Oleh S.P. Tumanggor
Istilah “abdi negara” lumrah dilekatkan pada para pegawai pemerintahan alias pegawai negeri sipil (PNS). Tak heran, sebab di bawah logo mentereng Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) kata-kata “abdi negara” terpampang jelas dan tegas.1 Istilah ini luhur, memaklumkan bahwa setiap PNS ada, bergiat, berkarya untuk kejayaan bangsa dan negerinya—hal-hal penting yang lebih besar dari dirinya. Saking luhurnya, beberapa orang tua Indonesia bahkan menamai anaknya “Abdi Negara”!2
Dalam ide dan cita-cita, keluhuran itu selamanya dijunjung di Indonesia. Namun, dalam realitas hidup berbangsa, seberhana masalah menjegal pengamalannya. Pangkal keterjegalan itu adalah ausnya makna “abdi negara” di jantung dan benak sejumlah besar PNS penyandangnya. Mereka lupa apa makna kata “abdi” dan apa pula maknanya ketika dirangkai dengan kata “negara.” Mereka lupa bahwa “abdi” berarti hamba alias budak.3
Budak, kita tahu, adalah orang yang dimiliki orang lain untuk melayani orang lain itu, yang lazim disebut “tuan” atau “majikan.” Budak harus selalu mengutamakan urusan dan kepentingan tuannya. Maka abdi negara adalah “budak negara”—orang yang harus melayani negara, yakni “tuan”nya, dan selalu mengutamakan urusan dan kepentingan negara. Pengertian ini serasi benar dengan ikrar Korpri: “Kami,anggota Korps Pegawai Republik Indonesia,… berjanji,” antara lain, “mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat di atas kepentingan pribadi dan golongan.”4
Tapi seluruh rakyat Indonesia sudah maklum bahwa ikrar itu pun terlalu sering cuma luhur dalam ide dan cita-cita belaka—tidak dalam pengamalan. Kasus-kasus “budak negara” yang korup melimpah di seantero tanah air, melumpuhkan kepercayaan khalayak, merapuhkan struktur teguh negara yang dulu dibangun dengan penuh pengorbanan oleh para pendahulu kita, dan mengampuhkan alias menggenangi negeri dengan ketidakmajuan di berbagai sektor. Ini petaka yang sangat, sangat buruk.
Budak korup pastinya budak jahat. Dalam segala sejarah dan budaya manusia, tuan selalu berhak menghukum budaknya yang jahat (selain mempahalai budaknya yang baik). Maka negara kita pun, selaku “tuan,” berhak dan harus menghukum, bahkan menyingkirkan, abdi-abdinya yang jahat, yang menyumbat arus kemajuan bangsa dengan mengingkari ikrar mereka sendiri untuk “menegakkan kejujuran, keadilan dan disiplin”5—hal-hal yang sering menjadi pokok keluhan rakyat.
Tapi di sini rakyat pun harus ingat, melampaui segala keluhannya, bahwa semua abdi negara selalu berasal dari rakyat. Mereka bisa menjadi “budak” yang jahat karena dua alasan utama. Pertama, mereka terpengaruh sistem/pergaulan buruk yang telah terbangun di lingkungan dinas. Kedua, mereka memang sudah bermental korup sebelum memasuki lingkungan dinas.
Alasan yang terakhir itu memperingati rakyat untuk mawas diri di depan fakta korupnya banyak abdi negara. Mengingat mereka ini berasal dari rakyat sendiri, rakyat harus sadar bahwa mental mereka pada umumnya mencerminkan mental rakyat pula. Artinya, jika banyak abdi negara yang bermental korup, maka banyak pula rakyat yang bermental korup—mereka ini hanya tidak berkesempatan menerapkan kekorupannya di jawatan kenegaraan saja!
Itu cerminan mengerikan yang harus mendesak kita, PNS dan rakyat, untuk mengakui dan menanggulangi kekorupan dalam hati. Jika selama ini kita bangga menjadi bangsa ber-“Ketuhanan Yang Maha Esa,”6 kita harus sungguh-sungguh “mengejar” Tuhan Yang Maha Esa untuk membereskan kekorupan di hati kita. Dengan beresnya kekorupan di hati, kita akan mampu membangun sistem/pergaulan yang baik di lingkungan dinas.
Selain itu, rakyat harus sadar bahwa pada hakikatnya seluruh warganegara adalah abdi negara. Ya, tiap-tiap kita, secara hakikat, adalah budak negara yang harus melayani dan mengutamakan kepentingan negara, bangsa, dan tanah air. Bung Karno membeberkan alasannya dengan penalaran sederhana: “Airnya kamu minum, nasinya kamu makan, karena itu kita semua harus mengabdi padanya, pada Ibu Pertiwi Indonesia.”7
Kita punya pilihan untuk menjadi budak jahat atau budak baik. Jika kita sungguh-sungguh ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, kita pasti memilih menjadi budak baik. Dan budak negara yang baik pasti ingin mewujudnyatakan apa yang dilafalkannya sendiri dalam nyanyian khidmat, “Padamu negeri kami berjanji/Padamu negeri kami berbakti/Padamu negeri kami mengabdi/Bagimu negeri jiwa raga kami.”8
.
S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.
.
Catatan
1 Meski keanggotaan Korpri mencakup PNS, pegawai BUMN, pegawai BUMD, dan perangkat pemerintahan desa, Korpri paling sering diidentikkan dengan PNS. Lihat “Korps Pegawai Republik Indonesia” dalam Wikipedia bahasa Indonesia. <http://id.wikipedia.org/wiki/Korps_Pegawai_Republik_Indonesia>.
2 Contoh paling populer mungkin Abdi Negara Nurdin, gitaris grup musik Slank.
3 Lema “abdi” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia/Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, edisi 3. Jakarta: Balai Pustaka, 2005, hal. 2. Banding dengan lema “’abdi” dalam St. Mohammad Zain. Kamus Moderen Bahasa Indonesia. Jakarta: Penerbit Grafica, tanpa tahun, hal. 8.
4 Butir ke-3 dari Panca Prasetya Korpri, yakni lima janji Korpri. Bisa dilihat, antara lain, di situs Pusdikajen Kodiklat TNI. <http://pusdikajen.mil.id/index.php?option=com_content&view=article&id=64&Itemid=88>.
5 Butir ke-5 dari Panca Prasetya Korpri.
6 Sesuai dengan sila pertama dasar negara kita, Pancasila. Panca Prasetya Korpri sendiri diawali dengan kata-kata ini: “Kami Anggota Korps Pegawai Republik Indonesia adalah insan yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.” Iman dan takwa ini pastilah harus berdampak kepada perombakan mental dan batin, bukan bersifat lahiriah saja.
7Perkataan Bung Karno dikutip dari Anthony C. Hutabarat. Wage Rudolf Soepratman. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2001, hal. 17.
8 Lagu “Padamu Negeri” karya Kusbini. Tekanan ditambahkan.
Pingback: Abdi Negara |