Oleh Samsu Sempena
Hana caraka (Terdapat utusan);
Data sawala (Berbeda pendapat);
Padha jayanya (Sama kuat/hebatnya);
Maga bathanga (Inilah mayatnya).
Setiap suku kata dalam keempat baris puisi di atas sebenarnya adalah 20 abjad pertama dari aksara Jawa. Menurut legenda, Aji Saka, raja yang membawa peradaban ke Tanah Jawa, menggubah puisi itu untuk mengenang dua orang abdi/utusannya. Abdi pertama diperintahkannya untuk menjaga sebilah keris yang tidak boleh diserahkan kepada siapa pun kecuali dirinya. Abdi kedua diperintahkannya untuk mengambil keris tersebut. Kesalahpahaman terjadi di antara kedua abdi sehingga mereka berkelahi. Dan karena sama kuat, keduanya mati demi kesetiaan kepada perintah Aji Saka.1
Meskipun legenda itu sukar dibuktikan secara sejarah, kita dapat menilai bahwa leluhur orang Jawa yang menggubah puisi berdasarkan aksara itu pastinya sangat kreatif.2 Ini menjadi pecut bagi kita, orang Indonesia masa kini, untuk selalu mengedepankan kekreatifan dalam berkarya.
Aksara Jawa dikenal juga dengan sebutan “Hanacaraka,” berdasarkan lima abjad pertamanya. Cikal bakal Hanacaraka adalah aksara Brahmik dari India yang merupakan induk semua aksara di Asia Selatan dan Asia Tenggara.3 Aksara Brahmik diturunkan menjadi aksara Pallawa (masih di India), yang kemudian diturunkan lagi menjadi aksara Kawi (di Jawa). Aksara Kawi atau Jawa Kuna ini kemudian diturunkan kembali atau dimodifikasi menjadi aksara Jawa.
Aksara Jawa secara umum digunakan di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan sebagian Jawa Barat (Indramayu dan Cirebon). Aksara ini terutama digunakan di lingkungan keraton untuk menuliskan naskah-naskah cerita (serat), sejarah (babad), tembang (kakawin), dan ramalan (primbon).
Patut disayangkan bahwa hari ini aksara Jawa makin kurang digunakan. Itu terjadi karena orang Jawa masa kini, bersama semua orang Indonesia lainnya, lebih banyak menggunakan aksara Latin, yang pertama kali diperkenalkan Belanda di abad ke-19. Bahkan bahasa Jawa pun lebih banyak dituliskan dalam aksara Latin! Namun, kita tentunya tidak boleh membiarkan warisan seberharga aksara Jawa punah dari khazanah budaya Indonesia, bukan?
Di masa lalu sudah ada usaha-usaha untuk melestarikan aksara Jawa. Pada tahun 1926, sebuah lokakarya di Sriwedari, Surakarta, menghasilkan Wewaton Sriwedari yang mendasari awal ortografi4 aksara Jawa. Panduan-panduan diterbitkan, salah satunya Patokan Panoelise Temboeng Djawa oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1946. Selanjutnya, Kongres Bahasa Jawa tahun 2009 berhasil memasukkan aksara Jawa ke dalam Unicode dengan kode A980 sampai A9DF.5
Pada masa sekarang pun usaha-usaha pelestarian aksara Jawa masih dilancarkan—syukurlah! Beberapa pemerintah daerah (seperti Solo dan Yogyakarta) mengimbuhkan nama beraksara Jawa pada pelang nama jalan. Beberapa pengembang piranti lunak membuat aplikasi untuk belajar aksara Jawa secara digital.6 Pelajaran aksara Jawa juga masih diberikan di sekolah-sekolah dasar di wilayah tinggal suku Jawa. Tentu saja usaha-usaha kreatif lainnya tetap diperlukan untuk memasyarakatkan aksara Jawa dalam konteks kekinian—usaha-usaha yang kira-kira sebanding dengan usaha kreatif orang Jawa terdahulu dalam menggubah puisi berdasarkan aksara!
Tapi bukan hanya kreatif menggubah puisi berdasarkan aksara, orang Jawa terdahulu kreatif dan arif pula memfilosofikan puisi itu. Huruf-huruf aksara Jawa mereka muati dengan filsafat hidup yang dalam. Ha-na-ca-ra-ka berarti bahwa Tuhan memberi kepercayaan kepada manusia untuk menjadi utusan-Nya. Da-ta-sa-wa-la berarti bahwa sampai saatnya “dipanggil” (data) manusia tidak boleh mengelak (sawala) dari menjalankan kehendak Tuhan. Pa-dha-ja-ya-nya berarti bahwa manusia harus berusaha untuk “sama” (padha) dengan Tuhan dalam hal perbuatan luhur (jaya). Ma-ga-ba-tha-nga berarti bahwa manusia harus tunduk kepada apa yang digariskan oleh Tuhan.7
Demikianlah aksara Jawa dapat kita pandang memberi pelajaran luhur tentang kreatifitas dalam mengolah produk dan tentang kesadaran diri sebagai utusan Tuhan yang harus berbuat baik di bumi—seturut kehendak-Nya. Semua itu pastinya penting untuk kita camkan dan terapkan di bumi Indonesia hari ini.
.
Samsu Sempena adalah seorang praktisi teknologi yang bermukim di DKI Jakarta.
Catatan
1 Lihat “Aji Saka” dalam situs Wikipedia bahasa Indonesia. <http://id.wikipedia.org/wiki/Aji_Saka>.
2 Kalimat-kalimat puisi itu tergolong “pangram,” yakni kalimat yang menggunakan semua huruf dalam suatu aksara. Lihat “Pangram” dalam situs Wikipedia bahasa Indonesia. <http://id.wikipedia.org/wiki/Pangram>.
3 Lihat “Aksara Brahmi” dalam situs Wikipedia bahasa Indonesia. <http://id.wikipedia.org/wiki/Aksara_Brahmi>.
4 Ortografi merupakan sistem ejaan suatu bahasa atau gambaran bunyi bahasa berupa tulisan atau lambang, biasanya meliputi ejaan, pemberian huruf besar, pemenggalan kata, serta pembubuhan tanda baca.
5 Unicode, sebagaimana diterangkan dalam Wikipedia bahasa Indonesia, “adalah suatu standar industri yang dirancang untuk mengizinkan teks dan simbol dari semua sistem tulisan di dunia untuk ditampilkan dan dimanipulasi secara konsisten oleh komputer.” Selain aksara Jawa, beberapa aksara Nusantara lain, yakni aksara-aksara Bugis-Makassar, Bali, Sunda Kaganga, Rejang, dan Batak, sudah masuk pula dalam Unicode. Lihat “Unicode” dalam situs Wikipedia bahasa Indonesia. <http://id.wikipedia.org/wiki/Unicode>. Ketika suatu aksara masuk dalam Unicode, aksara itu akan lebih mudah dilestarikan dan dikembangkan.
6 Salah satu contohnya adalah Estu Pitarto, guru asal Semarang yang mengembangkan sebuah gim untuk membantu orang mempelajari aksara Jawa secara lebih menyenangkan. Lihat “Asyiknya Belajar Aksara Jawa dengan Game” dalam situs Kompas. <http://tekno.kompas.com/read/2012/03/18/07283258/asyiknya.belajar.aksara.jawa.dengan.game>.
7 Filosofi ini konon digubah oleh Pakubuwono IX, raja Surakarta yang memerintah tahun 1861-1893. Lihat “Aji Saka” dalam blog Kyai Mbeling. <http://kyaimbeling.wordpress.com/aji-saka/>.