Oleh Lasma Panjaitan
“Suap janganlah kau terima sebab suap membuat buta mata orang-orang yang melihat dan memutarbalikkan perkara orang-orang yang benar.”1
Ketentuan diatas saya baca dalam Kitab Taurat yang diberikan kepada bani Israel ribuan tahun lalu. Sejak masa silam, hukum Allah telah menyatakan suap sebagai perbuatan haram. Di masa sekarang, hukum dan peraturan yang dibuat manusia pun tak dapat tidak mengamini hukum Allah tersebut. Di Indonesia, kita dapat melihatnya pada pasal-pasal perundang-undangan yang mengatur suap sebagai tindak pidana.2
Namun, meskipun rambu-rambu telah dibuat, kejahatan suap ternyata malah semakin merajalela dan meningkat menjadi kejahatan “favorit.”3 Perbuatan bobrok ini tidak sedikit pula dilakukan para penegak hukum, termasuk dari kalangan Kristen—yang memegang kitab suci berisi larangan suap! Ya, suap memang membutakan mata orang sehingga orang tidak mampu lagi mengenali apa yang diperintahkan dan yang dilarang kitab suci, apa yang benar dan yang salah. Segala hal bisa diputarbalikkan oleh suap.
Realitas suap sebagai pembuta mata sungguh nyata di Indonesia. Saya menjumpainya secara langsung dalam pengalaman-pengalaman kerja saya di sebuah lembaga bantuan hukum. Suap memang mampu membutakan mata aparat hukum dan juga mata masyarakat yang bersentuhan dengan bidang hukum.
Suatu kali saya datang ke pengadilan negeri untuk mengambil putusan sebuah kasus yang ditangani lembaga kami. Di sana panitera tidak segan-segan meminta sejumlah uang selain biaya salinan fotokopi putusan. Alhasil terjadilah adu argumen antara saya dan dia. Akhirnya saya dapat memperoleh salinan tersebut tanpa harus memberi upeti. Suap telah membutakan mata pekerja pengadilan.
Kali lain, seorang klien datang ke kantor lembaga kami dan mengadukan kasus pidana yang sedang dihadapinya. Dalam proses hukumnya,aparat keamanan meminta dia membayarkan sejumlah uang supaya kasusnya tidak usah lanjut berproses. Di satu sisi,ia tidak mampu menyediakan uang itu. Di sisi lain, ia beranggapan bahwa ia lebih baik membayar supaya proses hukumnya cepat selesai. Meski sudah saya beritahukan bahwa ia tidak perlu membayar apa-apa, meski sudah saya jelaskan cara menghadapi proses hukumnya,ia tetap saja merasa resah dan terus berpikir untuk membayar. Suap telah membutakan matanya.
Itulah realitas dunia hukum di Indonesia. (Dan kedua pengalaman di atas sama sekali bukan kisah langka.) Dibutakan suap, para penegak hukum dengan gampang memutarbalikkan proses hukum: dari suap “kecil”untuk urusan administrasi sampai suap “besar” untuk mengubah hasil perkara. Karena dibutakan suap pula sebagian masyarakat tak ambil pusing soal patut-tidak patut, asalkan urusan hukum bisa lancar. Masyarakat tidak lagi menghormati hukum dan kehilangan kepercayaan kepada para penegak hukum.
Jika kita ingin kebutaan itu disembuhkan, kita harus mulai dengan para penegak hukum terlebih dahulu. Proses seleksi polisi, jaksa, dan hakim haruslah ketat, demikian juga proses pemilihan petinggi dalam lembaga-lembaga penegak hukum. Keketatan ini bertujuan untuk mendapatkan orang-orang yang berkualitas, berintegritas, dan tegas. Ketika mereka menjadi petinggi, mereka akan dapat mengarahkan atau “memaksa”para bawahan untuk berkata “tidak” kepada suap.
Selain itu, masyarakat harus dibina supaya melek hukum dan menjunjung hukum: tidak membiasakan diri dengan suap sekaligus turut mengawasi aparat hukum. Pemerintah perlu menciptakan suasana yang mendukung masyarakat untuk sigap dan berani melaporkan praktik suap. Setelah menerima laporan masyarakat, pemerintah harus menindaklanjutinya hingga tuntas.
Pemerintah wajib menghukum seberat-beratnya aparat hukum yang makan suap. Mungkin baik juga jika hukumannya lebih berat daripada hukuman atas masyarakat biasa. Pemerintah perlu memecat langsung petinggi lembaga penegak hukum yang korup demi mencegah penyebaran kebiasaan makan suap kepada bawahannya. Pemerintah pun wajib melindungi para pelapor praktik suap, karena mereka ini mungkin menerima ancaman fisik bahkan nyawa.
Jelaslah bahwa peran semua komponen bangsa sangat dibutuhkan untuk menanggulangi suap dan pemutarbalikan perkara. Dengan bersatu padu kita akan dapat menyingkirkan, atau setidaknya meminimalkan, pembutaan dan kebutaan ini. Karena menginginkan masa depan tercerah bagi bangsa, saya yakin kita tidak suka mata kita dibutakan oleh apa pun, bukan?
.
Lasma adalah seorang pegiat Lembaga Bantuan Hukum yang tinggal di Bandung, Jawa Barat.
.
Catatan
1 Keluaran 23:8.
2 Di Indonesia, tindakan memberi atau menerima suap merupakan tindak pidana kejahatan. Lihat, misalnya, pasal 209, 210, 418, 419, dan 420 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal-pasal dalam ini kemudian diatur lebih lanjut dalam pasal 5 dan 6 Undang-Undang No 31 tahun 1999 jo. Undang-Undang no 20 tahun 2001 tentang Pemberantarasan Tindak Pidana Korupsi.
3 Menurutdata perkara yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga tahun 2013, suap merupakan jenis tindak pidana korupsi yang paling banyak terjadi (168 perkara), disusul oleh korupsi dalam pengadaan barang dan jasa (115 perkara) dan penyalahgunaan anggaran (38 perkara). Lihat “Penyuapan, Modus Korupsi Terbanyak” dalam situs KPK.<http://www.kpk.go.id/id/berita/berita-kpk-kegiatan/1800-penyuapan-modus-korupsi-terbanyak>.