Nepotisme: Bermula dari Keluarga, Harus Diakhiri oleh Keluarga

Oleh Efraim Sitinjak

Salah satu faktor yang menyebabkan kejatuhan Orde Baru (Orba) adalah dominannya praktik negatif dari budaya kekeluargaan yang biasa disebut “nepotisme.”1 Presiden Orba memberikan banyak jabatan dan kemudahan bagi anggota keluarga dan kerabatnya. Banyak pihak menjadi geram dan akhirnya menggoyang kekuasaannya lantaran praktik tersebut.

Praktik nepotisme memang lahir dari budaya kekeluargaan. Kata asalnya dari bahasa Italia, nepote, menunjuk kepada hampir setiap anggota keluarga, dari generasi manapun, laki-laki atau perempuan. Istilah nepotismo dikarang pada suatu waktu di abad keempat belas atau kelima belas untuk menggambarkan praktik korup menunjuk kerabat-kerabat paus untuk menduduki jabatan tertentu dalam organisasi gereja.2

Di Indonesia, budaya kekeluargaan sudah mengakar kuat dan membuat kita dekat dengan sifat ramah, senang berbagi, suka menolong orang lain, dsb. Hal-hal ini tentulah baik dan harus terus kita terapkan dalam hidup bermasyarakat. Namun, nepotisme muncul sebagai salah satu hal buruk dari budaya kekeluargaan yang harus kita sikapi dengan serius.

Di tengah bangsa kita hari ini, nepotisme telah menjadi momok mengerikan. Olehnya para pejabat jadi mengutamakan anggota keluarga atau kerabat untuk memperoleh kedudukan atau kesempatan (usaha, pinjaman, kemudahan ijin, dsb.) tertentu. Kita mungkin sudah mendengar kasus-kasus gubernur yang membantu adiknya menjadi bupati di provinsinya atau bupati yang memastikan istri, anak, atau iparnya mewarisi kursi jabatannya. Berbagai jabatan strategis pemerintahan daerah pun sering dibagi di antara keluarga pejabat.

Bermula dari semangat kekeluargaan, nepotisme melata ke mana-mana—ke lembaga-lembaga pemerintahan, perusahaan-perusahaan, dan organisasi-organisasi kemasyarakatan. Mempercayakan suatu jabatan publik kepada anggota keluarga atau kerabat tentu tidak salah, asalkan mereka memang cakap dan siap bekerja untuk kepentingan bangsa. Mereka harus mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi atau keluarga. Dalam hal ini semangat kekeluargaan masih bermanfaat bagi bangsa.

Namun, jika mereka tidak cakap (atau masih kalah cakap dari orang lain) dan tidak tahu mengutamakan kepentingan bangsa, maka pemercayaan jabatan publik kepada mereka membuat semangat kekeluargaan jadi mudarat bagi bangsa. Di sini nepotisme memunculkan setidaknya dua persoalan besar.

Persoalan pertama berkaitan dengan isu kecakapan tadi. Nepotisme bisa membuat orang yang tidak cakap dan tidak berpengalaman menjadi pegawai pemerintah hanya karena ia berkeluarga dengan pejabat. Karena tidak cakap, ia akan memberi pelayanan yang buruk kepada masyarakat: lambat mengurus perijinan atau menyiapkan dokumen, hanya bergerak cepat ketika melayani keluarganya, dsb. Karena tidak cakap pula ia bisa memilih program kerja yang tidak efektif, mengerjakan pembangunan dengan standar jelek, mengawasi projek secara asal-asalan, dsb.

Persoalan kedua berkaitan dengan isu kepercayaan publik. Masyarakat bisa jadi menaruh curiga besar terhadap pegawai pemerintah yang memegang jabatan melalui nepotisme. Program pembangunan yang dirancangnya bisa dianggap sarat kepentingan keluarga. Lebih jauh lagi, kebijakan-kebijakannya bisa tidak didukung. Kedua persoalan yang berpangkal pada nepotisme itu pastilah akan sangat melambatkan kemajuan bangsa.

Nepotisme, yang bermula dari keluarga, haruslah diakhiri oleh keluarga juga. Kita bisa melakukannya dengan tidak menolong anggota keluarga atau kerabat menduduki jabatan publik tanpa proses yang wajar. Kita bisa membiarkan (atau malah mendesak) mereka mengikuti jalur normal perekrutan pegawai atau kenaikan jabatan sembari membantu meningkatkan kualitas kerja mereka. Jika mereka tidak berkualitas, mereka memang seharusnya tidak direkrut. Dan jika mereka memang berkualitas, mereka seharusnya tidak perlu takut mengikuti proses perekrutan normal.

Satu teladan tentang hal itu diberikan oleh Hoegeng Iman Santoso, Kapolri di masa lalu. Setamat SMA, anaknya, Renny, ingin masuk ITB. Hoegeng, meskipun bisa, tidak membuat memo khusus agar Renny diterima di sana.3 Padahal memo macam itu biasa dibuat banyak pejabat tinggi untuk memudahkan urusan bagi keluarga mereka. Renny mengikuti jalur normal dan diterima di ITB. Selain anti nepotisme, rupanya sang ayah percaya akan kemampuan anaknya.

Begitulah budaya kekeluargaan tidak seharusnya mencetak—melalui nepotisme—generasi mau-mudah-saja yang berpotensi merintangi kemajuan bangsa. Bermula dari keluarga, sungguh patut jika nepotisme pun diakhiri oleh keluarga.

.

Efraim adalah seorang konsultan kebijakan publik yang tinggal di Bandung, Jawa Barat.

.

Catatan

1 Merle Calvin Ricklefs. “Sejarah Indonesia Modern 1200-2008”. Jakarta: Penerbit Serambi, 2008, hal. 683.

2 Adam Bellow. “In Praise of Nepotism: A History of Family Enterprise from King David to George W. Bush”. New York: Anchor Books, 2003, hal. 11.

3 Dr. George Junus Aditjondro.  “Dapatkah Polisi Menjadi Ujung Tombak Kampanye Antikorupsi? (Belajar dari Keteladanan dan Kegagalan Pak Hoegeng)” dalam Hoegeng: Oase di Tengah Keringnya Penegakan Hukum di Indonesia/Penyusun: Aris Santoso, dkk. Yogyakarta: Penerbit Bentang, 2014, hal. 301.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *