Kepada Rakyat, Pejabat, Bahkan Rohaniwan

Oleh S.P. Tumanggor

Nabi-nabi di masa silam adalah para pemberani berhati singa. Tanpa ambil pusing soal pencitraan atau kepopuleran diri, mereka tak segan melayangkan teguran kepada rakyat, pejabat, bahkan rohaniwan yang berlaku busuk di tengah masyarakat. Walau aniaya atau ancaman terhadap nyawa terkadang menjadi “imbalan” keberanian mereka, semua itu tak mampu membungkam gemuruh seruan mereka agar keadilan dan kebenaran ditegakkan di negeri.

Sepak terjang kemasyarakatan para nabi itu diapresiasi dan diabadikan Gereja, yakni umat Kristen, dalam istilah “suara kenabian.” Kita pun sering mendengar tokoh-tokoh Kristen mengajarkan bahwa Gereja dihadirkan Allah di tengah masyarakat sebagai pembawa suara kenabian. Artinya, Gereja harus dapat menjadi salah satu penjaga dan pengingat bagi rakyat, pejabat, bahkan rohaniwan agar selalu berlaku adil dan benar di negeri. Namun, dalam kenyataan, betapa sering Gereja lalai terhadap tugas agung ini.

Harus diakui memang bahwa menjaga dan mengingatkan rakyat, pejabat, bahkan rohaniwan bukanlah tugas mudah—apalagi ketika itu bersangkutan dengan menegur kesalahan dan kemungkinan mendapat “imbalan” yang tak menyenangkan. Barangkali itulah sebabnya banyak gereja dan lembaga Kristen menghindari suara kenabian dan lebih suka membahas hal-hal lain yang tidak “bergesekan” langsung dengan realitas luas kemasyarakatan. “Cari aman,” tuding J.E. Sahetapy yang blak-blakan itu.1

Tapi tugas tetaplah tugas, dan Allah yang telah membebankannya akan menagih pertanggungjawabannya suatu hari kelak. Maka gereja-gereja dan lembaga-lembaga Kristen perlu membaharui wawasan, pemahaman, dan komitmennya terhadap suara kenabian, sambil mencamkan bahwa itu tak dapat tidak bersangkutan dengan perilaku rakyat, pejabat, bahkan rohaniwan. Pembaharuan tersebut dapat diwujudkan dengan cara mencermati dan menyelami kembali sepak terjang dan seruan kemasyarakatan nabi-nabi, misalnya Nabi Zefanya.

“Celakalah si pemberontak dan si cemar, hai kota yang penuh penindasan!” geledek Zefanya. “Ia tidak mau mendengarkan teguran siapa pun dan tidak mempedulikan kecaman; kepada TUHAN ia tidak percaya dan kepada Allahnya ia tidak menghadap” (Zef. 3:1-2). Nabi ini, yang hidup pada abad ke-7 SM di Kerajaan Yehuda, berani sekali menelanjangi cara hidup rakyat Kota Yerusalem:2 berontak, cemar, menindas, berhati batu, memungkiri (walaupun mengenal) Allah.

Tapi ia tidak berhenti sampai di situ.

“Para pemukanya di tengah-tengahnya,” ujarnya, “adalah singa yang mengaum; para hakimnya adalah serigala pada waktu malam yang tidak meninggalkan apa pun sampai pagi hari. Para nabinya adalah orang-orang ceroboh dan pengkhianat; para imamnya menajiskan apa yang kudus, memperkosa hukum Taurat” (Zef. 3:3-4). Tanpa tedeng aling-aling Nabi Zefanya menghardik pemimpin politik dan pemimpin agama—para tokoh masyarakat—yang serakah, ganas, gegabah, khianat, dan munafik. Baginya, hardikan ini penting karena mereka adalah orang-orang penting yang semestinya menjadi teladan dan pengaruh baik di tengah masyarakat.

Itulah nabi. Itulah suara kenabian. Itulah menjaga dan mengingatkan rakyat, pejabat, bahkan rohaniwan. Kita lihat bagaimana pembawa suara kenabian bukan cuma menyoroti urusan keagamaan, tapi juga urusan kemasyarakatan; bukan cuma menyerukan kesalehan dan pertobatan pribadi, tapi juga penegakan keadilan dan kebenaran di negeri; bukan cuma menentang dosa-dosa individual, tapi juga dosa-dosa sosial. Dan itulah persisnya yang harus dilakukan Gereja.

Jadi, biarlah Gereja sungguh-sungguh bertobat/berbalik dari kelalaian akan perannya sebagai pembawa suara kenabian. Gereja—yakni kita, umat Kristen—harus mulai serius lagi dengan kitab nabi-nabi, membacanya secara jujur dan objektif, sehingga mendapat pencerahan, ilham, dan semangat untuk berbicara dan bertindak sehubungan dengan suara kenabian. Sembari rajin menelaah Alkitab, kita pun harus rajin menelaah hal-hal yang berkembang di tengah masyarakat dan menyikapinya berdasarkan ide-ide Alkitab. Teks Alkitab kita kuasai, konteks bermasyarakat pun kita kuasai.3

Ya, biarlah suara kenabian menduduki tempat penting yang sudah ditentukan Allah baginya dalam kehidupan dan ajaran Gereja. Biarlah tegurannya selamanya terlayangkan kepada rakyat, pejabat, bahkan rohaniwan yang berontak, cemar, menindas, berhati batu, memungkiri Allah, serakah, ganas, gegabah, khianat, munafik. Dan biarlah gemuruhnya tak terbungkamkan oleh apa pun demi terwujudnya hal yang Allah inginkan dan yang kita rindukan: tegaknya keadilan dan kebenaran di negeri.

. 

S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.

.

Catatan

1 Dipetik dari liputan wawancara tentang klon yang dimuat di Jurnal Pelita Zaman volume 12 no. 1 tahun 1997. Liputan ini dapat dilihat di situs Sabda. <http://alkitab.sabda.org/resource.php?topic=759&res=jpz.> Di situ tertulis, “Sahetapy menilai keengganan gereja untuk mengambil sikap itu tidak hanya dalam hal isu-isu bioetik tapi juga dalam bidang politik dan sosial kemasyarakatan. Mengapa para teolog dan pemimpin umat Protestan tanah air enggan bersuara dalam hal ini? ‘Tampaknya para teolog kita mau cari aman. Mungkin saya keliru dalam hal ini. Saya sudah berkali-kali berceramah membicarakan hal ini, tapi hasilnya nihil,’ tandas Sahetapy sengit.”

2 Yerusalem adalah ibukota Kerajaan Yehuda.

3 Penguasaan konteks ini pun haruslah melibatkan pemahaman tentang menyampaikan suara kenabian secara tepat dalam konteks masyarakat/budaya setempat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *