Wawancara S.P. Tumanggor dengan Abram Sinaga
Abram Sinaga saya kenal lewat beberapa pertemuan di lingkungan mahasiswa Kristen di Bandung. Pemuda kelahiran Pematangsiantar tahun 1989 ini menuntut ilmu di Institut Teknologi Bandung (ITB) sejak tahun 2007 dan lulus pada tahun 2012. Mengetahui keaktifan Abram di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) ITB, saya meminta kesediaannya diwawancarai agar kiprahnya dapat menjadi ilham bagi banyak mahasiswa Kristen. Wawancara berikut berlangsung di penghujung tahun 2012 dan, dalam bentuknya yang terpampang di bawah, sudah melalui proses penyuntingan demi kebakuan bahasa, kejelasan maksud, dan kesesuaian dengan batasan lahan di blog Komunitas Ubi.
Apa jabatan dan pekerjaan Anda di BEM ITB?
Pekerjaan saya di BEM ITB tahun 2011-2012 adalah menteri kajian strategis. Itu jabatan yang mengurusi kegiatan eksternal. Kami menyusun pemikiran-pemikiran di bidang strategis yang berkaitan langsung dengan mahasiswa ITB. Ada tiga bidang yang kami pilih, yaitu energi, pendidikan, industri. Di tiga bidang itu saya bertanggung jawab menyusun kajian dan mengoordinasi rapat ataupun pembahasan terkait isu-isu tersebut.
Mengapa Anda tertarik atau tergerak untuk masuk BEM?
Sekitar tahun 2011, saya sudah akan lulus. Saya merasa tidak ada kesempatan untuk mengaplikasikan ilmu-ilmu yang sering saya baca dari tingkat satu sampai empat. Nah, di bulan Februari, teman saya mengajak saya ikut kampanye pemilihan presiden BEM 2011. Saya ikut. Saya menyumbangkan pemikiran dan gagasan. Setelah menang, saya diberi dua pilihan: apakah saya tidak akan ambil bagian di BEM (karena Juli saya akan lulus) atau apakah saya akan ambil bagian. Akhirnya, di awal Mei, saya memutuskan untuk ambil bagian karena setelah saya melihat deskripsi kerja, tujuan, dan visi-misi, saya pikir saya sanggup memimpin kementrian tersebut.
Mengingat Anda aktif di pelayanan, adakah penggerak secara rohani atau wawasan secara rohani untuk terlibat di BEM?
Di pelayanan ada satu mentor yang menggerakkan saya. Dia memotivasi bahwa kalau kita ingin bergerak di pelayanan, jangan pisahkan yang sakral dan yang sekuler, tapi bergeraklah di tempat panggilan kita. Ada satu kutipan darinya yang saya sukai, “Jadilah guru bagi semua orang dan jadikanlahsemua orang guru bagi kita.”
Bagaimana Anda membagi waktu untuk kegiatan organisasi kampus, pelayanan, pergaulan, dan lain-lain?
Saya tidak pernah mengambil prioritas yang tinggi secara sekaligus. Maksudnya, kalau saya diberi beban berat di himpunan, atau di pelayanan, atau di BEM, saya tidak pernah mengambil semuanya secara bersamaan. Saya atur waktu, mana yang jadi prioritas. Ada tiga kegiatan yang utama: himpunan, pelayanan, dan kemahasiswaan. Darinya saya pilih satu prioritas saja.*
Adakah cara-cara praktis untuk membagi waktu itu atau semua dibiarkan mengalir saja?
Saya biasakan mencatat agenda. Jadi, misalnya, saya dihadapkan kepada kondisi mendadak di BEM, sementara saya sudah ambil tanggung jawab lain, saya akan berpikir dulu apakah jadwal yang lain itu bisa diundur. Kalau memang sangat penting, saya akan memilih salah satu, dengan konsekuensi yang lain tidak bisa saya penuhi.
Dari pengalaman Anda, bagaimana cara menjadi seorang Kristen yang baik di tengah saudara-saudara sebangsa yang kebanyakan non-Kristen?
Kuncinya ada tiga: karakter, keahlian, dan kemampuan adaptasi.
Karakter ramah dan jujur akan memudahkan kita untuk bergaul. Di BEM atau di pelayanan, kebanyakan orang sebenarnya butuh teladan dari apa yang dikatakan. Jadi kalau kita bicara bahwa kita nasionalis, buktikanlah bahwa kita nasionalis. Orang menunggu bukti.
Kedua, keahlian. Ketika kita punya keahlian, kita gali keahlian ini dan kita bagikan kepada orang lain untuk menjadi manfaat. Itu memudahkan kita bergaul dengan mereka.
Ketiga, kemampuan adaptasi. Perlu kerendahan hati untuk belajar. Kalau saya masuk BEM, saya harus melihat kulturnya seperti apa. Kalau misalnya kulturnya islami, kita harus belajar menerimanya. Di BEM saya terbiasa tidak bersentuhan tangan dengan lawan jenis, walaupun di himpunan saya bisa saja melakukannya. Saya harus beradaptasi dengan kultur.
* Setelah membaca ulang naskah wawancara ini, Abram merasa pembaca perlu maklum (sehingga saya tambahkan keterangan di sini) bahwa “satu prioritas” itu ia ambil tentu saja tanpa melalaikan segala kewajiban rutin selaku mahasiswa yang sedang menempuh studi.
.
S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.
.