Kekeluargaan, Kedisiplinan, Kedamaian

Oleh Bunga Siagian

Mama deng papa sasaja bilang par katorang/Hidup sudara laeng musti sayang laeng/Di waktu susa samasama baku bantu/Ade kaka satu gandong sio/Ada yang sala, bicara baebae/Ada masala, baku ator, biking dame hidup orang basudara”1

Petikan lagu Hidup Gandong2 asal Maluku di atas mencerminkan ideal-ideal budaya kekeluargaan yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia: saling menyayangi, saling membantu di waktu sulit, bicara baik-baik apabila ada yang salah, mengurus (“mengatur”) masalah baik-baik demi terciptanya kedamaian. Gambaran yang indah sekali!

Namun, seperti mata uang, budaya kekeluargaan pun memiliki dua sisi: positif dan negatif. Sisi positif dapat kita pandang diwakili oleh gambaran indah di atas. Sisi negatif dapat kita pandang muncul ketika hal-hal positif di atas disalahgunakan. Sebagai contoh, saling membantu dalam melanggar peraturan tentulah bukan wujud budaya kekeluargaan yang baik. Jika itu biasa dilakukan, rusaklah kedisiplinan bangsa. Dalam hal ini, alih-alih mengaturkan ketertiban dan kedamaian, budaya kekeluargaan malah jadi merugikan bangsa.

Keakraban, yang mencirikan budaya kekeluargaan, memang terkadang “menggoda” orang untuk mengharapkan atau bahkan menuntut kelonggaran dalam menjalankan kewajiban. Pengemudi motor, umpamanya, bisa berani melanggar arah lalu lintas dengan bermodalkan senyum “akrab” terhadap pengguna jalan dari arah berlawanan—arah yang sebenarnya. Selain itu, orang bisa menyalahgunakan trotoar untuk berdagang atau sering terlambat masuk kantor dengan mengandalkan kemakluman orang lain. Keakraban jadi menggilas kedisiplinan.

Kebersamaan, ciri lain dari budaya kekeluargaan, juga terkadang “menjerumuskan” orang ke dalam pelanggaran tata tertib. Pelajar atau mahasiswa, misalnya, bisa berani membolos karena ajakan “kebersamaan” teman-teman. Selain itu, orang bisa menyela antrian panjang atau membuang sampah sembarangan karena “terilhami” oleh penyela-penyela antrian dan pembuang-pembuang sampah lain. Kebersamaan jadi merampasi kedisiplinan.

Berbagai perbuatan tak berdisiplin di atas jelas tidak bermuara kepada ketertiban dan kedamaian, melainkan kepada kesemerawutan dan banyak masalah. Padahal disiplin ada untuk mengatur masalah demi terwujudnya kehidupan masyarakat yang teratur, tenang, dan damai—mirip ide di balik lirik “ada masala, baku ator, biking dame hidup orang basudara.”

Jika disiplin diinjak-injak, apalagi atas nama kekeluargaan, imbasnya amat buruk bagi bangsa. Pertama, hidup menjadi tidak tertib. Apabila budaya kekeluargaan biasa digunakan untuk memaklumi pelanggaran tata tertib, orang jadi terbebaskan untuk mengejar kepentingannya sendiri tanpa peduli rambu-rambu atau norma yang dibuat demi kepentingan bersama. Hidup bermasyarakat jadi tidak tertib dan karakter moral bangsa pun terjerembab.

Kedua, terjadi ketidakpatuhan massal. Kebiasaan tak berdisiplin mampu menulari lingkungan sekitar dan generasi terkemudian—lewat keakraban dan kebersamaan kekeluargaan. Akibatnya, makin banyak orang yang ikut-ikutan tak berdisiplin dan terjadilah pembangkangan skala besar terhadap aturan. Tak dapat tidak ini akan meruwetkan hidup berbangsa.

Ketiga, kedamaian terjauhkan. Lantaran pelanggaran tata tertib dimaklumi dan ketidakpatuhan tersebar luas, timbullah kekacauan, ketidakteraturan, bahkan kekerasan. Dalam hal ini, secara ironis, budaya kekeluargaan malah menjegal dambaannya sendiri: kedamaian.

Untuk menghindari efek buruk budaya kekeluargaan terhadap kedisiplinan, kita perlu menyadari bahwa kedisiplinan mutlak diperlukan untuk mencapai kedamaian yang diidamkan oleh budaya kekeluargaan sendiri. Kekeluargaan tidak boleh memperlemah kedisiplinan sebab kedisiplinan akan memperkuat kekeluargaan dengan menakhlikkan keteraturan dan ketertiban.

Kesadaran tentang tujuan kedisiplinan itu harus diajarkan kepada anak-anak sejak usia belia. Keluarga seyogianya menjadi tempat kedisiplinan ditanam dan dipupuk sehingga membuahkan hasil terbaik—seturut perkataan seorang ulama AS di masa lampau: “Pikiran menuntun kepada tujuan; tujuan berlanjut dalam tindakan; tindakan membentuk kebiasaan; kebiasaan menentukan karakter; dan karakter menetapkan nasib kita.”3 Ya, kita berharap kebiasaan berdisiplin mencetak karakter anak bangsa yang baik sehingga melahirkan nasib bangsa yang baik pula.

Ada masala”? Mari “baku ator”—salah satunya lewat kedisiplinan untuk “biking dame hidup orang basudara.”

.

Bunga Siagian adalah seorang pengacara publik yang bermukim di DKI Jakarta.

.

Catatan

1 Lirik lagu didapat dari video Issane Group dalam situs Youtube. <https://www.youtube.com/watch?v=KYWWUmMV150>.

2 Kata “gandong” (varian dari “kandung”) berarti “bersaudara.” Di Maluku mashur budaya Pela Gandong yang menekankan ikatan (“pela”) persaudaraan.

3 Tryon Edwards, sebagaimana dikutip dalam situs Quoteland. <http://www.quoteland.com/author/Tryon-Edwards-Quotes/4307/>.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *