Salam sejahtera di bulan sepuluh 2014, Sidang Pembaca!
Bulan ini kita memperingati 86 tahun Sumpah Pemuda. Pada tahun 1928 kaum muda Nusantara dari beragam suku mengikrarkan apa yang biasa diringkas menjadi “satu nusa, satu bangsa, satu bahasa”—Indonesia. Bukan untuk meniadakan keragaman, kesatuan Indonesia yang terbentuk itu justru diniatkan untuk memayungi keragaman. Jadi, di balik ikrar bersatu sebetulnya terdapat apresiasi besar terhadap setiap suku Nusantara: terhadap wilayahnya, budayanya, bahasanya.
Bertumpu pada gagasan tersebut, Komunitas Ubi (Kombi) kali ini menyuguhkan empat tulisan yang mengapresiasi wilayah, budaya, dan bahasa dari beberapa suku Nusantara. Uniknya, kelima peladang yang menuliskannya tidak berasal dari suku yang disoroti dalam tulisannya. Ini diniatkan Kombi untuk mempertajam apresiasi lintas suku guna mempererat persatuan bangsa. Ini pun dimaksudkan Kombi untuk meneladankan apresiasi itu dalam tindak nyata.
Terpesona oleh kepermaian Tanah Papua, Viona Wijaya mengelu-elukan keistimewaan wilayah yang dikaruniakan Tuhan kepada orang Papua. Di tanah impian ini mereka selayaknya bisa hidup sejahtera, bebas, dan tangguh. Dan digerakkan oleh ikrar kesatuan Indonesia, seluruh rakyat Papua dan bangsa Indonesia haruslah bekerja keras untuk memastikan itu tidak menjadi sekadar impian cantik belaka.
Terhanyut oleh keelokan melodi sape’, Rizky Batubara menyanjung alat musik orang Dayak ini sebagai penebar rasa tenteram, nyaman, damai. Darinya terdulang hikmah analogis tentang pentingnya kaum muda hidup dan berkarya sebagai penebar rasa serupa demi persatuan bangsa. Dan bersama alat musik daerah lain, sape’ patut dilestarikan agar nada-nada sentosanya tetap mengalun turun-temurun.
Terkesan oleh keteguhan etos Batak, Paul Sagajinpoula mengagumi semangat banting tulang orang tua Batak demi anak-anaknya. Etos ini memberi pelajaran penting bahwa masa depan generasi penerus ada dalam kerja keras dan pengorbanan orang tua. Demi kemajuan dan kesatuan bangsa, etos banting-tulang-demi-generasi-penerus tak dapat tidak harus dimasyarakatkan di Indonesia.
Terkesima oleh kekayaan bahasa Sunda, S.P. Tumanggor memuji daya cipta dan olah rasa yang hebat di balik sarana komunikasi warga Pasundan ini. Jika kehebatan ini dikuasai pula oleh orang Sunda dan Indonesia masa kini, dampaknya bakal besar bagi perkembangan dan persatuan bangsa. Dan bersama bahasa-bahasa daerah lain, bahasa Sunda mesti dipelihara sebagai warisan berharga bagi angkatan lepas angkatan.
Pastinya masih banyak hal lain yang pantas diapresiasi dari setiap suku Nusantara. Semua yang termaktub di atas barulah segelintir contoh. Dan apresiasi lintas suku senantiasa vital bagi kesatuan dan persatuan bangsa. Jadi, hari ini atau di tanggal 28 Oktober nanti, baiklah pembaca memilih satu atau beberapa suku di luar sukunya dan mengapresiasi hal-hal luar biasa yang dimiliki suku(-suku) itu. Tindakan ini tak dapat tidak akan mengejawantahkan sekaligus mengokohkan ikrar pemersatu yang dulu dikumandangkan oleh jiwa-jiwa agung pendahulu kita.
Selamat berapresiasi dan ber-Ubi.
Penjenang Kombi