Oleh S.P. Tumanggor
Tahu-tahu tahun keempat sudah terbuka bagi Komunitas Ubi (Kombi) dalam kiprah di ranah penulisan ide-ide kekristenan-kebangsaan. Kombi selamanya mensyukuri kehormatan untuk menyajikan teks-teks, yakni tulisan-tulisan, yang dapat mencerahi dan menyemangati umat dalam berkarya membangun bangsa dan Gereja. Kombi selalu berharap agar pembaca Indonesia bisa meraup banyak-banyak manfaat dari teks-teks sajiannya—dan dari segala teks lain.
Peraupan manfaat teks mau tidak mau sangat ditentukan oleh kemahiran baca teks. Sayangnya, dalam hal ini kita, pembaca Indonesia, sering bermasalah. Buktinya melimpah. Akhir tahun 2013, misalnya, harian Kompas menurunkan sebuah artikel dengan kesimpulan berikut: “Minat membaca siswa, termasuk siswa SMA, rendah sehingga penguasaan teks-teks yang panjang lemah.” Kesimpulan itu mengemuka dari acara diskusi guru-guru bahasa Indonesia (dari berbagai SMA di Jakarta) yang digelar di kantor Kompas.1
Penguasaan teks—kemahiran memahami (“membaca”) makna kata/kalimat yang tertulis dalam teks—memang jadi “kesaktian” yang melangka pada kaum terpelajar Indonesia masa kini. Bukan hanya pada siswa, tapi juga pada mahasiswa dan sarjana!Tanpa “kesaktian” itu diskusi bisa melantur, komunikasi bisa kacau, dan ide penting bisa tercampakkan. Penulis dan Kombi sama-sama punya pengalaman mengenainya.
Satu kali penulis menggubah tulisan pendek yang membahas isu intelektualitas dalam kekristenan. Bertolak dari ide dan pengamatan Mark Noll dalam bukunya, The Scandal of the Evangelical Mind, penulis menyoroti sikap puas diri banyak orang Kristen dengan kebenaran-kebenaran sederhana injil sehingga mereka “enggan memacu akal budinya untuk mengapresiasi Allah, Alkitab, dan dunia lebih lanjut lagi.”Seluruh tulisan, yang terdiri dari lima alinea saja, terfokus pada masalah etos intelektual orang Kristen.2
Ketika tulisan itu dimuat di jejaring sosial, muncullah komentar panjang-lebar dari seorang mahasiswa Kristen yang intinya (dalam perkataannya sendiri) sebagai berikut: “Isu yang paling penting dan skandal yang paling besar dalam sejarah Gereja dan kekristenan ditengah dunia terhilang bukanlah isu intelektualitas. Tapi isu moral. … Skandalnya bukan pada intelek, Saudara Tumanggor, tapi pada MORALITAS.”
Tercengang oleh komentar panjang-lebar yang tidak menyambung itu, penulis menyahut ringkas, “Masalah moral, masalah dalam kekristenan. Masalah intelektual juga masalah dalam kekristenan. Siapa pula yang banding-bandingkan isu mana atau skandal mana yang ‘paling besar’ dalam kekristenan?” Itu segera mengakhiri arus komentar panjang-lebar sekaligus menyingkapkan bahwa kali ini “skandal”nya adalah si mahasiswa tidak mahir baca teks (dan justru membuktikan masalah etos intelektual orang Kristen).
Jika kita mahir baca teks, dan jika kita hendak berdiskusi dengan orang lain seputar suatu teks tertentu, kita akan berbicara dalam batasan ide-ide yang memang dikemukakan teks itu. Jika kita mahir baca teks, kita tidak akan menyambung-nyambungkan ide teks itu dengan ide yang sama sekali tidak masuk lingkup bahasannya—kecuali memang amat perlu dan memang dapat kita jembatani secara mulus kepada teks. Jika tidak demikian, itu seperti mengomentari Mazmur 13 dengan Filipi 4:4.
Mazmur 13, kita tahu, mengemukakan ide bahwa orang beriman pun bisa mengalami masa sulit. Teks seperti “Berapa lama lagi, TUHAN, Kaulupakan aku terus-menerus? Berapa lama lagi Kausembunyikan wajah-Mu terhadap aku?” (13:2) mengungkapkan keadaan suram tatkala Allah sekalipun tampak tidak peduli. Tentu akan aneh jika kita mengomentari teks itu dengan berkata bahwa orang beriman tidak seharusnya merasa nelangsa karena Alkitab menyuruh, “Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!” (Fil. 4:4).
Itu tidak menyambung, karena ada konteks-konteks yang berbeda bagi kedua teks tersebut. “Kesaktian” mahir baca teks akan sangat menolong kita memahami konteks-konteks yang berbeda ini. Dan ketika konteks-konteks dipahami sebagaimana mestinya, ketika batasan ide dan lingkup bahasan dimengerti sebagaimana mestinya, pembaca akan dapat meraup manfaat yang sebagaimana mestinya dari teks. Itulah yang dirindukan oleh semua produsen teks (yakni tulisan), termasuk penulis dan Kombi.
Sekarang, mari kita beranjak menengok pengalaman Kombi.
.
S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.
.
Catatan
1 “Minat Membaca Siswa Rendah” dalam Kompas terbitan 19.12.2013.
2 Penulis memberi judul “Cukup Dengan Kebenaran Sederhana Injil?” untuk tulisan ini dan mengawalinya dengan kutipan dari buku Noll: “Skandal pemikiran injili adalah bahwa tidak ada pemikiran injili yang memadai. … Meskipun memiliki sukses dinamis di tingkat populer, kaum injili moderen AS secara khusus telah gagal menunjang hidup intelektual yang serius. Mereka telah memelihara jutaan orang percaya dalam kebenaran-kebenaran sederhana injil, tetapi sebagian besar telah membengkalaikan universitas, seni, dan ranah budaya ‘tinggi’ lainnya. Bahkan dalam sub-subgrupnya yang lebih progresif dan berkelas atas secara budaya, injilisme hanya punya otot intelektual yang kecil” (Mark A. Noll. The Scandal of the Evangelical Mind. Grand Rapids, Michigan: Wm. B. Eerdmans Publishing Co., 1994, hal. 3. Noll sendiri seorang Kristen injili).
Lanjut ke Mahir Baca Teks (2).