Oleh S.P. Tumanggor
Satu kali Kombi menurunkan serumpun tulisan di bawah tajuk besar “Menjotos Mitos.”1 Tujuannya adalah untuk mengajukan koreksi (“menjotos”), berdasarkan pembacaan teks Alkitab, terhadap beberapa hal keliru yang dianggap benar (“mitos”) di kalangan Kristen. Seorang peladang menggubah tulisan berjudul “Mitos Penginjilan Adalah Tujuan Hidup,” yang hendak meluruskan pemikiran bahwa tujuan hidup orang Kristen adalah memuliakan Allah, bukan menginjili.2 Menginjili harus dipandang sebagai bagian dari memuliakan Allah.
Ketika tulisan itu dipampang di blog Kombi, seorang sarjana, yang kebetulan mengenal sang peladang, melabrak secara “frontal” (menurut istilahnya sendiri) gagasan maupun pribadi sang peladang. Dia menulis di jejaring sosial, secara panjang-lebar juga, antara lain, “Bagiku secara pribadi, Yesus adalah satu-satunya jawaban, satu-satunya yang bisa membawa pribadi pada keselamatan. Sekarang pertanyaannya, bagaimana mungkin kita yang memiliki kesempatan untuk mendapatkan anugerah itu tidak menjadikannya [pewartaan keselamatan alias penginjilan, pen.] sebagai mandat utama dalam hidup? … Dikau sendiri [sang peladang, pen.], memangnya seberapa besar Firman itu telah mempengaruhimu? Apakah kau selama ini telah menghabiskan waktu siang malam untuk ‘mencari jiwa’?”3
Tentu boleh-boleh saja orang (Kristen) mengungkapkan kesetujuan atau ketidaksetujuannya tentang apa pun. Tapi, dalam rangka bahasan kita kali ini, penulis hendak menunjukkan bagaimana, lagi-lagi, kesalahpahaman serta komunikasi yang tidak menyambung bisa terjadi oleh ketidakmahiran baca teks—dalam kasus ini, baik teks sang peladang maupun teks Alkitab. Teks sang peladang rupanya tidak dicerna dengan cermat (konteksnya, lingkup bahasannya, maksudnya), sampai-sampai sarjana itu melontar usul untuk menggelar diskusi dengan topik (dalam perkataannya sendiri) “ketika memberitakan Kristus bukan yang utama dalam kehidupan kekristenan.”
Dalam Alkitab, sehubungan dengan tujuan hidup orang Kristen, ada teks yang berbunyi: “Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain [menginjili tentunya masuk di sini, pen.], lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah” (1 Kor. 10:31). Tapi tidak ada teks Alkitab yang menyatakan bahwa penginjilan adalah “mandat utama dalam hidup.” Itulah persisnya yang dikemukakan oleh sang peladang—“Menyiarkan berita keselamatan memang diamanatkan Allah kepada kita, tetapi itu bukanlah amanat Allah satu-satunya. Alkitab memuat segudang amanat lain bagi kita, dan semua bertujuan satu: Allah dimuliakan”4—dan itulah yang dilabrak oleh sarjana kenalannya.
Jika kita mahir baca teks, kita akan tahu cara mengesampingkan praanggapan dan sentimen demi menyimak apa yang sebenar-benarnya disampaikan oleh teks. Kita akan membaca teliti kata per kata dan kalimat per kalimat sambil memaknainya dalam konteks dan lingkup bahasan yang dipatok oleh teks. Tidak (mau) teliti memang erat kaitannya dengan kemahiran baca teks, seperti diungkap seorang guru dalam diskusi di kantor Kompas itu, “Murid sekarang tidak mau atau malas teliti saat membaca dan memahami teks.”5
Kebiasaan murid rupanya terbawa-bawa sampai jadi mahasiswa dan sarjana!
Jika Indonesia ingin maju, tak dapat tidak “kesaktian” mahir baca harus dimasyarakatkan dan pantang dibiarkan melangka pada generasi lepas generasi. Tak sukar kita bayangkan bagaimana “kesaktian” itu memungkinkan ide-ide baik dalam sejuta teks baik terkomunikasikan, terdiskusikan, dan terkembangkan dengan baik sehingga membawa kebaikan—kemajuan!—bagi bangsa. Maka keluarga, sekolah, lingkungan agama, dan pemerintah harus menjalankan perannya masing-masing dalam melatihkan “kesaktian” mahir baca—mahir memahami makna kata dan kalimat yang tertulis dalam teks—kepada siswa, mahasiswa, bahkan sarjana.
Memasuki tahun keempat kiprahnya, Kombi, dengan bersandar pada rahmat Allah, akan terus menyajikan teks-teks yang bermutu, baik dari segi ide maupun dari segi penulisan. Tapi supaya segala teks itu bermanfaat, tentulah kerja sama yang baik dari pihak pembaca sangat dibutuhkan. Dan salah satu wujud kerja sama yang baik itu adalah mahir baca teks. “Kesaktian” ini, percayalah, akan membuahkan faedah raya bagi produsen maupun konsumen teks. Dan bagi Kombi, semuanya adalah untuk Tuhan dan untuk bangsa.
.
S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.
.
Catatan
1 Rumpun tulisan ini diterbitkan di dunia maya pada bulan November 2013.
2 Bunga Siagian. “Mitos Penginjilan Adalah Tujuan Hidup” dalam blog Komunitas Ubi. <http://komunitasubi.wordpress.com/2013/11/17/mitos-penginjilan-adalah-tujuan-hidup/>.
3 Waktu itu sang peladang bekerja di firma hukum. Penulis pun bertanya-tanya, bagaimana pegiat hukum seperti dia harus “menghabiskan waktu siang malam untuk ‘mencari jiwa’”?
4Bunga Siagian. “Mitos Penginjilan Adalah Tujuan Hidup.”
5 “Minat Membaca Siswa Rendah” dalam Kompas terbitan 19.12.2013.