Oleh Lasma Panjaitan
Kematian Yesus Kristus di Bukit Golgota, yang kita peringati sebagai hari Jumat Agung, tidak bisa lepas dari lambang palang (salib). Di kayu palanglah Kristus berkorban demi keselamatan manusia. Menghargai hal itu, banyak bangsa Kristen di dunia menjadikan palang (dengan beragam gubahan wujud) sebagai simbol identitasnya. Salah satunya adalah bangsa Malta di Pulau Malta, Eropa Selatan, dengan “Palang Malta”-nya.
Is-Salib ta’ Malta, yakni Palang Malta, memiliki wujud unik dengan delapan ujung runcing yang dibentuk oleh empat bidang simetris yang menyerupai mata panah (mirip huruf “V”). Bagian lancip dari keempat bidang mata panah ini bertemu di satu titik yang menjadi titik pusat palang. Wujud unik seperti itu membuat Lychnis chalcedonica, bunga khas Eropa-Asia yang memiliki wujud serupa, dinamai bunga “Palang Malta” (Ing.: Maltese Cross).1
Mulanya simbol palang yang kelak menjadi Palang Malta digunakan oleh para kesatria perang salib yang datang ke Malta pada abad ke-16. Di sana mereka menggunakan simbol itu secara luas pada puri, gereja, monumen, koin, perhiasan, lukisan, dll. Maka mempribumilah simbol itu sebagai Palang Malta.2
Hasil pempribumian yang hebat itu sangat dimanfaatkan oleh penduduk Malta. Hari ini kita bisa menemukan Palang Malta sebagai logo pada sejumlah pranata di Malta (misalnya maskapai penerbangan Malta), lambang tim-tim olahraga nasional Malta, dan motif rupa-rupa kerajinan tangan Malta, termasuk renda Malta yang legendaris itu.3
Dan Palang Malta sesungguhnya memuat pelambangan yang luhur. Delapan ujung runcingnya melambangkan delapan “ucapan bahagia” Yesus (Mat. 5:3-12) atau delapan sifat kekesatriaan kristiani: hidup benar, beriman, bertobat dari dosa, rendah hati, cinta keadilan, berbelaskasihan, tulus dan bersungguh hati, tabah menanggung aniaya. Empat bidang mata panahnya melambangkan empat kebajikan kodrati: kebijaksanaan, penguasaan diri/kesederhanaan, keberanian/ketabahan, dan keadilan.4
Semua sifat dan kebajikan itu selaras dengan karakter manusia baru yang Allah inginkan dari kita setelah kita diselamatkan dan dibaharui melalui kematian dan kebangkitan Yesus. “Karena kita tahu,” kata Rasul Paulus, “bahwa manusia lama kita telah turut disalibkan, supaya tubuh dosa kita hilang kuasanya, agar jangan kita menghambakan diri lagi kepada dosa” (Rom. 6:6). Tidak lagi menghamba kepada dosa, manusia baru kita harus dicirikan oleh karakter “belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran” (Kol. 3:12).
Tak heran di banyak negeri Palang Malta dijadikan logo pemadam kebakaran, korps medis militer, tim sepakbola, resimen infanteri, merek dagang, bahkan dijadikan motif tanda jasa.5 Segala sifat dan kebajikan yang dilambangkan Palang Malta rupanya diharapkan menjiwai berbagai lapangan kehidupan itu.
Ini menggambarkan dengan indah bagaimana keselamatan dan pembaharuan akibat pengorbanan Yesus harus mendorong kita untuk menerapkan kekesatriaan dan kebajikan kodrati dalam karya baik di segala lapangan kehidupan. Sebagai contoh, jika kita pejabat pemerintah, kita harus bijaksana dalam memimpin rakyat. Jika kita pengusaha, kita harus menguasai diri untuk tidak tamak mencari keuntungan sendiri. Jika kita tentara atau polisi, kita harus menjaga keamanan dan ketertiban dengan gagah berani. Jika kita hakim, kita harus memutus perkara hukum dengan seadil-adilnya. Walau mungkin kedengaran klise, semua itu selalu baik dan diidamkan masyarakat di negeri manapun.
Dan Palang Malta yang mempribumi itu mengajari juga bagaimana kekristenan perlu dipribumikan dalam budaya kita. Di Indonesia bisa saja dibuat sebuah Palang Batak yang dipercantik oleh gorga, motif ukir khas Batak, lengkap dengan warna hitam, putih, merahnya. Warna-warna khas Batak itu masing-masing menyimbolkan kebijaksanaan, kesucian, dan keberanian.6 Ini bisa dimaknai sebagai sifat-sifat Kristus yang berkorban dan sifat-sifat yang harus dimiliki para pengikut-Nya.
Pada hakikatnya, setiap palang kristiani, termasuk Palang Malta, memang mengungkapkan bahwa pengorbanan Kristus bukan berdampak kepada hubungan kita dengan Allah saja, tapi juga dengan sesama dan dengan seluruh ciptaan. Hubungan-hubungan itu harus diwarnai oleh kekesatriaan dan kebajikan yang menjadi ciri manusia baru. Dengan demikian, keselamatan berharga yang kita peroleh lewat kematian dan kebangkitan Kristus membuahkan kebaikan bagi dunia demi kemuliaan Allah.
.
Lasma adalah seorang pegiat Lembaga Bantuan Hukum yang tinggal di Bandung, Jawa Barat.
.
Catatan
1 “Maltese Cross” dalam situs Nature Gate. <http://www.luontoportti.com/suomi/en/kukkakasvit/maltese-cross>.
2 “The Maltese Cross and Its Significance” dalam situs Malta Uncovered <http://www.maltauncovered.com/malta-history/maltese-cross/>.
3 “The Maltese Cross and its significance,” Malta Uncovered.
4 Dennis A. Castillo. The Maltese Cross: A Strategic History of Malta. Praeger Security International, Wesport, CT, 2006, hal. 80; “The Maltese Cross and its significance,” Malta Uncovered.
5 Suatu daftar mengenainya bisa ditemukan pada “Maltese Cross” dalam situs Wikipedia. <http://en.wikipedia.org/wiki/Maltese_cross>.
6 Jones Gultom. “Sumbangan Kebudayaan Batak untuk Lingkungan” dalam blog Tano Batak. <https://tanobatak.wordpress.com/2013/06/18/sumbangan-kebudayaan-batak-untuk-lingkungan/>.