.
Bisa tampil di mimbar adalah suatu kehormatan dan kesempatan baik bagi para pengkhotbah. Kehormatan ini harus selalu dipandang mulia dan kesempatan ini harus selalu dimanfaatkan untuk menolong umat Allah menjalankan fungsinya di dunia. Karena itu para pengkhotbah harus terus memastikan bahwa setiap khotbah yang disampaikannya benar, bernas, alkitabiah, serta menyentuh otak dan hati.
Pengkhotbah yang tampil di mimbar haruslah cakap mengajar orang lain. Bagaimanapun salehnya dia, bila tidak cakap mengajar, maka khotbah-khotbahnya tidak akan berfaedah besar. Pengkhotbah yang sudah bertahun-tahun tampil di mimbar tetapi tidak juga cakap mengajar, malah membosankan jemaat, lebih baik beralih atau dialihkan ke bentuk pelayanan lain yang sesuai dengan kemampuannya. Dengan begitu, ia akan lebih berfaedah bagi pemantapan fungsi umat Allah di dunia.
Dunia tidak bisa diberkati lewat mimbar beku! Sudah waktunya setiap mimbar yang masih beku dicairkan oleh pemberitaan firman yang menyentuh hati (tanpa lalai menyentuh otak pula). Para pengkhotbah harus sadar dan berikhtiar untuk “menghangatkan” segala mimbar dengan terus mengingat perkataan de Jonge dan Aritonang, “…warga gereja rindu kembali kepada suasana rohani.”
.
Febroni adalah seorang jurnalis yang tinggal di DKI Jakarta.
.
Catatan
1 Dr. Chr. de Jonge dan Dr. Jan S. Aritonang. Apa & Bagaimana Gereja?: Pengantar Sejarah Eklesiologi. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1989, hal. 106.