“Koran Semboyan” Pesik

Oleh S.P. Tumanggor

“Indonesia Never Again the Life-Blood of Any Nation!”, “Don’t Want to Be Ruled by Any Other Nation!”, “Free or Die!”, “Once Free, Forever Free!”1

Semboyan-semboyan itu, dan banyak semboyan serupa, mewarnai hari-hari revolusi di tanah air pasca proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia (RI). Dituliskan dengan cat di tembok-tembok Jakarta, di trem, di kolong langit tahun 1945, semuanya mengungkap gelegak jiwa merdeka yang masih bisa kita tangkap hari ini (meski kita hanya bisa menyaksikannya lewat foto atau klip filem).

Namun, yang masih luput dari tangkapan dan kenangan kita adalah sosok di balik segala semboyan itu. Willy Pesik pastinya nama yang amat asing di telinga hampir semua orang Indonesia masa kini. Tapi pria berdarah Minahasa ini telah turut berjasa meyakinkan dunia akan kemerdekaan RI lewat semboyan-semboyan berapi karangannya.

Pesik, di tahun 1945, adalah salah seorang pemimpin KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi), laskar yang dibentuk di Jakarta guna menyatukan bakti warga Sulawesi dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI. Jiwa merdeka Pesik, yang menggagas dan menggelar aksi “koran semboyan,” mengilhamkan pelajaran tak ternilai bagi kita.2

Semboyan-semboyan berbahasa Inggris digubah Pesik bukan untuk gaya-gayaan ala orang Indonesia masa kini. Berpikir strategis, ia mengincar pembentukan opini internasional via mata tentara Sekutu (berbahasa Inggris) yang hadir di tanah air setelah penjajah Jepang terjungkal. Belanda, kita tahu, ingin kembali berkuasa di Indonesia dan berusaha memanfaatkan Sekutu untuk tujuan itu. Willy Pesik, sejarah tahu, tak ingin itu terjadi.

Maka dipilihnyalah pasukan khusus untuk membuat “koran diam” di tembok-tembok dan “koran berjalan” di trem Kota Jakarta. “Warta”nya adalah semboyan-semboyan karangannya. Betapa sibuknya pasukan khusus itu! Sebagian menulis rapi-rapi, sebagian mencampur cat, sebagian mengawal. Aksi mereka kemudian ditiru pasukan-pasukan lain hingga membangun kesan gerakan raya yang disengaja. Dampaknya amat luar biasa.

Wartawan asing memotret “koran-koran” itu dan foto-fotonya beredar di mancanegara. Tentara Sekutu membacanya dan, sebagai sesama pejuang kemerdekaan dan demokrasi (melawan fasisme Jerman, Italia, Jepang), mereka menangkap jiwa merdeka bangsa Indonesia lalu teryakinkan bahwa perjuangan kemerdekaan RI adalah patut dan sahih. Sikap mereka berubah. Niat Belanda untuk memanfaatkan mereka terpatahkan. “Koran semboyan” Pesik memainkan peran hebat di titik penting sejarah RI ini.

Kehebatannya sesungguhnya terletak pada ketajaman angan Pesik dalam memikirkan hal kecil berefek besar. Dengannya ia menunjukkan kepada kita bahwa jiwa merdeka adalah jiwa penuh prakarsa/inisiatif, kreatif, jenius. Tiada kungkungan dapat menahan geliat prakarsanya, gerak kreatifnya, gebrakan jeniusnya—semua hal yang kita butuhkan di Indonesia hari ini!

Hari ini, menjelang tujuh dasawarsa kemerdekaan RI, ancaman gadang yang kita hadapi bukanlah kembalinya Belanda, melainkan kembalinya jiwa terjajah—antitesis dari jiwa merdeka. Ya, mudah kita lihat bagaimana jiwa terjajah, “mental inlander,” menguasai ulang banyak orang Indonesia sehingga kita tetap saja menjadi bangsa berpredikat “dunia ketiga” dan “berkembang.” Padahal segala sumber daya (alam dan manusia) yang kita miliki sebetulnya lebih dari cukup untuk menjadikan kita bangsa “dunia kesatu” dan “maju.”

Jiwa terjajah terpasung perasaan tak punya masa depan sehingga malas berpikir jangka panjang dan lebih suka mengejar apa yang “bekerja” sesaat/sementara. Bukankah ini yang menyebabkan pembangunan kota-kota kita tetap tak terpadu, sistem pendidikan kita tetap tak membangkitkan generasi penalar—hanya penghafal, budaya suku-suku kita tetap meluruh, perjanjian pengelolaan kekayaan alam kita tetap lebih menguntungkan perusahaan asing, dll.? Jiwa terjajah memang tak tau apa-apa tentang gebrakan jenius dari gerak kreatif hasil geliat prakarsa!

Di hari peringatan kemerdekaan RI yang ke-69 ini, biarlah kita memungut api dari kawah jiwa merdeka para pendiri bangsa kita—Willy Pesik salah satunya—untuk menggejolakkan jiwa merdeka kita sendiri. Biarlah kita, di ladang hidup masing-masing, meneladani Pesik dengan mengerahkan prakarsa, kekreatifan, kejeniusan untuk menggagas hal-hal kecil berefek besar bagi kejayaan bangsa. Biarlah setiap kita menjadi seperti “koran semboyan” Pesik yang memampang warta dengan huruf pulasan cat besar-besar: “Sekali Merdeka, Tetap Merdeka!”

. 

S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.

.

Catatan

1 Terjemahan bebas: “Indonesia Tak Akan Pernah Lagi Menjadi Darah Kehidupan Bangsa Lain!”, “Tak Sudi Diperintah oleh Bangsa Manapun!”, “Merdeka atau Mati!”, “Sekali Merdeka, Tetap Merdeka!”

2 Demikian ditulis H.N. Sumual: “Willy sangat fasih berbahasa Inggris. Jasanya yang berhubungan dengan bahasa Inggrisnya itu besar. Pertama, Willy yang menggagas aksi ‘koran berjalan.’ Dia susun semboyan-semboyan kemerdekaan, pro-demokrasi, pro-keadilan. ‘Don’t Want to Be Ruled by Any Other Nation!’, ‘Indonesia Never Again the Life-Blood of Any Nation!’, ‘Once Free, Forever Free!”, “Free or Die!”, dan sangat banyak lagi yel-yel lainnya. Semuanya bersifat penegasan bahwa bangsa Indonesia berjuang dengan penuh kesadaran, bahwa kemerdekaan adalah kebutuhan mutlak kami sebagai suatu bangsa, …” Memoar Ventje H.N. Sumual/penyunting: Eddy A.F. Lapian dkk. Jakarta: Bina Insani, 2011, hal. 35. Seluruh riwayat Willy Pesik yang dituturkan dalam tulisan ini bersumber pada memoar Sumual.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *