Aksara Bugis-Makassar

Oleh S.P. Tumanggor

Urupu sulapa eppa atau hurupu sulapak appak—“huruf segi empat”—demikianlah orang Bugis dan orang Makassar menjuluki aksara yang biasa mereka gunakan di masa silam.1 Lazim dipandang sebagai turunan aksara Pallawa dari keluarga aksara Brahmik (asal India), aksara Bugis-Makassar dulu sering dituliskan pada daun lontar hingga dinamai pula “aksara lontara.” Walau masih berkerabat dengan kebanyakan aksara Nusantara (misalnya aksara Batak, Rejang, dan Jawa), aksara Bugis-Makassar punya bentuk yang unik hasil modifikasi jenius.2

Bentuk uniknya adalah bentuk berbasis segi empat itu. Ini disebut hasil modifikasi jenius karena sangat membedakan tampilan aksara Bugis-Makassar dari aksara Pallawa—meski kesamaan urutan dan lafal di antara keduanya masih nyata. Ada silang pendapat tentang sejarah dan asal-usul aksara Bugis-Makassar, tapi rasanya aman untuk kita katakan bahwa kalaupun berpangkal pada aksara India, aksara ini sudah sangat didaratkan pada kebugisan dan kemakassaran.

Segi empat, dalam konsep Bugis-Makassar kuna, menggambarkan makrokosmos alam semesta dan mikrokosmos manusia. Leluhur orang Bugis-Makassar memandang alam semesta tersusun oleh empat unsur: butta (tanah), pepek (api), jeknek (air), dan anging (angin). Dan manusia, lakon utama di alam semesta, mewujudkan segi empat pula, dengan kepala, ujung tangan kanan, ujung tangan kiri, dan ujung kaki sebagai sudut-sudutnya.3 (Kita perlu membayangkan manusia yang berdiri sambil merentangkan tangan dan merapatkan kaki.)

Dengan dijiwai konsep macam itu, tak heran aksara Bugis-Makassar dipakai untuk menuliskan segala macam hal yang berkaitan dengan alam semesta dan/atau hidup manusia. Sebutlah La Galigo, epos penciptaan asal Bugis yang ditabalkan sebagai puisi epik terpanjang di dunia. Begitu panjangnya, sampai-sampai seorang praktisi literatur asal Sulawesi Selatan pernah berkomentar, “Jika kelak dunia, bahkan alam semesta seisinya, tiba-tiba melenyap dalam ketiadaan, ia mungkin diciptakan lagi dari puisi akbar itu.”4

Selain untuk menulis puisi epik, aksara Bugis-Makassar digunakan pula untuk mencatat berbagai kronik sejarah, jurnal, silsilah, pepatah, hukum. Contoh beken untuk yang belakangan ini adalah Ade Allopiloping Bicaranna Pabbalu’e, kitab hukum pelayaran dan perdagangan laut yang disusun pada tahun 1676 di bawah pimpinan La Patello Amanna Gappa, pemimpin asal Wajo yang menjadi kepala perniagaan di Makassar.5

Dan makin seru lagi, di abad ke-17 aksara Bugis-Makassar juga dipakai untuk menuliskan terjemahan risalah-risalah teknik Eropa, misalnya risalah tentang bubuk mesiu dan pembuatan bedil. Lantaran kinerja ilmiah yang menakjubkan ini orang Makassar menjadi satu-satunya bangsa Nusantara yang di masa lampau pernah menerjemahkan risalah-risalah teknik Eropa ke dalam bahasanya sendiri.6 Konsep segi empat, yang mencakup segala-galanya, meresapi aksara mereka dan menyemangati kinerja mereka!

Bagi kita, bangsa Indonesia masa kini, aksara Bugis-Makassar memberi pelajaran penting tentang sikap terbuka dan kreatif-inovatif dalam menyambut sesuatu yang berfaedah dari luar negeri lalu mendaratkannya pada konteks hidup kita—sehingga faedahnya benar-benar nyata bagi kita. Ini menggesek keras sikap kita di masa kini yang cenderung menelan mentah-mentah produk budaya luar negeri tanpa memodifikasinya dengan sentuhan khas kita.

Selain itu, dengan filosofi segi empatnya, aksara Bugis-Makassar mengajari kita bahwa melek aksara haruslah menggerakkan kita untuk merambah/menuliskan segala macam hal di dunia yang baik dan berguna bagi bangsa, bahkan bagi umat manusia. Aksara, seperti dibuktikan Kesultanan Makassar di masa lalu, dapat menunjang kemajuan negara.

Dan produk budaya sehebat aksara Bugis-Makassar tentu patut dilestarikan. Itu sudah dan bisa dilakukan dengan cara membubuhkannya pada pelang nama jalan atau dinas pemerintahan di kota-kota di wilayah tinggal suku Bugis dan Makassar, mengajarkannya di sekolah dasar dan menengah di wilayah yang sama, memperlombakan kaligrafinya, mendigitalkannya, dll. Namun, dari waktu ke waktu, harus terus ada pemikiran—beserta penerapan pemikiran—yang serius dan terkonsentrasi untuk membuat warisan seberharga itu relevan bagi generasi lepas generasi.

Ya, kita semua ingin melihat “huruf segi empat” tetap meleret di dunia bersama aksara-aksara lain dan mengilhami kita untuk merambah semua yang bisa dibahas dari alam semesta—tanah, api, air, angin—dan dari perikehidupan manusia.

. 

S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.

.

Catatan

1 Tak sulit dilihat bahwa urupu (Bugis) dan hurupu (Makassar) berasal dari kata “huruf” dan eppa atau appak serumpun dengan kata “empat.” Sulapa atau sulapak sendiri berarti “segi, sisi.”

2 Lihat “Lontara Alphabet” dalam situs Wikipedia. <http://en.wikipedia.org/wiki/Lontara_alphabet>.

3 Lihat “Lontaraq dan Aksara Lontara (Aksara Bugis)” dalam situs Wacana Nusantara. <http://www.wacananusantara.org/lontaraq-dan-aksara-lontara-aksara-bugis-2/>. Lihat juga Adi Lagaruda. “Sejarah Huruf Lontara” dalam blog Tau Battu ri Bone Lassuka ri Gowa. <http://adhiehr.blogspot.com/2010/08/sejarah-huruf-lontara.html>.

4 Nirwan Ahmad Arsuka. “La Galigo, Odisei, Trah Buendia” dalam 1000 Tahun Nusantara/suntingan J.B. Kristanto. Jakarta: Kompas, 2000, hal. 416.

5 Zulkarnain Azis. “Amanna Gappa: Peletak Dasar Tradisi Maritim” dalam blog Cahaya, Cinta dan Kehidupan. <http://id.zulkarnainazis.com/2013/09/amanna-gappa-peletak-dasar-tradisi.html>.

6 Anthony Reid. Sejarah Modern Awal Asia Tenggara: Sebuah Pemetaan. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2004, hal. 197.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *