“Anak Cucumu Tetap Juga Melarat, Bukan?”

Oleh Febroni Purba

Dalam cerpen terkenal karya A.A. Navis, “Robohnya Surau Kami,” kita mendapati kisah Saleh dan rekan-rekannya yang menggugat keputusan Tuhan memasukkan mereka ke neraka. Mereka berani—atau nekat—menggugat Tuhan karena merasa bahwa mereka sepantasnya dimasukkan ke surga, mengingat mereka taat beribadah sewaktu hidup di dunia. Namun, gugatan mereka rontok di hadapan pengusutan Tuhan yang maha mengetahui isi hati setiap manusia.

Dalam pengusutan itu Tuhan mengungkapkan ironi tentang Indonesia, negeri tempat tinggal Saleh, yang  subur dan kaya raya tapi penduduknya melarat. Saleh mengungkapkan bahwa ia dan rekan-rekannya tak memusingkan soal harta benda, yakni kesejahteraan negeri, karena hanya ingin memuji dan menyembah Tuhan saja. Mereka rela melarat sebab, menurut mereka, yang penting adalah beribadah kepada Tuhan semata.

“Karena kerelaanmu itu,” kata Tuhan, “anak cucumu tetap juga melarat, bukan?” Selain mengusut dampak “beribadah semata” terhadap negeri, Tuhan juga mengusut dampaknya terhadap generasi penerus. Saleh mengiyakan pertanyaan Tuhan itu sambil menyatakan bahwa, walaupun melarat, yang penting anak cucu mereka rajin melakukan kegiatan keagamaan, seperti menghafal isi kitab suci. Namun, Tuhan bertanya lebih lanjut, “Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak dimasukkan ke hatinya, bukan?”

“Ada, Tuhanku,” jawab Saleh. “Kalau ada,” pungkas Tuhan, “kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua.”1 Sungguh mengherankan bahwa Saleh rela melarat bersama anak cucunya sekalian demi taat beribadah! Karena lebih suka beribadah, ia jadi kurang suka bekerja sehingga miskin dan papa. Bagi Tuhan, jika ibadah Saleh meresap ke hati, Saleh tidak akan membiarkan dirinya melarat dan anak cucunya teraniaya akibat malas bekerja.

Walau ditulis dengan napas islami, “Robohnya Surau Kami” sangat bisa “berbicara” kepada umat beragama lain pula, tak terkecuali umat Kristen. Banyak orang Kristen juga rajin beribadah tetapi abai akan kesejahteraan negeri dan anak cucu. Ibadah memang harus kita jalankan, tapi bukan berarti isi hidup kita adalah melulu menyembah Tuhan. Kita juga harus giat bekerja untuk memastikan negeri jaya dan anak cucu tidak melarat.

Tuhan memang tidak suka dengan kesalehan yang hanya membesar-besarkan ritual. Ide yang melandasi kata-kata “apa yang disebutnya tidak dimasukkan ke hatinya, bukan?” serasi dengan sabda Tuhan dalam Alkitab: “Bangsa ini datang mendekat dengan mulutnya dan memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya menjauh daripada-Ku, dan ibadahnya kepada-Ku hanyalah perintah manusia yang dihafalkan” (Yes. 29:13).

Tuhan ingin ibadah yang tidak bersifat lahiriah belaka tetapi juga yang bersifat batiniah. Ibadah lahiriah mestilah berbanding lurus dengan ibadah batiniah. Orang yang rajin melakukan ritual agama tetapi mengabaikan kesejahteraan negeri dan anak cucu pada hakikatnya hanya “mendekat dengan mulutnya dan memuliakan [Tuhan] dengan bibirnya.” Tuhan ingin agar kesalehan mewujud dalam karya dan kerja nyata.

Betapa orang Kristen pun sering terjebak dalam kesalehan lahiriah—dan individualis—seperti Saleh dalam cerpen Navis! Kesalehan individualis melalaikan kesejahteraan orang lain, sesama penduduk negeri dan anak cucu, lantaran asyik beribadah saja kepada Tuhan. Sesungguhnya, besarlah persoalan negeri dan anak cucu di luar tembok gereja dan rumah persekutuan: kemiskinan, kebodohan, kurang gizi, ketertinggalan, dsb. Dan ibadah yang bukan sekadar “perintah manusia yang dihafalkan” akan mendorong kita menanggulanginya sesuai dengan kapasitas kita masing-masing.

Ya, kita harus waspada agar kesalehan kita tidak tergolong kesalehan yang lahiriah belaka atau yang individualis. Kita harus berjaga-jaga agar ibadah kita tidak dinilai Tuhan sebagai sesuatu yang hanya di bibir saja, tidak di hati. Kita harus bekerja keras untuk menyejahterakan negeri dan generasi penerus, sehingga di hadapan Tuhan kelak tidak usah terlontar pertanyaan-Nya, “Anak cucumu tetap juga melarat, bukan?”

.

Febroni adalah seorang jurnalis yang tinggal di DKI Jakarta.

.

Catatan

1 A.A. Navis. Robohnya Surau Kami. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010, hal. 10-11.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *