Oleh Victor Samuel
“Makan tidak makan, yang penting kumpul,” demikian kata peribahasa Jawa.1 Peribahasa ini menggambarkan budaya kekeluargaan bangsa Indonesia yang mementingkan kebersamaan (“kumpul”) di atas urusan perut. Tentunya pandangan itu bernilai luhur. Dengannya kita menjadi bangsa yang ramah dan suka menolong.
Namun, peribahasa itu bisa juga menjadi sindiran untuk orang yang lebih suka “kumpul-kumpul” daripada bekerja—mencari “makan.” Jika ini yang terjadi, budaya kekeluargaan justru menggerogoti keprofesionalan. Contoh-contohnya mudah ditemui baik di perusahaan maupun di pemerintahan.
Seorang bawahan, misalnya, enggan mengkritik kebijakan atasan demi keloyalan. Seorang karyawan ogah melaporkan ketidakdisiplinan rekannya atas nama kesetiakawanan. Seorang pejabat, meskipun terusik hati nuraninya, bungkam terhadap tradisi suap-menyuap yang sudah menjadi semacam kesepakatan antarkolega.
Keloyalan, kesetiakawanan, kesepakatan, dan hal-hal bernuansa kekeluargaan lainnya sering menjadi pembenaran bagi perilaku-perilaku yang menggerogoti keprofesionalan. Akibatnya berbahaya.
Pertama, mutu kerja melempem. Seorang atasan, tanpa masukan kritis dari bawahan, bisa mengambil putusan yang lemah. Seorang rekan kerja, tanpa dikritik, bisa mandek kinerjanya. Kerja bagus lebih mudah dibangun dengan umpan balik. Bagaikan emas, “kemurnian” mutu kerja muncul setelah melewati api kritik.
Kedua, budaya kerja jadi terlampau membolehkan. Demi rasa kekeluargaan, orang kerap berkompromi. Kemunduran tenggat akibat kelalaian kerja, misalnya, dimaklumi bersama saja. Dampak budaya terlampau membolehkan ini bagai lingkaran setan: pekerja lalai tak ditegur; ini berulang sehingga membentuk budaya lalai; pekerja-pekerja lain pun terseret arus kelalaian.
Ketiga, inovasi padam. Pranata berhenti berinovasi jika, demi rasa kekeluargaan, orang-orang di dalamnya takut melawan tradisi yang lemah atau salah. Rasa kekeluargaan memang cenderung mencari kenyamanan hubungan antarpribadi. Padahal inovasi berarti perubahan. Ikhtiar inovasi akan sering berhadapan dengan pihak-pihak yang enggan berubah karena berbagai kepentingan. Rasa kekeluargaan yang sempit dapat menghambat perubahan ini.
Terakhir, ironisnya, hubungan antarpribadi justru jadi rentan. Kita kurang siap menghadapi gesekan karena rasa kekeluargaan cenderung membuat kita “memasukkan ke hati.” Padahal gesekan dalam dunia pekerjaan lumrah terjadi karena keragaman pendapat, perbedaan kepribadian, dan kelemahan manusia. Dalam situasi begini, rasa kekeluargaan justru membuat orang mudah tersinggung sehingga permusuhan mudah terpicu.
Budaya kekeluargaan memang sudah mendarah daging pada bangsa Indonesia selama ratusan tahun. Sepanjang sejarahnya, bangsa kita terus mencari-cari kesamaan, keselarasan, dan cenderung mengabaikan perbedaan untuk menghindari bentrokan.2 Posisi Nusantara yang strategis membuat kita terbiasa menerima budaya asing tanpa curiga, menyerap unsur-unsur baru, dan meleburkannya dengan unsur-unsur lama.3
Namun, demi menjadi bangsa profesional yang tangguh, kita perlu meninggalkan kekeluargaan semu dan membangun kekeluargaan sejati.
Kekeluargaan semu—sering kali ini yang mendasari perilaku kita—bertujuan melindungi perasaan diri sendiri. Asalkan diri sendiri diterima, apa pun boleh terjadi. Bukankah ini sesungguhnya keakuan berjubah kekeluargaan?
Kekeluargaan sejati justru menginginkan kebaikan bagi semua pihak, bukan hanya diri sendiri. Karenanya, kritik dan perlawanan tradisi terkadang diperlukan meski menyakitkan.
Berprinsipkan kekeluargaan sejati, kita perlu menghentikan kompromi mutu demi menjaga perasaan. Ingatlah bahwa mutu bagus bermanfaat bagi semua. Jika ada hal yang salah, kita harus berani angkat suara. Jika kita sendiri yang salah, beranilah mengakuinya dan terimalah teguran. Dengan demikian, kita berkekeluargaan tanpa menggerogoti keprofesionalan.
Walaupun begitu, kekeluargaan sejati tetap mempertahankan kelembutan dan keramahan. Jangan hanya menegur; sering-seringlah memuji. Perpaduan ciamik teguran tajam dan pujian tulus bagaikan obat sirup rasa anggur: menyehatkan dan enak. Tonjolkan pula kekeluargaan sejati dalam waktu-waktu santai: tunjukkan bahwa sikap tegas nirkompromi demi keprofesionalan sama sekali tidak mengorbankan rasa empati dan hormat kepada orang lain.
Dalam budaya kekeluargaan sejati, kita mengutamakan keprofesionalan sekaligus memelihara kehangatan dengan sesama. Dengan begitu, bangsa kita akan melangkah maju dalam harmoni menuju kesejahteraan dan kesiapan menghadapi persaingan mendunia.
Peribahasa Minangkabau menasihati, “Cepat kaki ringan tangan: cepat kaki bukan petarung, ringan tangan bukan pemecah.”4 Semoga bangsa kita, yang dengan budaya kekeluargaannya berusaha menjauhi sifat “petarung” dan “pemecah,” belajar juga menjadi “cepat kaki” dan “ringan tangan”—cakap bekerja—dalam keprofesionalan.
.
Victor Samuel adalah seorang insinyur di bidang energi yang bermukim di DKI Jakarta.
.
Catatan
1 Dalam bahasa aslinya, peribahasa ini berbunyi, “Mangan ora mangan, seng penting kumpul.”
2 Pramoedya Ananta Toer. Rumah Kaca. Jakarta: Lentera Dipantara, 2006, hal. 125.
3 Yudi Latif. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011, hal. 267.
4 Dalam bahasa aslinya, peribahasa ini berbunyi, “Capek kaki ringan tangan, capek kaki indak panaruang, ringan tangan bukan pamacah.” Lihat Idrus Hakimy Dt. Rajo Panghulu. 1000 Pepatah-petitih, Mamang-bidal, Pantun-gurindam: Bidang Sosial Budaya, Ekonomi, Politik, Hukum, Hankam, dan Agama di Minangkabau. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1978, hal. 14.
Reblogged this on utuh..
Pingback: Bumerang Budaya Kekeluargaan | Komunitas Ubi